Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Ya Ampun...

Cecaplah cerita ini:
Ya, dunia ini sempit saja kok. Saya pikir lebar. Saya tahu sebabnya: saya Gaptek. Gagap Teknologi, kata orang-orang. Boleh jadi artinya seperti itu. Tapi saya tambahkan dan luaskan saja perpanjangan kata itu. Gaptek juga dekat maknanya dengan: GAk Pake TEKnologi. Atau khusus untuk saya, bisa juga searti dengan: Gayanya Aja Pake TEKnologi. Aih, agak mirip ya? Ya, memang sengaja saja kok sebabnya.

Bapak Yasraf Amir Piliang sebenarnya sudah jauh-jauh hari bilang ke saya—tentu saja lewat bukunya yang berjudul Dunia Yang Dilipat—bahwa dunia itu kian kecil adanya. Sebenarnya sih, Pak Yasraf juga mendengar itu dari orang-orang lain—yang mungkin juga hanya ditemuinya dalam buku saja. Buku bacaan wajib waktu awal-awal kuliah itu bikin saya terkejut sekaligus ‘gak begitu percaya. Kenapa? Sebab saya belum jua menerima atau melihat buktinya. Dan saya suka buku itu karena isinya banyak protes saja. Maklum anak muda, kalau tak protes sepi rasanya. Kata orang-orang, itu zaman posmodern. Bukan kata saya, loh. Zaman dimana yang kecil seringkali diutak-atik agar jadi besar. Yang besar sering dibikin kecil saja. Itu teknologi yang jadi penyebabnya. Kata orang-orang kayak gitu. Dari tadi kok kata orang-orang terus, sih? Memang yang bikin ini tulisan, siapa? Tentu saja, saya adanya.

Hampir tiap hari ke warnet. Hanya kirim tulisan ke koran-koran awalnya. Lalu berkembang. Cari bahan-bahan untuk nulis jadinya. Itu setelah 2 tahun pura-pura ngelakoni pekerjaan sebagai penulis yang nyambi jadi mahasiswa. Eh, kebalik ya? Ya udah, ‘gak apa-apa ya... Mulai tahun 2007, saya sibuk posting-posting tulisan atau apa saja—yang saya sebut sebagai puisi, artikel, resensi buku, atau sekadar cerita kayak gini—ke blog.

Dunia makin sempit saja. Padahal, beneran nih, saya pikir tadinya kecil adanya. Bahan nulis saya dapat dari koran yang kadang baca, tapi lebih sering 'gak. Atau dari buku-buku. Atau dari gosip-gosip yang berseliweran di warung tempat cangkrukan. Ketika nulis, saya berpikir dunia itu benar-benar lebar. Ada banyak hal yang saya ‘gak tahu (tahu atau tau, sih? Takut salah ketik). Dengan teknologi, kita tingkatkan produktifitas bangsa....eh salah...maksudnya, produktifitas pengetahuan saya meningkat agak pesat walau memang selalu saja tersendat. Cari bahan buat menulis (Aih, kini tulisannya benar ya?) di jejaring internet saja. Banyak yang bisa dicari disana. Macam-macam koran pun bisa dibaca dengan mudahnya. Wah...senangnya hatiku...Jadi pengin (atau pengen, sih?) ketawa saja kalau ingat masa lalu. Ya, masa lalu membuat kita ingin melongok hati sesekali dan tentu saja mengocok perut kalau lama-lama bersemayam di otak.

