Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Bandung Dalam Coretan Seorang Jurnalis

Kalau seorang jurnalis media cetak menulis buku, itu bukan hal yang aneh. Sebab, pekerjaan yang dilakoni setiap hari olehnya adalah menulis. Namun, jika seorang ‘kuli tinta’ menulis satu buku yang merangkum tiga babak sejarah dari sebuah kota, barulah istimewa. Kita akan melihat Her Suganda sebagai jurnalis media cetak dalam kadar yang istimewa dalam buku ini.

Bekerja sebagai seorang jurnalis bagai hidup dibawah todongan pistol bernama deadline. Maka tak jarang jurnalis hanya mengerti suatu peristiwa (secara detail) yang terjadi setelah ia mulai resmi bekerja. Ini adalah hal yang wajar sebab media massa umumnya hanya memberitakan yang hari ini terjadi. Dengan kata lain, sangat sedikit jurnalis yang mau bersusah payah mengorek sejarah di masa lampau pada tiap sudut kota tempat ia memburu berita.
Her Suganda (Hers) terlihat sangat teguh mengorek sejarah yang bersemayam di Kota Bandung. Ia adalah seorang jurnalis yang ‘merangkap’ sejarawan. Melalui kumpulan tulisan dalam buku ini, ia menempatkan diri sebagai jurnalis yang tidak hanya berusaha memberitakan peristiwa kekinian namun sangat setia pula menambah pengetahuan tentang sejarah. Di tangan Hers, sejarah bukanlah benda mati yang diceritakan secara menjemukan. Tepat sekali pilihan gaya tulis model features yang dipakainya untuk menulis tentang Kota Bandung dari masa ke masa dalam buku ini. Sebab tulisannya sangat mengalir dan membuat kita tidak bosan ketika membacanya.
Clifford Geertz pernah mengutarakan perihal kerja seorang jurnalis yang berhimpitan dengan kegiatan seorang peneliti. Menurutnya, sangat penting bagi seorang jurnalis untuk tidak sekadar memberitakan (atau menceritakan) suatu peristiwa. Tetapi, seorang jurnalis harus mampu menggambarkan secara detail suasana ketika peristiwa itu berlangsung hingga seolah tulisan itu sendiri yang bercerita kepada pembaca (bukan si jurnalis yang menuliskannya). Tulisan Hers tentang Kota Bandung yang berjumlah 59 buah dalam buku ini mampu memenuhi kriteria Geertz tersebut.
Ada tiga babak sejarah dari Kota Bandung yang ditulis oleh Hers dalam buku ini. Pertama, pada masa pra-sejarah yang menonjolkan dongeng Sangkuriang dalam cakupan yang detail dengan bukti-bukti sejarah yang masih ada sampai saat ini. Bagian ini juga mengulas kehidupan zaman batu yang pernah hidup di area Kota Bandung. Kedua, Bandung di era kolonial, pada babak ini, Hers dengan cukup lengkap mengulas evolusi Kota Bandung dengan segala pernak-perniknya ketika dikuasai oleh Belanda. Pada bagian ketiga, Hers mengulas Kota Bandung masa kini.
Kota Bandung yang eksotis membuat setiap orang yang pernah mengunjunginya selalu ingin kembali lagi. Hers mengungkapkan, bahwa hal seperti ini merupakan perasaan yang telah ada sejak masa lalu. Maka tak salah jika MAW Brouwer berkata; “Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan Tanah Priangan” (hal.53).
Ada juga cerita tentang Jalan Braga yang ditulis Hers dengan sangat indah. Ia menceritakan secara lengkap nuansa jalan sepanjang satu kilometer itu dari masa ke masa (hal.166-182). Jalan Braga pada mulanya adalah jalan yang digunakan untuk menjadi penghubung gudang kopi milik Andries de Wilde. Hingga jalan itu dijuluki Karrenweg (jalan pedati) sebab hanya dilewati gerobak yang ditarik dengan kerbau dan saat musim hujan akan sangat becek. Jalan Braga juga sempat disebut Jalan Culik karena di pinggirannya terdapat banyak pohon besar yang memberi kesan seram. Dulu, para ibu sering menakut-nakuti anaknya; jika nakal akan dibuang ke jalan itu.
Sebuah kota akan selalu berubah. Hingga rentan membuat para penghuninya mengalami amnesia sejarah. Apalagi, Kota Bandung yang selalu menerima ribuan pendatang tiap tahun. Kehidupan modern yang berbalut budaya kosmopolitan bisa mengikis identitas Kota Bandung pada masyarakat sekarang dan yang akan datang. Buku ini adalah suatu usaha yang patut diapresiasi untuk menghindari kondisi amnesia sejarah dan pengikisan identitas khas bagi masyarakat Bandung.
Selain itu, buku ini juga sangat berguna bagi pendatang atau orang yang masih ingin mengunjungi Bandung. Hers memberikan ‘bonus’ berupa informasi tentang tempat-tempat menarik yang bisa kita kunjungi di Kota Kembang. Buku ini—sungguh—adalah sebuah sajian sejarah, wisata dan budaya Kota Bandung dalam bingkai jurnalistik nan rancak. Sangat sayang untuk tidak dibeli jika kita sedang berada di toko buku.(*)

Tidak ada komentar: