Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Dibalik Kasus Ibu Bunuh Lima Anaknya
[dipublikasi di Kolom Bedah Pustaka Harian Media Indonesia edisi Sabtu, 19 April 2008]

Siapa yang tak terenyuh saat diberitakan adanya pembunuhan anak oleh ibu kandung? Referensi pengetahuan kita yang bermuasal dari dongeng—misal kisah Malin Kundang—hanya menceritakan seorang ibu yang mengutuk anaknya. Itu pun karena si anak telah mendurhakai sang ibu. Maka, wajar jika Prof. Sartono Mukadis menulis pada bagian Pengantar buku ini (hal.16): “Rasanya kalau ada penulis datang menawarkan skenario mirip kasus Andrea Yates—tentu sebelum kasus ini terungkap—hampir pasti akan ditolak produser paling kaya sekalipun. Terlalu berlebihan...”

Buku ini adalah fakta dari kisah Andrea Yates yang membunuh kelima anaknya pada 20 Juni 2001 dalam waktu tak lebih dari satu jam. Kasus ini sempat menghebohkan seluruh pelosok Amerika Serikat. Suzanne O’Malley mendedahkan cerita seputar kasus Andrea dengan alur yang tidak monoton dan kalimat nun memikat dalam buku bertebal 432 halaman ini.

Banyak pihak, awalnya, menduga bahwa salah satu pendorong Andrea ‘menginterupsi’ hak hidup kelima buah hatinya—yang tertua berusia 7 tahun dan paling kecil baru genap 6 bulan—adalah penyakit kejiwaan (psikosis) bernama post-partum depression. Psikosis macam ini lazim diderita ibu yang baru melahirkan anaknya. Sejak tahun 400 SM, Hippocrates telah menyatakan bahwa kasus kriminal karena dorongan post-partum depression tak laik diberi hukuman oleh pengadilan (hal.414).

Namun, persoalan pelik membelit kasus Andrea. Galibnya, seorang ibu yang membunuh anak karena alasan post-partum depression akan mengungkapkan penyesalan yang mendalam sebab saat peristiwa berlangsung ia dalam keadaan tak sadar. Andrea justru mengakui secara sadar bahwa tindakannya adalah suatu kebenaran namun salah di mata hukum. Hal ini yang menjadikan Kejaksaan Harris County di Texas berkeyakinan bahwa Andrea tidak gila. Hingga laiklah digelar sebuah sidang untuk menentukan vonis bagi Andrea. Drama persidangan Andrea adalah kisah tentang pembelaan bagi ‘ketaksadaran’ dan tuntutan atas ‘kesadaran’ Andrea.

Persidangan kasus Andrea Yates dimulai pada 18 Februari 2002—bersamaan dengan keluarnya maklumat keras dari George W Bush untuk memerangi ‘Poros Setan’ (hal.223). Perlu diketahui, kasus Andrea disebut banyak pihak sebagai salah satu tragedi sosial terbesar yang terjadi di Amerika Serikat pada awal abad XXI. Peristiwa ‘penyerangan Menara Kembar WTC dan Pentagon’ pada 11/09/2001 sempat membuat proses penyidikan kasus Andrea tertunda (hal:190). Vonis hukuman mati adalah mosi yang diajukan Kejaksaan Harris County kepada Andrea. Sebelumnya, pada 30 Juli 2001, tim pengacara Andrea menyatakan pembelaan atas dasar kegilaan.

Judul asli buku ini: The Unspeakable Crime of Andrea Yates: “Are You There Alone?” sangatlah cocok menggambarkan isinya. Yakni cerita dari pelbagai sisi nan tak terlacak oleh banyak pihak terkait kasus Andrea. O’Malley telah menggumpalkan hasil investigasinya ke dalam sebuah kalimat “Are You There Alone?”. Kalimat tanya itu menunjukkan bahwa ada keluasan bahasan—bukan sekadar kasus psikologi—yang terkandung dalam analisa O’Malley.

Bahkan, penggunaan kalimat tanya itu bagai menunjukkan bahwa O’Malley secara radikal tidak percaya kalau Andrea melakukan pembunuhan itu 'seorang diri'. Inilah keunikan laporan investigasi yang dituliskan dengan kaidah jurnalisme sastrawi. Kandungan data dan fakta jelas menopang isi cerita, namun sisi estetika sastra turut menampakkan diri. Penerjemah buku ini, sangat disayangkan, telah mengubah ‘umbul orisinil’ buku ini menjadi sangat formal-akademis—bagai judul tugas akhir seorang mahasiswa fakultas psikologi. Walau harus diakui pula bahwa secara keseluruhan kualitas terjemahan isi buku ini sangatlah baik.

Andrea memang tak 'sendiri' melakukan pembunuhan itu. O’Malley menelisik sejarah kehidupan Andrea melalui wawancara dengan seratus orang lebih yang dibagi kedalam 20 area investigasi (hal.21-22). Catatan kehidupan Andrea merupakan kisah seorang penderita psikosis akut yang mudah berhalusinasi. Ia kurang mendapatkan perhatian—terutama pujian usai menyelesaikan suatu kegiatan—dari orangtua. Andrea tumbuh menjadi perempuan yang diduga kuat menderita skizofrenia.

17 Juni 1999 ialah awal malapetaka bagi kejiwaan Andrea ketika ia mencoba bunuh diri dengan menenggak lebih dari 40 butir Trazodone 50 miligram—obat penenang dosis tinggi. Ketika itu, Luke—anak ketiga Andrea—baru berusia 4 bulan (hal:77-78). Ia melakukan percobaan bunuh diri lagi pada 20 Juli 1999. Pendorongnya ialah keinginan untuk lepas dari penderitaan.
Andrea kemudian menjalani rehabilitasi mental dengan sejumlah psikiater berbeda yang selalu meresepkan beragam obat untuk kesembuhannya. Kondisi kejiwaan Andrea yang mudah berhalusinasi kian diperumit oleh isi khotbah dari Michael Woroniecki.

Penebusan manusia kepada Tuhan agar kelak di akherat mendapatkan surga adalah inti doktrin Woroniecki. Namun, “doktrin Woroniecki kacau-balau. Entah itu bagi pengamat awam maupun bagi orang-orang yang berusaha mengikuti Woroniecki selama bertahun-tahun”. Lebih jauh, “Walaupun tebusan diberikan kepada seluruh umat manusia sepanjang masa, jumlah orang yang selamat sepertinya hanya ada delapan orang: Woroniecki beserta istri dan anak-anaknya” (hal:181). Woroniecki sempat dikecam sebagai pihak yang menyebabkan kasus Andrea terjadi. Hanya saja, ia mengelak dengan mengatakan bahwa ia hanyalah penyampai pesan Tuhan dan keluarga Yates salah menginterpretasikannya.

Dengan menenggelamkan kelima anaknya sampai tak bernyawa ke dalam bath-up, Andrea berharap mereka tak tercemar dosa dunia hingga pasti masuk surga. Pengacara Andrea mengatakan ini adalah bagian dari halusinasi Andrea. Sementara Penuntut Umum berkeyakinan hal tersebut merupakan pembunuhan tingkat tinggi. O’Malley juga merekam terbelahnya opini publik AS dengan menyertakan pemberitaan media soal kasus Andrea dalam buku ini.

Melalui persidangan yang dramatis, Andrea akhirnya hanya dihukum penjara seumur hidup. Kematian tetaplah tragedi, namun yang terpenting adalah mengetahui sebab kematian itu terjadi. Buku yang ditulis O’Malley ini (dan kasus Andrea itu sendiri) mampu memancangkan pelbagai perubahan di AS, terutama pada ranah hukum, ilmu psikologi dan hak-hak kaum ibu.(*)

Seterusnya..

Sebuah Foto-Berita ...

Fotonya:

Dan beritanya:

Tujuh Penumpang. Model menunjukkan mobil Chevrolet Captiva Diesel 2.0L-VCDi saat peluncurannya, di Jakarta, Rabu (17/4). Kendaraan berkapasitas tujuh orang dan berbahan bakar diesel ini diluncurkan PT.General Motors Autoworld Indonesia dengan harga Rp289.500.000 untuk wilayah DKI Jakarta.
Fotografer: WIENDA PARWITASARI




Dari saya...
Tentu saja, saya bukan fotografer atau ahli terkait foto--apapun namanya itu. Saya cuma sedang jalan-jalan di dunia maya saja. Lantas bertemu dengan foto diatas. Lihatlah, betapa sebuah tulisan dan gambar bisa bertemu dengan dampak tafsir tertentu. Perhatikanlah dengan seksama dan sangat teliti. Adakah yang aneh dengan foto diatas--tentu saja setelah dikaitkan dengan beritanya? Simaklah dengan sangat dalam. Buatlah kesimpulan menurut pengalaman Anda dalam mencampur info dari gambar dan tulisan. Kemudian, mungkin, kesimpulan tafsir kita atas foto-berita itu bisa ketemu--entah dimana.


Catatan: Percayalah, foto dan tulisan diatas saya kutip utuh. Tak ada pemotongan atau gubahan sedikit pun dengan aslinya. Sebab saya bukan editor.

Seterusnya..

Sebuah Cerita Tentang...

[Entah dari siapa saya dengar cerita ini. Saya telah berusaha keras untuk mengingat sumbernya. Tapi nihil hasilnya. Jangan-jangan cerita ini bermuasal dari hati saya sendiri?]

Syahdan...
Seorang turis bernama Kuciumi Matamu berkunjung ke Indonesia. Ia melawat ke sebuah daerah. Ditemani seorang pemandu yang sangat licik, ia berkeliling di daerah itu. Pemandu itu licik? Ya, sebab namanya Licik Niandikau. Ia hanya mengajak si turis berkeliling ke tempat-tempat yang mudah dijangkau dan banyak makanan. Licik Niandikau selalu berkata bahwa tempat yang mereka kunjungi adalah tempat wisata yang mashyur di daerah tersebut, walau mereka hanya bertandang ke sebuah sawah. Sebab Kuciumi bukanlah penduduk asli daerah tersebut, maka percaya sajalah dia (seperti percayanya pembaca kisah ini kepada saya).

Maka ketika mereka rehat di sebuah rumah makan, Kuciumi sedang melihat-lihat brosur perjalanan wisata.
"Oooo...Ini nama apakah ini?", tanya Kuciumi sambil menunjuk kata 'Rafflesia Arnoldi' yang tertera di brousr.
"Ohhh...itu nama bunga langka, Nona Kuciumi", sahut Licik sambil menyeka makanan yang masih ada di sekitar mulutnya.
"Aaaa...saya mau lihat itu bunga. Gimana bisa caranya?"
"Wahhh, gampang saja...Usai makan ini, saya ajak Nona kesana", Licik menjawab setelah bersendawa dan menyeruput es alpukat. Ia telah kenyang bukan kepalang.
"Dari namanya saja sudah indah sekali. Pasti demikian bentuknya. Juga sangat harum ya?"
"Oh, iya tentu saja. Nanti Nona Kuciumi lihat sendiri. Bunga yang luar biasa"

Lalu mereka sampai jua di lokasi penangkaran bunga Rafflesia Arnoldi. Jarak antara rumah makan ke tempat itu, sebenarnya dekat saja. Tetapi Licik melewati jalan yang tak seharusnya. Ia berputar agar sampai disana satu jam setelah pergi dari rumah makan.
"Ohhh...Licik bau apa ini? Mana bunga yang harum dan langka itu?", Kuciumi berkata sambil menutup hidung.
"Wah, Nona...kita telah salah ambil waktu untuk melihat bunga itu", ucap Licik "Sekarang, bunga itu sedang sensitif. Jadi menyemprotkan bau tak sedap ini. Kapan-kapan kita kesini lagi. Yang penting, Nona Kuciumi pernah ke tempat bunga Rafflesia Arnoldi."

Akhirnya...
Janganlah kamu, wahai manusia, menjadi makhluk yang mudah terpesona hanya karena nama.

PS: Buat warga negara yang sedang sibuk oleh Pemilihan Gubernur di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan lainnya di seluruh kepulauan Nusantara.
"Memilih atau Tidak Memilih saat Pemilu tak pernah bisa dijadikan ukuran nasionalisme"

Seterusnya..

Kotakarjaket
“Setiap orang harus pergi agar mengerti arti pulang”. Aku ucapkan kembali larik dari salah satu puisi milik Isbedy Stiawan ZS saat kita sedang melewati jalan yang sepi. Seolah jalan itu tidur tadi malam. Ada kesegaran yang baru menggeliat bangkit di situ.
“Kamu ngomong apa tadi?”, tanyamu sambil memperlahankan laju sepeda motor.
“Ah, gak apa-apa. Cuma sedikit nyanyi aja, biar gak dingin.”
“Pasti puisi itu lagi. Ya, kita memang harus pergi. Tak baik berlama-lama disini.”
“Ya, mungkin saja. Tapi yakinlah, kepergian juga membuat kita kedatangan rindu.”

Aku sudah di dalam kendaraan besar yang berlari kencang saat pesan pendekmu masuk ke ponsel.
“Hati-hati di jalan. Ingat titipanku: Jaket!”
“Terimakasih tadi sudah mengantarku. Disebelahku ada gadis berjaket. Mau aku mintakan jaketnya untukmu?”, kuketik kata-kata itu dan segera kukirim kepadamu. Tidak kau balas. Padahal aku masih bertanya-tanya, jaket seperti apa yang kau idam-idamkan? Pembicaraan kita pada malam kemarin tak menuntaskan soal itu. “Pokoknya jaket yang nyaman, jangan terlalu tebal. Terserah warna apa.”, ucapmu saat itu. Adakah kenyamanan tiap orang sama? Atau seragamkah pemahaman per kepala tentang tebal dan tipis?
***
Aku tiba di kota yang menabukan keterkejutan, Takarja. Pongky menjemputku.
“Tadi baca tulisan di pintu terminal?”, ia bertanya sambil tetap konsentrasi pada kemudi mobil.
Mataku yang lekat melihat ramai jalanan segera menoleh kepadanya,
“Ora...Ada tulisan apa?”
“Selamat Datang Di Takarja. Jangan Gampang Kaget”, jawab Pongky kemudian tertawa. Bagiku, ia tetaplah pandai berpesan.

Berapa banyak orang yang telah mengutuk kota ini? Aku tak tahu. Kau pernah bersumpah tak akan sudi hidup di Takarja. Aku pun demikian. Seluruh suara seolah saling berebut minta didengar di sini. Kau dan aku sama tak menyukai kehidupan yang senantiasa hingar-bingar. Tapi kini, jalanan Takarja bagai membalikkan anggapan kita tentang kota ini menjadi sekadar tuduhan yang tak berbukti.

Jalanan yang kulewati bersama mobil Pongky seperti tak pernah lelah mengalirkan orang-orang dan benda mati yang nampak hidup. Suara-suara yang menghentak itu terasa nyaman bagi mereka. Aku coba menyelaminya; kalau ada kelelahan di kota ini, maka itu adalah milik seluruh manusia di jalanan Takarja yang pernah mampir di mataku. Tapi, toh mereka mampu menutupinya. Mereka seperti sudah lama berdamai dengan Takarja yang melelahkan. Baiklah, mungkin lebih tepatnya, mereka dipaksa untuk menerima kondisi Takarja. Dan mereka menikmati paksaan itu.
***
Radi telah keluar kamar sejak pukul empat, ketika aku mulai beranjak tidur karena semalam suntuk bincang dengannya. Tetap bertubuh ceking, Radi masih nampak seperti dulu; tak pernah lelah.
“Tidur dulu lah, Rad. Masa sih sudah mau kerja. Awakmu ora kesel tah?”, tanyaku saat Radi selesai mandi.
“Nang kene, sing ora kuwat, yo monggo minggir wae”
Pongky pun bekerja hari itu. Maka kuputuskan untuk putar-putar kota seorang diri. Pongky merekomendasikan angkutan yang cukup baru di Takarja. Namanya bus berjalur.
“Kalau naik itu aman, tenang aja”, ujar Pongky sebelum menutup pembicaraan kami via telepon.
“Weeyyy...”, aku berteriak kaget karena suara itu. Rekaman suara perempuan yang dibunyikan untuk memberitahu nama halte bus berjalur kepada penumpang. Kulihat beberapa orang tertawa kecil. Aha, aku telah lupa dengan pesan Pongky ketika menjemputku di terminal. Tapi apa salahnya dengan kekagetanku? Sejak tadi, di dalam kendaraan itu tiada suara manusia. Seluruh penumpang seolah merenungkan persoalan hidupnya sendiri. Mereka bagai lupa bahwa orang lain disampingnya bukanlah benda mati. Kata siapa tertawa itu lebih sulit daripada bercakap basa-basi? Baiklah, tertawa memang tetap sulit. Yang mudah ialah menertawakan orang lain.

Aku turun di Passer Bahroe, lokasi perbelanjaan yang sudah berdiri sejak Belanda memerintah di negeri ini. Passer Bahroe sudah milik Indonesia kini, pikirku sambil berkeliling disana. Oh, mataku menatap toko yang menjual macam-macam pakaian, kemudian masuk kesana.
“Mbak, saya orang baru di Takarja. Bisa kasih liat jaket yang cocok dipakai disini?”
“Oh, yang gimana ya, Mas...”, pegawai toko itu nampak bingung menatapku.
“Terserah. Yang penting cocok untuk pendatang seperti saya.”
“Aduh, yang lebih jelas gitu, Mas. Modelnya? Coraknya?”,
Terserah bukan kata yang tepat untuk dilafalkan, kini kau paham?
“Kata teman saya, di Takarja banyak yang jualan jaket yang cuma dipakai lima tahun sekali? Disini jual jaket macam itu?”
“Gak ada, Mas...”
Lalu aku tanyakan soal jaket yang bertuliskan “Jaket Ini Tak Akan Menghangatkanmu Kalau Kau Tak Berbicara Dengan Orang Disampingmu”. Pegawai toko itu menggelengkan kepalanya.

Ada jaket berwarna hitam. “Dunia = Bekerja” tertulis dengan tinta putih di bagian belakangnya. Aku pilih jaket itu sebagai tafsiran atas ‘terserah’-mu.

Hari telah menuju petang ketika aku keluar dari Passer Bahroe. Dari dalam bus yang kutumpangi, aku lihat antrian mobil kian panjang di jalanan Takarja.(*)
Bumi Parahyangan,
Sehari Paska-Ultah Yeye 2008

Seterusnya..

Villa Merah, Sampai Petang



Di Jawa Barat lagi, Jatinangor tepatnya. Maka saya berkirim pesan pendek via telepon seluler ke orang itu, Pidi Baiq. Saya pikir, pesan teks akan berbalas serupa, nyata tidak. Pidi langsung menelpon.
“Deni, kamu langsung aja kemari, ke tempat saya. Tahu Gedung Sate ‘kan?”
“Aduh gak tahu, Pak Haji”
“Kamu sekarang dimana ini?”
“Di Jatinangor, di depan Jatos”
“Oh, itu sih punya temen saya... Udah, kamu ke Gedung Sate aja.”
“Saya gak tahu jalannya, Pak Haji”
“Tanya aja sama orang-orang...Semua pada tahu itu Gedung Sate”
“Iyalah kalo gitu...”
“Kamu ke Gedung Sate ya, udah ke situ aja. Tunggu disitu. Ntar kontak saya lagi...Tenang aja, di situ daerah kekuasaan saya.”
“Hehehe...Oke, ntar saya hubungi lagi, Pak Haji.”
Karena hari sudah berangsur sore, maka saya batalkan bertemu dengan Pidi. Kebetulan, Yeye ingin melihat hasil tes yang dilakukannya di Jakarta untuk jadi karyawan Bank Mandiri. Jadi pada keesokan harinya, kami sama-sama punya kegiatan untuk keluar dari Jatinangor.

Yeye sedang siap-siap rupanya. Hari sudah masuk siang sekali, kira-kira pukul 13.00. Salat Jumat telah usai sedari tadi.
“Ntar sendiri aja ya ketemu Pidi”, kata Yeye sambil masukin buku Drunken Monster ke dalam tasnya.
“Loh, mendingan bareng aja. Paling juga gak terlalu jauh ke Bank Mandiri. Liat aja deh di peta.”
Yeye punya peta Kota Bandung yang alangkah lengkapnya. Sampai nama-nama jalan juga tersedia.
“Berdua ajalah...’kan pengumuman juga jam lima sore gitu.”, saya berucap sambil kunci pintu.
“Iya juga sih. Ini ntar nyampe Bandung paling jam setengah 3 gitu.”
“Makanya ikut aja ketemu Pidi. Emang kenapa gitu gak mau ketemu dia?”
“Takut dikerjain. Baca aja bukunya. Ceritanya waktu ngerjain orang aja sampe gitu banget.”
“Hehehehe, Gak mungkin lah, tenang aja.”, saya berkata demikian dengan muncul suatu perasaan yang sama dengan Yeye. Bagaimana kalau kami dikerjain? Saya ingat cerita Pidi yang menyiramkan air minum ke celana Noor Awaludin Gani saat orang Malaysia itu sedang tertidur, menginap di rumah Pidi (Drunken Monster, hal. 157).

Di dalam bis Damri yang membawa kami ke Bandung, pikiran saya masih ragu untuk bertemu Pidi. Saya berharap dia sibuk. Jadi dia tak bisa menemui kami. Jadi pertemuan itu akan singkat saja. Yaitu sekadar tegur sapa semata dan pemenuhan janji saja. Pidi berjanji memberikan kaos C59 yang bertema buku Drunken Monster kepada saya. Ia telah pula menyanggupi untuk membawakan empat kaos yang sama karena empat teman saya di Jember memesan pula. Ditambah lagi dengan tanda tangan pada buku Drunken Monster milik Yeye dan saya. Saya berharap pertemuan kami akan seperti itu saja. Karena apa? Karena saya mulai terpengaruh ketakutan yang sama dengan Yeye.


Saya menatap ke bangunan di sepanjang jalan yang menyalurkan bis ke Kota Bandung. Bis Damri telah selesai melewati Jalan Tol yang saya selalu lupa namanya. Saya coba ingat-ingat, apa saja yang berubah. Terakhir ke kota ini sekitar bulan November 2007.
“Loh, ini dulu gak ada ‘kan?”, saya bertanya ke Yeye sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan besar berwarna merah marun pada bagian dinding. Semacam mall untuk barang elektronik agaknya.
“Gak ah, dari dulu juga ada. Tapi bukan itu namanya. Namanya apa gitu. Pertokoan biasa gitu lah.”, Yeye menjawab sambil lanjut bertanya ke kondektur bis yang berjalan di samping tempat duduk kami; “Pak, ini lewat Jalan Ciliwung?”. “Ya, Neng. Bentar lagi juga lewat Jalan Ciliwung.”
Oh, semakin dekat saja rupanya dengan tempat yang dijanjikan Pidi sebagai lokasi kami bertemu.
Oke. Sy lg di ciliwung 23 Bdg. Daerah cilaki. Daerah PUSDAI. Daerah gedungsate”, tulis Pidi dalam pesan pendek. Sebelumnya saya menyampaikan bahwa saya sedang di dalam bis Damri mau ke Bandung.

Akhirnya saya dan Yeye turun bis. Bergandengan tangan berdua menyusuri Jalan Ciliwung.
“Ih, itu nomer 27...”, saya berkata sambil tunjuk sebuah rumah.
“Ya, berarti sekitar sini aja dong”
Mata Yeye dan saya tengok-longok kanan dan kiri. Selepas suatu tikungan, mata saya tertumbuk pada sebuah bangunan agak tua namun ramai orang di halamannya. Merah tua pula warna dinding pada bangunan itu. Pohon-pohon berdiri gagah di halaman bangunan itu. Ada beberapa tempat untuk duduk yang memiliki payung besar, galib kita jumpai pada rumah makan yang menyediakan meja di luar ruangan. Itulah Villa Merah. Sebuah tempat yang pernah disebut oleh Pidi saat saya chatting bersamanya sekira bulan Februari 2008.

“Permisi, Pak Pidi Baiq ada?”, saya sudah melewati pagar dan berjalan ke arah pintu kemudian bersuara kalimat tanya tersebut kepada tiga orang yang sedang duduk ngobrol di pelataran rumah itu. Tiga orang itu nampaknya masih SMU; dua lelaki dan satu perempuan. “Oh, gak tau ya...Coba tanya sama yang disitu aja. Itu kawan-kawannya Pidi”, si perempuan menjawab sambil tunjuk kumpulan lelaki yang sedang ngobrol di tempat duduk dengan payung besar. Saya ambil langkah menuju kesana. Kumpulan lelaki yang agaknya telah kuliah itu pun tak tahu pasti keadaan Pidi dimana, hanya saja saya diminta untuk menunggu. Saya kembali ke pelataran rumah itu dan duduk bersama Yeye di bagian agak depan dari pintu. Saya ambil telepon seluler dari kantong celana, kemudian pencet-pencet keypad-nya agar bisa mengirim text massage ke nomor telepon seluler milik Pidi. Ia membalas dengan cepatnya, saya kembali diminta menunggu, kali ini oleh Pidi sendiri. Ia sedang di bengkel mobil katanya.

Saya mencuri pandang ke dalam rumah yang jendelanya besar itu. Ada semacam meja resepsionis yang dijaga oleh dua orang perempuan—kalau tak keliru, salah satunya berjilbab. Dua lelaki dan satu perempuan yang nampaknya masih SMU itu ada disamping kami. Mereka berbincang dalam suasana senang. Saya coba curi-curi dengar yang mereka obrolkan. Namun sulit juga. Logat mereka agak susah saya cerna. Mungkin karena mereka mencampur-adukkan bahasa Indonesia dan Sunda dalam logat yang sangat Sunda. Aha, itu ada orang naik sepeda motor berboncengan. Mata saya memang kadang mengarah ke jalan yang ada didepan rumah. Dua orang yang bersepeda motor itu hampir melewati pagar, saya sudah mengira dengan sangat yakin bahwa yang berada di belakang pastilah Pidi Baiq. Saya pernah menonton rekaman launching buku Drunken Monster di blog multiply milik Tita. Sepeda motor terus berjalan pelan dan parkir di bagian samping rumah. Saya melihat Pidi memperhatikan kami. Dia senyum dengan girang kemudian melangkah ke tempat kami berdiri, sementara orang yang memboncengnya telah pergi dengan sepeda motor seorang diri.

“Hai...Hai...”, Pidi bersuara setengah teriak kepada kami.
“Deni, Pak Haji”, saya menyodorkan tangan untuk salaman dengan dia.
Saya memperkenalkan Yeye hampir berbarengan dengan Pidi yang berkata “Ini?” sambil mengarahkan tangan dan pandangan ke arah Yeye.
“Oh gitu...Aduh, kita ngobrol dimana ya, Den”, kata Pidi yang menenteng plastik besar berwarna abu-abu sambil jalan mondar-mandir mengarah ke halaman.
“Rame nih...disini”, lanjutnya
“Terserah Pak Haji ajalah”, saya berkata sambil mengikutinya. Tentu saja tidak mondar-mandir seperti dia. Saya dan Yeye agak diam sejenak sambil mengikuti perintahnya saja, namanya juga tamu; biarlah tuan rumah yang repot ;).
Pidi berjalan ke arah kumpulan lelaki yang nampak telah kuliah tadi, dia berkata; “Ini temen-temen saya. Tapi kamu gak usah kenal lah...”. Kumpulan lelaki itu tertawa saja. Saya pun demikian. Yeye menganggukkan kepala kepada teman-teman Pidi hampir berbarengan dengan saya. Kami mengikuti Pidi yang berjalan ke belakang rumah. Ada semacam kantin kecil sekali berdiam disitu.
“Nah disini aja”, Pidi bersuara setelah berhenti di depan pintu kantin itu.
“Deni, kamu pesen apa? Pesen aja...Disini mah bebas”
“Ya, Pak Haji. Terserah aja.”
“Hmm...apa ya...Kamu merokok ya Deni, berarti pesen kopi aja, mau ya?”
“Ya lah, Pak Haji”
“Si itu, siapa namanya...pesen apa?”
Suasana kantin yang saya tak tahu sebelumnya mendadak heboh oleh Pidi. Dia hingar-bingar sekali. Ia menyapa orang-orang yang nampaknya sebagai pegawai kantin disitu.
“Duh, euy banyak duitnya...Ini Den yang banyak duitnya...Saya mah ‘gak”, ucapan Pidi disambut senyum-senyum kecil orang yang sedang menghitung uang di meja kantin.
“Katanya baru muncul di Empat Mata, Pak Haji”, saya memulai percakapan setelah duduk di kursi kantin itu. Pidi seolah tak mau menjawab dengan lugas. Dia senyum-senyum saja.
“Iya, disuruh nyanyi...”, jawab Pidi akhirnya.
Lalu beberapa orang pegawai kantin itu bersuara dalam bahasa Sunda. Dan saya lagi-lagi tak paham dengan ucapan mereka yang dibarengi tawa renyah itu. Saya hanya menangkap bahwa Pidi dan beberapa pegawai kantin itu akrabnya sangat. Kami tak lama duduk di kantin itu.
“Ayo kesitu aja. Kayaknya udah kosong”, Pidi mengajak kami keluar kantin menuju tempat dengan meja melingkar yang berpayung besar. Posisinya ada di samping rumah dekat semacam lahan parkir dengan beberapa motor berjejer tidak rapi.

Kami duduk disana. Pidi mengeluarkan keahliannya: bicara kesana-sini. Orang Jawa bilang ngobrol ngalor-ngidul. Namun bagi Orang Madura, itu dinamakan acaca kedejeh-kalaok.
“Ada pengajian disini, Den. Tiap malem Kamis”, Pidi berucap.
“Iya gitu, Pak Haji?”, saya seolah tak percaya.
“Iya, biasalah pengajian yang tak bermanfaat. Yang dateng banyak. Suka-suka aja. Tukang becak juga biasa dateng. Yang ngisi saya.”
“Hehehehe”
“Eh beneran. Temanya macem-macem. Yaa...yang tak berguna gitulah. Kayak...misalnya Panas Bumi dan Nasehat-Nasehat Pidi Baiq”
“Hahahahaha....Terus...”
“Ya, orang-orang pada ngumpul semua. Kadang saya gak dateng. Hahahahaha...bebaslah pokoknya”
Pidi pun berkisah tentang beberapa pemikiran yang dia tuliskan saat di Belanda. Pemikiran yang coba menghubungkan filsafat barat dan filsafat timur (kepercayaan berbasis religi dan kebudayaan). “Kalau kita merenung secara dalam, maka tak sulit juga memahami pemikiran Sunan Kalijaga”, Pidi mulai berteori tentang sebuah karya. Baginya, yang terpenting adalah seseorang harus benar-benar menyatu dengan karya yang dibuatnya. Saya ingat, saat chatting, Pidi pernah bilang bahwa dia selalu berpedoman untuk Manunggaling Kawulo Karya. Mungkin inilah yang dipahaminya sebagai ‘menyatu dengan karya’.
“Maka setiap orang harus serius untuk apa saja yang dikerjakannya”, kata Pidi sambil dilanjutkan;
“Saya tuh kasian ya, orang-orang selalu ingin bekerja, maka mereka seolah sengsara. Kenapa sih ‘gak bersenang-senang saja. Ya, bersenang-senang dengan sesuatu yang mereka kerjakan. Agar tidak tersiksa. Bayangin kalo kita ngeliat orang-orang waktu pulang kerja. Mereka naek motor, terus macet. Aduh mukanya udah kayak apa aja di jalan. Seharusnya mereka bersenang-senang”.
Saya hanya angguk-angguk kepala dan Yeye yang senyum-senyum denger Pidi bersuara.
“Tadi malem apa gitu pengajian disini?”
“Malem Jum’at”, jawab Pidi dengan pasti.
“Berarti Kamis malam, Pak Haji?”
“Ya...Eh, Iya...Gitulah...”

Obrolan kami makin tak tentu ragamnya. Pidi tanya ke Yeye soal kuliah. “Oh, Fikom Unpad, ya...Itu si Iyang juga dari sana. Banyak temen-temen saya di Fikom Unpad.”, kata Pidi. Kemudian, Pidi menceritakan soal dunia komik yang ditekuninya kepada kami.
“Komik itu ya, juga Fikom loh. Saya mikir ini waktu di Belanda. Komik itu pasti singkatan yang punya kepanjangan. Pasti itu. Tapi saya cari kok gak ada. Jangan-jangan kepanjangannya adalah Communication Graphic. Ya beneran ini. Komik juga merupakan teknik berkomunikasi. Hanya saja dengan gambar. Kalo mau buat komik yang bagus harus bisa Fikom juga ‘kan”. Dalam hati saya, “Aduh, Pak Haji kok sembarangan? ‘Kan harusnya Ilmu Komunikasi bukan Fikom”. Namun ini uniknya Pidi Baiq, bicara yang (terkesan) sembarangan itu justru kita mengerti maksudnya. Banyak orang yang sudah dengan sangat rapi bicara dalam bahasa-bahasa ilmiah (yang tentu tak sembarangan) malah sulit dipahami maunya apa.

Obrolan itu ditemani dengan tiga gelas kopi. Yeye ditawari jus tapi malah milih kopi. Kelihatan sekali dia Orang Lampung. Propinsi penghasil kopi terlaris dan terkenal (saya tidak bilang terenak).
“Ini semua anak-anak SMA, Pak Haji?”, saya bertanya soal peserta bimbel di Villa Merah.
“Ya, semuanya. Kelas II dan III SMA”
“Ada berapa yang ikut bimbel disini?”
Pidi diam sejenak, mengernyitkan dahi, “Hmmm...Seribu orang”
“Mulai jam berapa gitu bimbelnya?”
“Jam 2 siang sampe jam 6. Tapi kalo disini sih ada orang terus. 24 jam, Den.”
Saya memperhatikan lekat-lekat tiap sudut Villa Merah yang bisa saya lihat dari posisi kami duduk berbincang. Pidi bicara soal membangun komunitas yang ternyata malah menjadi pekerjaan kalau bisa disebut begitu. “Kebanyakan orang ‘kan cari pekerjaan untuk bisa dapat uang. Nah, ternyata dari membangun komunitas itu juga bisa dapet uang. Tapi yang kita cari bukan itu ‘kan awalnya. Kita membangun komunitas itu untuk bersenang-senang gitulah. Jadi banyak pekerjaan sebenarnya yang bisa kita buat. Tentu saja kalau kita mau berkarya. Nah itulah yang utama. Membangun komunitas untuk berkarya.”, Pidi bicara panjang sekali memang. Nampaknya ia suka begitu. Saya pun memang senang mendengarkan orang bicara panjang. Semakin orang bicara panjang, semakin banyak ilmu yang bisa saya serap. Oh, Pidi Baiq maafkan daku ini, telah mencuri pemikiranmu. Semoga Pak Haji tak marah dikemudian hari.

