Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Naskah "Yang Lain" dari Pidi Baiq
[sempat bernafas di Harian Media Indonesia edisi Sabtu 23 Februari 2008]

Saya sengaja memberi tanda kutip pada gabungan kata ‘yang’ dan ‘lain’ dalam judul diatas. Tanda kutip itu menunjuk kepada (setidaknya) dua makna. Penulis buku ini—yang juga dikenal sebagai akademikus, komikus dan musikus—bercerita bahwa ia ditanya oleh Doel Wahab (editor Penerbit Mizan) soal naskah buku berjudul Ayat-Ayat Sompral yang sedang dikerjakannya. Naskah itu ternyata belum selesai. Maka, “Saya tawarkan kepada Bang Doel, bagaimana untuk sementara naskah saya yang lain dulu saja yang diterbitkan?”(hal.15).

Jadi, buku Drunken Monster bukanlah naskah yang sedari mula telah dinubuatkan untuk diterbitkan oleh Pidi Baiq. Sebabnya yaitu, Drunken Monster merupakan kumpulan tulisan yang kerap ia unggah (upload) di blog pribadinya: http://pidibaiq.multiply.com. Inilah makna denotatif dari “yang lain” tersebut. Kalau begitu, nampakkah keseriusan Pidi dalam buku ini? Pertanyaan itu patut muncul sebab biasanya “yang lain”—pada taraf denotatif—seringkali merujuk pada sesuatu yang sampingan, tidak serius, sekadar tambahan bahkan tiada guna.

Buku ini telah menyebabkan Prof. Bambang Sugiharto (Guru Besar di Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung) menulis dalam taraf ‘tak lazim’ pada bagian Kata Pengantar (hal.11-14). Saya memiliki beberapa buku yang diberi kata pengantar oleh Prof. Bambang Sugiharto. Tulisan beliau biasanya sulit dipahami dalam sekali baca; deretan kalimatnya terlampau berliuk-lekuk. Ditambah lagi penggunaan istilah dalam bahasa asing yang kerap muncul dalam tulisannya. Tapi, melalui kata pengantar berjudul Ini Buku Berbahaya, saya melihat Prof. Bambang Sugiharto ‘yang lain’.

Kata Pengantar yang ditulis oleh Prof. Bambang Sugiharto sungguh mengalir dan ringan. Beliau menggunakan corak ‘bahasa gaul’—walau memang masih tetap akademis. Melalui buku ini, kita akan membaca tulisan beliau yang padat, jenaka dan menggoda namun tetap berbalut teori-teori. Kalimat akhir yang ditulisnya dalam kata pengantar tersebut berbunyi: “Selamat membaca! Awas kecanduan...”.

Maka, sampai disini, kita bisa melihat bahwa Pidi Baiq sungguh serius menyiapkan naskah buku ini. Ia berhasil ‘memaksa’ seorang profesor untuk mengikuti ruh dan hawa dari bukunya. Sebuah buku yang tidak semata-mata berpretensi masuk ke dalam genre humor. Walau, sayangnya, Penerbit Mizan telah menahbiskan Drunken Monster sebagai ‘Buku Humor’—sebagaimana tertera pada sampul belakangnya.

Jika kita ikuti saja klasifikasi dari Penerbit Mizan tersebut, siapkanlah hati untuk menuai kecewa. Humor yang dipersembahkan Pidi untuk pembaca Drunken Monster bukanlah jenis lawakan ringan.

Kita mungkin sudah sangat jengah dengan humor yang berseliweran di televisi. Humor yang terlampau kering makna sebab hanya bisa membuat kita tertawa. Kita tidak hanya diajak untuk tertawa saat membaca Drunken Monster. Pidi telah menyiapkan bahan permenungan yang laik kita lakukan paska membaca salah satu kisah dalam buku ini.

Tapi, tak perlu jua kita khawatir apalagi takut jikalau humor Pidi terlampau intelektualis dan akademis—sebab ia adalah mantan Dekan FSRD International University di Bandung. Guyonan Pidi sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ia berkisah tentang diri sendiri, anak dan istrinya, tukang becak dan ojek serta orang-orang yang ada di kompleks perumahannya. Pidi membangun cerita melalui dialog yang ringan namun menyiratkan kedalaman makna.

Tentu saja, walau diakui sebagai catatan harian, kita tak perlu percaya bahwa kisah yang ditulis Pidi nyata adanya. Drunken Monster tetaplah cerita pendek dalam artian sebenarnya. Kisah yang memaksa kita untuk percaya namun tetaplah cerita itu bohong adanya. Namun, adakah penulis yang tidak berbohong? Peristiwa yang diceritakan oleh seorang penulis boleh saja sebuah kebohongan. Namun pikiran-pikiran yang terkandung dalam suatu cerita (sastra) adalah lukisan kejujuran harapan yang ada di benak seorang penulis.

Imajinasi adalah kunci dari kesuksesan buku ini berdialog dengan pembaca. Pidi berhasil membawa pembaca seolah masuk tanpa kesulitan apapun untuk melongok kehidupan di kampus ITB, jalan-jalan di Kota Bandung dan interaksi antar tetangga di kompleks perumahan tempatnya bermukim. Bahkan Pidi juga mampu membuat pembaca iri dengan kehangatan yang selalu menaungi keluarganya. Ada lima cerita dalam buku ini yang benar-benar menjadikan rumah tangga Pidi sebagai pusat kisah. Pidi yang kini (benar-benar) hidup bersama Rosi (istrinya), Timur Langit Hali dan Bebe Bibe Utara (anak-anaknya) kiranya merupakan contoh keluarga yang menjadikan humor sebagai basis interaksi sehari-hari.

Walhasil, Pidi Baiq—pria kelahiran Bandung, 8 Agustus 1972—telah memancangkan sebuah khazanah baru dalam pola penulisan cerpen (atau kisah humor) di dunia sastra kita. Inilah makna “yang lain” pada bentuk konotatif dari karya Pidi Baiq. Melalui “catatan harian”-nya, Pidi tak sekadar berhumor, namun ia mampu memperlihatkan seni berinteraksi di tengah modernitas masyarakat yang serba cepat, kalut dan individualis. Boleh dikata, semua gaya bercanda yang dipaparkan Pidi melalui 18 tulisan pada buku ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pembacanya. Ya, dalam pemahaman saya, Pidi mampu melahirkan sebuah genre ‘humor terapan’.

Sayangnya, Pidi nampak tiada berkeinginan menciptakan tokoh yang berpotensi untuk menjadi legendaris melalui kisah-kisah yang dikumpulkan dalam Drunken Monster. Tokoh utama dalam tiap kisahnya adalah Pidi Baiq sendiri. Hal ini agak rawan sebab Pidi terlihat tak memperbolehkan karyanya terbang jauh dari kediriannya. Atau, kita juga bisa memaknai bahwa hal itu terjadi sebab Pidi sudah memproklamirkan bahwa karyanya adalah catatan harian. Bahkan, mungkin saja, ia juga menjadikan karyanya sebagai bahan untuk merenung agar bisa pula diterapkan pada dirinya. Hingga tatkala ada seorang pembaca buku ini bertemu dirinya akan berkata: “Oh, Pidi benar-benar humoris ya...”.

Buku ini dilengkapi pula dengan ilustrasi yang memisahkan halaman tiap cerita. Ilustrasi yang dikerjakan oleh Pidi sendiri. Lengkaplah, Drunken Monster memang catatan harian Pidi Baiq—vokalis band The Panasdalam—yang mampu membuat kita tertawa sarat makna.(*)

Baca ini juga

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mampir boleh?