"Bang, Wulan Guritno punya blog....", kata Arip (dia bisa marah kalau saya tulis namanya pakai 'p') dikontrakan malam tadi.
"Iya tah?", saya jawab sambil tidur. Maksudnya tidur-tiduran di karpet ruang tengah.
"Ya, ini ada beritanya di koran"
"Halah...wong cuma punya blog kok diberitain?", Upss...saya akhirnya minta maaf sama wartawan yang nulis berita itu, ya... Kalau gak diberitain 'kan kesulitan saja mau cari nasi. Saya lalu ingat diri sendiri. Wong buku saja pakai diresensi segala? Emang orang laen ‘gak bisa bacanya? Emang buku itu pakai bahasa non-Indonesia? Eh, Mas...saya ini menyebut diri penulis. Ya harus nulis saja, apa yang bisa dan memang layak ditulis, saya menggumam di hati. Berarti sama dong dengan para wartawan itu? Ya tentu saja, saya ambil kesimpulan. Juga dalam hati.
***
"Wah...ini dia blognya Wulan", kata Arip yang sekarang sudah ada di warnet dan duduk di sebelah saya. Kami ada di depan komputer yang beda, loh. Jadi, wahai... tolonglah, jangan pikirmu macam-macam.
"Mana...Mana, kalo ‘gak mau kasih liat, saya cabut kabel komputermu"
"Ini nih...Tuh 'kan"
"Kok ketemu? Gimana bisa? 'Kan tadi di koran itu dia bilang ngerahasiain alamat blognya", saya heran terus bertanya. Ke siapa? Ya ke Arip lah.
"Ini, cari di Google..."
"Kasian ya, Wulan Guritno kalo gitu...", saya coba berempati—padahal senang bukan kepalang bisa melihat blog artis cantik itu.
"Kenapa, bang?"
"Dia udah melakukan kesia-siaan. Coba dikasih tahu aja sama wartawan itu nama blognya. Mungkin tak seperti ini jadinya."
"Ya...namanya juga artis. Pura-pura rahasiain puri tempatnya menyendiri", Arip berkomentar dengan mata tetap ke layar monitor dan tangan mengendalikan mouse.
"Ya, hiks...hiks..."
"Kok nangis, bang?", tanya Arip sambil menengok ke arah saya.
"Gak, tadi mau bersin gak jadi...".

Lalu saya cari lagi. Cari apa? Tentu saja cari blog para artis lainnya. "Wey, ketemu lagi. Ini Dian Sastro!!!", saya berteriak—tentu dalam hati saja. Khawatir diusir sama yang punya warnet. Dan, saya tidak mau kasih tahu Arip. Pasti dia bakal ancam saya juga untuk tahu alamat blog Dian Sastro. Saya hanya mampu menggumam saja dalam hati:
"Oh, Dian Sastro. Dirimu biasa sekali di blog ini"
"Senang rasanya bisa melihat dirimu biasa saja. Tidak seperti yang saya lihat biasanya di televisi, kau sungguhlah luar biasa"
"Dian...tulisan-tulisanmu, sungguh membuatku seolah menganggapmu sebagai kawan saja."
"Padahal, kau pasti malu berkawan denganku."
"Mengapakah? Karena aku bukanlah kawanmu."
"Baiklah, kulamar kau, Dian. Bukan sebagai istriku. Tapi untuk menjadi kawanku. Oh...maksud saya, temanku. Khawatir salah kira kalau pakai kata kawan. Apalagi ditambah ku dibelakangnya."
"Dian, saya tak tahu-menahu lagi harus apa. Tapi di depan saya, sekarang, sudah ada sepiring tahu tek yang saya pesan sebelum masuk warnet tadi. Saya makan dulu, ya. Janganlah kau mengirikan diriku yang makan ini. Sebab aku sedang ada di sebelah kanan dari meja kasir warnet dan kau tahukah, Dian? Seharian ini, belumlah aku makan."

Lalu saya makan dengan hati berbunga-bunga. Saya akan cerita ke teman-teman saya soal penemuan terbaik malam ini. Biarlah Arip tiada tahu blog Dian Sastro. Biar saja dia hanya mengerti kalau saya makan tahu tek, itu saja.

Larut malam telah menjadi dini hari. Saya mendapat banyak alamat blog para artis. Saya makin yakin akan mematikan televisi. Saya melihat para artis itu biasa saja di blog mereka. Dan dunia memang kecil. Tentu saja, bukan sekecil silet. Itu pasti. Silet tajam, dunia menyenangkan. Wulan Guritno cantik. Dian Sastro pastilah demikian. Demikian apa? Demikian cantik dong. Tapi, saya, mungkin saja baik.(*)
Bumi Tawang Alun, 14 Februari 2008

Tidak ada komentar: