Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.


Penghargaan Bagi "Si Toekang Kritik"
(dimuat Harian Umum Pikiran Rakyat edisi 10 November 2008)
Khalayak awam setidaknya pernah membaca ada empat "Bung" dalam buku sejarah. Yakni, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tomo. Namun, agaknya sangat sedikit yang mengetahui bahwa nama yang disebut terakhir baru saja diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Antara (03/03/08) memberitakan, pada 28 Februari 2008 diselenggarakan bedah buku Bung Tomo Menggugat (terbitan Visi Media; Januari 2008). Kegiatan yang paling akhir tentu saja diadakannya pengumpulan sejuta tanda tangan untuk Bung Tomo. Sejumlah kegiatan itu tak sia-sia. Setelah menunggu waktu bertahun-tahun, akhirnya tokoh perjuangan ’45 tersebut diangkat menjadi Pahlawan Nasional sejak 7 November 2008. Polemik berkepanjangan soal pengangkatan Bung Tomo menjadi Pahlawan Nasional tuntas sudah.

Sebagai seorang tokoh, Bung Tomo memang bukan ’pribadi yang biasa’. Ia merasakan riuh-rendah gelombang pergolakan politik di Indonesia pada tiga zaman: awal Indonesia merdeka, Orde Lama, dan Orde Baru.

Ketokohan Bung Tomo selama ini hanya nampak pada era revolusi fisik, yakni ketika ia membakar semangat masyarakat Surabaya untuk melawan tentara Inggris. Ia merupakan salah seorang orator ulung yang lahir dari medan peperangan.

Tanpa menunggu perintah dari Jakarta, Bung Tomo berpidato dengan semangat berapi-api. "Saudara-saudara. Kita pemuda-pemuda rakyat Indonesia disuruh datang membawa senjata kita kepada Inggris dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah dan takluk kepada Inggris. Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia, ’Hai Inggris, selama banteng-banteng, pemuda-pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan menyerah.’ Teman-temanku seperjuangan, terutama pemuda-pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak."

Maka tak aneh jika pertempuran 10 November 1945 menjadi perang yang dahsyat. Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran tersebut. Inggris benar-benar—pinjam istilah dari Bung Karno—"dilinggis" saat itu. Penjajahan memang tak hanya melahirkan penderitaan, namun juga menumbuhkan perlawanan yang sulit dimatikan.

Seorang orator sejati tak akan pernah bisa diam. Tipikal manusia seperti ini selalu menggali alam bawah sadar masyarakat—mencakup kegelisahan, penderitaan dan ketimpangan—tempat ia bernapas. Inilah pula ciri kritikus andal, yakni orang-orang yang tak pernah merasa dalam kondisi mapan. Kritik diungkapkan demi berjalannya perbaikan dalam tubuh masyarakat.

Bung Tomo memang laik disebut sebagai orator sejati. Ketika ia menjadi menteri sekaligus anggota legislatif pada tahun 1950-an, Bung Tomo tak pernah diam. Ia mengritik—melalui surat dan artikel—dekadensi moral yang menggejala di kalangan pejabat kala itu. Nalar kritis Bung Tomo tak luntur walau ia merupakan ’kelompok dalam’ dari elit penguasa di awal Indonesia merdeka.

"Bung Karno, betapa saya tidak gelisah, mengingat bahwa kepala pemerintahan dewasa ini adalah penggali Pancasila, sedangkan rakyat jelata rata-rata belum merasakan kemanfaatan dan kemaslahatan Pancasila. Kedaulatan rakyat telah lama diinjak-injak oleh pembantu-pembantu Bapak Presiden yang terdekat pada masa lampau, keadaan sosial tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Pada saat rakyat jelata hidup menderita merana, orang-orang yang terdekat dengan Bapak Presiden menyusun mahligai kemewahan. Yang lebih seram lagi adalah istri-istri para penguasa tertinggi yang secara sendiri menguras kekayaan negara untuk memuaskan nafsu pribadinya, berfoya-foya di luar negeri, menimbun kekayaan di dalam negeri! Sedangkan para penguasa berbuat seolah-olah tidak tahu semuanya itu." Demikian petikan surat terbuka Bung Tomo yang ditujukan kepada Bung Karno.

Bung Tomo bukanlah sosok yang membuktikan tesis Emile Durkheim tentang kondisi pascaperang. Seusai perang, kata Durkheim, masyarakat justru mengalami gejolak yang kian berat, sekelompok individu mengalami stres karena tak bisa melakukan pekerjaan selain mengangkat senjata. Selain itu, solidaritas masyarakat kian menipis hingga bermunculan kelompok-kelompok di dalam tubuh masyarakat yang berebut kekuasaan. Bung Tomo menganggap bahwa rakyat harus dimuliakan melalui kerja para pemimpin. Perjuangan setelah perang ialah bersatu membangun masyarakat.

Ketika Soeharto dan gerbong Orde Baru-nya berkuasa di Indonesia, Bung Tomo pun belum mau berhenti melancarkan kritik. Ia menyesalkan kedekatan penguasa Cendana dengan sejumlah pengusaha yang, menurut dia, "membikin buyar harapan Orde Baru dan menggerogoti kewibawaan Presiden". Bung Tomo merekam kondisi rakyat yang melihat bersatunya penguasa dan pengusaha tersebut, "Secara diam-diam, rakyat mulai tidak senang pada kepemimpinan kawan kami Soeharto, tetapi tidak berani."

Maka tak aneh kalau Bung Tomo "Sang Toekang Kritik" pernah menjadi tahanan di Penjara Kramatjati antara 1978-1979. Seumur hidup negara ini, memang kritik seolah menjadi tabu. Padahal, kritik ialah unsur pembentuk terpenting dalam masyarakat yang sedang memperbaiki diri. Kritik menjadi penjaga perangai elite penguasa yang sering kali keluar dari jalur "mewujudkan kesejahteraan masyarakat". Selain itu, menurut C. Wright Mills, kritik adalah pembuka selubung tidak rasional dan kepercayaan pada simbol yang menggejala sepanjang tumbuh-kembang masyarakat.

Nyala api semangat Bung Tomo harus dijaga oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Kritik bukanlah sesuatu yang membunuh. Perdebatan justru menjadikan masyarakat tak pernah sepi dari inovasi dalam memperbaiki diri. Peningkatan kualitas pendidikan ialah kunci untuk mewujudkan masyarakat yang menganggap kritik sebagai dialog.

Dulu sesudah Bung Tomo mengakhiri pidato dengan teriakan, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!" rakyat maju ke medan laga melawan penjajah. Saat ini, sangat sayang kalau kita berteriak hanya untuk bertarung dengan saudara setanah air di jalanan. Kalau dulu Bung Tomo berteriak, "Semboyan kita tetap. Merdeka atau mati". Maka kini slogan bangsa Indonesia seharusnya ialah, dialog dan damai.***

Klik ini Saya mendengarkannya di warnet yang pasang musik pakai bahasa Inggris dengan bunyi keras sekali. Tapi saya dengarkan suara Bung Tomo itu tiga kali. Air mata saya jebol. Saya bukan romantis dan cengeng, tapi saya tak mau bohong kalau suara Bung Tomo merdu sekali. Ya Tuhan, limpahkan rahmat kepadanya...

Seterusnya..