Saya sudah tak berkonsentrasi lagi dengan obrolan kami. Lebih asyik memperhatikan peserta bimbel yang telah keluar dari ruangan. Jumlah mereka memang banyak. Nampaknya itu waktu mereka rehat. Sebab sebelum halaman rumah ramai oleh anak-anak SMA itu, ada dentang bel yang nyaring sekali. Bel yang kiranya dibunyikan via listrik itu tepat berada di tembok dihadapan tempat kami mengobrol. Maka saya bisa melihat bel berwarna merah itu menempel disana. Saya berpikir, itukah bel yang biasa dipakai untuk alarm tanda kebakaran? Bunyinya keras sekali seperti saat sebuah gedung mengalami peledakan, mirip dengan yang saya lihat di film-film. Aduh, alangkah uniknya Villa Merah itu. Suara Pidi yang bercerita menggebu soal banyak hal telah saya anggap sebagai embun pagi. Menyegarkan namun tak begitu saya perhatikan. Sekali lagi, karena saya lebih tertarik mengamati para siswa SMA yang riang diantara kami. Sebelum lebih jauh menelisik siswa SMA itu, saya minta buku Drunken Monster ke Yeye. Pidi sedang lengah tak bicara karena dia sibuk menyapa orang-orang yang ada di halaman Villa Merah.
“Eh, buku itu”, Pidi berkata seolah malu-malu melihat karyanya.
“Iya, Pak Haji. Ini minta tanda tangan dong...”, kata saya.
“Boleh”
“Tapi gak ada pulpen nih”, saya berkata lagi. Yeye juga dari tadi sebelumnya sudah mengobrol sana-sini dengan Pidi.
“Oh gitu...”, Pidi kemudian memanggil orang berbaju rapi dengan rambut klimis yang saya tidak tahu namanya. Pidi minta pulpen kepada dia. Datanglah pulpen kepada Pidi Baiq itu secepat angkot yang berhenti karena lambaian tangan calon penumpang.
“Disini aja Pak Haji kasih tanda tangannya”, saya berkata sambil menyodorkan buku Drunken Monster yang sudah saya buka pada halaman 9 atau tepat pada halaman ‘Ucapan Terimakasih’.
“Oke”, Pidi mengambil buku itu. Nampak berpikir sejenak. Lalu ia mulai menulis dengan pulpen pinjaman di halaman buku itu. Pertama ia tulis namanya dalam huruf Arab yang gundul.
“Nah ini kalau kalian jadi nikah, tulis ini di undangannya...hehehehe”, kata Pidi sambil menuliskan frase “dari dua jadi satu” dibawah “Kepada Deni ♥ Yeyey”.
“Apa itu Pak Haji?”, saya bertanya soal yang dituliskan Pidi. Sebelum dia menjawab, saya cepat berseloroh, “Oh, beli dua dapat satu, ya?”. Padahal saya sudah bisa baca dengan jelas tulisan itu.
“Bukan Den. Dari dua jadi satu”, jelas Pidi. “Beli dua dapat satu. Ah ada-ada aja, kamu”, timpal Pidi dengan senyum tersungging.
“Hehehehe....” saya tertawa kecil. Kelak, bercandaan saya inilah yang bikin saya dan Yeye membahas agak panjang dalam angkot ketika pulang ke Jatinangor. Jadi menyesal juga bilang “Beli dua dapat satu”.

Pidi berkisah lagi. Ceritanya kian rupa-rupa. Saya tetap asyik memperhatikan siswa SMA yang ada di Villa Merah. Mereka riang sekali. Ada yang ke kantin. Tertawa keras sambil berbincang senang. Adakah mereka mendapatkan hal ini di sekolah? Saya pernah bimbel ketika masa SMA dahulu. Namun suasana ketika istirahat tidak seperti ini. Kaku. Sebab saat di ruangan pun otak saya diperas oleh mentor yang mengajar bimbel. Maka saya dan teman-teman di bimbel dahulu sering bercanda yang cenderung melecehkan saat waktu istirahat tiba. Jadi tidak asyik. Misalnya saja, menggoda teman perempuan yang kami anggap cantik, kasih suit-suit kepada dia sampai akhirnya dia marah. Lantas kami tertawa. Hati senang sementara si perempuan merasa jadi pecundang: Korban pelecehan. Ah, masa lalu. Tak ada yang seperti itu di Villa Merah saat saya memperhatikan siswa SMA yang mondar-mandir di halaman. Mereka tenang walau riang. Tawa pun lepas. Siswa dan siswi campur-baur. Ada lagi yang unik. Beberapa siswa nampak dengan ikhlas dipandu oleh beberapa orang dewasa untuk menggores-gores kertas kosong warna putih. Mereka seperti diajari menggambar lewat proses privat, secara khusus. Pidi pernah cerita kepada saya, kalau siswa SMA yang ada Villa Merah itu adalah mereka yang bercita-cita untuk kuliah di FSRD ITB. Oh, itu saya dengar Pidi cerita soal Bu Rosi.
“Kalau istri saya tak suka saya nasehati, maka saya akan tengadahkan tangan”
“Ngapain?”, Yeye tanya.
“Saya bilang, Tuhan lihatlah saya sudah menasehatinya. Jadi biar dia takut sekalian. Saya ‘kan tidak pernah marah. Jadi kalau istri tidak senang dengan nasehat saya, biarlah saya laporkan kepada yang lebih berhak”, jelas Pidi.
“Hahahaha...”, saya hampir terpingkal karena keras tertawa. Lucu? Ya tentu saja. Tetapi tengoklah gaya bercanda Pidi. Inilah yang saya sebut sebagai ‘tertawa sarat makna’ (Kolom Bedah Pustaka Media Indonesia, 23/02/2008). Saya lalu mulai menyelidiki proses kreatif Pidi dalam menuliskan cerita-cerita di Drunken Monster.
“Itu semua yang di buku beneran kejadiannya, Pak Haji?”.
“Iya dong. Jadi saya nerapin langsung ide yang saya punya. Kalo gak gitu, gimana saya bisa tahu reaksi orang-orang itu. ‘Kan harus dilihat secara langsung.”, ungkap Pidi ringan saja. “Ya, ada juga sih yang beberapa gagal. Misalnya, pernah ya waktu itu saya mau bercandain seorang ibu di angkot. Kayaknya sih dia lagi punya masalah gitu. Jadi dia langsung marah ke saya. Pake bilang ‘Awas ya kamu, anak saya karate’. Kalo yang kayak gitu gagal, Den.”
“Hehehehe”, pikir saya dalam hati: gagal pun masih tetap lucu juga.
“Sebenarnya, kita harus tahu dulu gimana yang bener. Gimana yang seharusnya. Jadi ketika kita bercanda bukan hanya kita yang puas. Orang yang dibercandain pun juga mendapat sesuatu.”, jelas Pidi tanpa saya tanya.
“Ya , Pak Haji. Di buku itu juga ada tips membangun keluarga bahagia, tanpa harus bikin pembaca seolah jadi murid.”, tambah saya.
“Hehehehe...Ya gitulah.”
Ya memang begitu Pidi. Seseorang yang dalam permenungan saya telah sangat serius dalam bercanda dan berkarya. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang dianggap sepele akan ditekuni sampai menemukan gayanya sendiri, ‘gaya yang sangat Pidi’. Bercanda yang tak sekadar bikin kita tertawa. Bercanda dengan nilai-nilai yang mengandung sisi serius yang mendalam.

Hari kian senja. Pukul lima kurang seperempat sore. Yeye minta ijin untuk shalat ashar. Anak-anak SMA sudah masuk ke ruang belajarnya lagi. Sebab bel tanda kembali beraktifitas di ruangan telah berbunyi sedari tadi entah pukul berapa. Jadi halaman Villa Merah sepi kembali. Kantin nampaknya telah bersiap untuk menutup diri. Saya berdua saja dengan Pidi; masih tetap di tempat kami bincang-senang. Beberapa orang baru datang di Villa Merah. Seorang menghampiri tempat kami ngobrol dan berdiri sambil menyapa Pidi. Pidi menjelaskan kalau orang itu adalah pengurus partai. Si orang itu menolak penjelasan Pidi. Saya hanya senyum-senyum.
“Mas, saya mau bikin partai nih rencananya. Namanya Partai Besar Rakyat Lapar. Ya, itu namanya. PBRL, gitu.”, Pidi berkata disambut tawa kecil dari orang itu.
“Disini banyak, Den, orang partai yang maen kesini. Mereka tertawa disini bersama-sama”, kata Pidi setelah orang itu pergi dari hadapan kami.
“Kemaren di Empat Mata ngapain aja, Pak Haji? Kebetulan saya gak nonton”, saya coba mengulik kemunculan Pidi di acara yang dipandu oleh Tukul.
Pidi kasih jawaban yang sangat menyentuh hati saya tentang alasan yang menyebabkan dia mau muncul di acara tersebut. Tetapi saya tak usah tulis disini jawaban dari Pidi itu. Pokoknya sebuah jawaban yang diluar dugaan saya. Setelah itu, Pidi kasih nasehat yang bikin saya makin kagum dengan dia. Sebuah nasehat yang berhubungan erat dengan alasan kehadirannya di Empat Mata. Ditambah lagi dengan nasehat tentang cara bertahan hidup di Indonesia. Seorang teman Pidi datang ikut nimbrung bersama kami. Pidi bincang-bincang dengan dia. Saya mendengarkan saja obrolan mereka. Lalu Yeye datang. Ia telah selesai shalat. Mukanya terlihat cerah, mungkin karena baru saja wudhu. Yeye duduk kembali di bangku yang sempat ditinggalkannya tadi.
“Udah?”, saya berkata sambil pandang Yeye.
“Eh, iya...Terserah aja”, jawab Yeye.
“Pak Haji, udah dulu. Kita mau pulang dulu aja.”, saya berucap berbarengan dengan mengarahkan mata ke Pidi.
“Oh gitu, okelah. Kapan-kapan disambung lagi. Itu kaos lima biji. Satu bonus buat kamu. Itu bukan punya saya soalnya. Tadi ambil di Mizan.”
Saya ambil uang dan serahkan ke Pidi. Teman-teman saya di Jember agaknya bisa tersenyum bahagia karena titipan mereka sudah saya dapatkan.
Saya tanya gimana cara ke Jalan Surapati sebab Bank Mandiri ada disana. Pidi kasih penjelasan. Kami jabatan tangan. Obrolan diselesaikan. Saya kasih Assalamu’alaikum ke Pidi. “Mari Pak Haji” adalah kalimat yang meluncur terakhir dari mulut saya. Yeye menundukkan kepala sambil senyum. Yeye dan saya berjalan keluar dari Villa Merah. Kami disambut Jalan Ciliwung lagi kemudian bergerak ke jalan yang lebih ramai, Jalan yang saya lupa namanya. Kami berhentikan angkot. Tanya sebentar apakah angkot ini ke Bank Mandiri. Supir bilang iya, tapi jalan sedikit soalnya angkot dia tidak lewat persis di depan Bank Mandiri. Baiklah tak mengapa kalau begitu, wahai supir yang baik hatinya.

Di angkot saya ingat-ingat lagi beberapa bagian obrolan dengan Pidi. Saya ingat soal dia bilang tentang keteguhan berkarya dan membuat sesuatu yang unik. Saya cerna lagi nasehat dia tentang menjalani hidup dengan riang-bahagia. Terimakasih Pak Haji. Saat itu saya berpikir, sebaiknya dia bikin buku dengan judul: “Canda Berbalut Nasehat Pidi Baiq”. Agaknya bagus kalau benar-benar jadi buku semacam itu. Sudahlah, Pidi berkarya dengan caranya. Kita pun akan berkarya dengan gaya kita. Tapi Pidi menginspirasi siapa saja, tentu saja mereka yang paham betul bahwa dalam humor atau bercanda ada makna yang harus disingkap. Agar humor jadi tak garing. Kesimpulan saya tetap setelah bertemu Pidi: dia benar-benar menyatu dengan karyanya.

Lalu kami tiba di Bank Mandiri. Ada nama Yeye di daftar pengumuman peserta tes yang lolos ke tahap 3. Ya sudahlah. Yeye berbahagia. Saya demikian pula adanya. Dan dia harus ke Jakarta untuk ikut tes lagi. Kemudian kami mencari cara untuk pulang. Bis Damri jurusan Dipatiukur-Jatinangor telah tiada karena hari sudah sangat petang hampir malam. Pukul 18.00 kata Yeye setelah saya bertanya, “Jam berapa?”. Kami naik angkot lagi, kini yang menuju Gedebage. Kemudian naik dua angkot lagi, sampailah Yeye dan saya di Jatinangor. Alhamdulillah dengan selamat.(*)


Jatinangor, 29 Maret-1 April 2008
***Ini adalah karangan pertama saya setelah dua minggu terakhir. Saya harus belajar lagi merangkai kata dalam berkalimat karena dua minggu ini saya lewati tanpa mengetik satu karangan pun.

Seterusnya..