Ditambah lagi dengan otak udang (bodoh) maka lengkaplah, kata udang senantiasa menempel pada peribahasa yang bermakna negatif. Padahal, hewan yang bernama-latin Crustacea itu sangatlah bergizi dan mahal harganya. Hampir tiap pulau di Indonesia memiliki daerah budidaya udang dalam tambak dengan orientasi pasar ekspor.
Seperti halnya udang, demikian pula cinta. Sama-sama kerap dimaknai secara keliru oleh masyarakat. Cinta sering dituduh sebagai faktor yang mengotak-udangkan seseorang. Sepintar apapun individu, kalau sudah terkena cinta maka pupus semua kejeniusannya. Hingga mau saja disuruh melakukan kegiatan yang dianggap ‘tak lumrah’ oleh publik.
Cinta pun tak jarang dijadikan perangkap oleh pihak tertentu untuk sekadar menangguk keuntungan. Lewat buku ini, Nurani memberi contoh dengan kerja aparat kapitalis yang mendengungkan cinta lewat iklan, lagu-lagu romantis dan film. Tentu saja, hal itu bertujuan untuk memompa aliran modal yang bersumber dari masyarakat dalam suatu proses konsumsi massal.
Saya jadi ingat penjualan nama cinta pada suatu iklan produk berlian yang berslogan “Say it with diamond”. Ini senilai-arti dengan ada udang dibalik batu; jika ingin mengatakan cinta maka harus membeli perhiasan yang mahal dahulu. Harga berlian yang tinggi tentu saja hanya menguntungkan pengusaha—masyarakat di sekitar daerah pertambangan batu mulia tak pernah ada yang sejahtera.
Nurani Soyomukti juga melihat adanya proses untuk menjadikan cinta sebagai barang ekslusif. Tayangan film dan sinteron yang memenuhi layar kaca setiap hari adalah medium dari kampanye eklusifitas cinta. Proses memaknai cinta tak lagi universal, tapi sebatas hubungan antar individu saja, misalnya pacaran dan pernikahan.
Cinta ialah hasrat sekaligus entitas yang selalu mengiringi peradaban manusia. Kita bisa melongok buktinya pada karya sastra macam Laila Majnun, Romeo and Juliet hingga Siti Nurbaya. Karya sastra sebagai produk masyarakat tak pernah menjadikan cinta hanya memiliki satu wajah. Romeo and Juliet misalnya, bukan mengisahkan hubungan dua kekasih yang gelap mata karena cinta. Namun kisah itu merupakan cita-cita pendongkelan terhadap sikap membedakan manusia berdasarkan status—miskin-kaya, hitam-putih, keluarga kerajaan-rakyat jelata.
Buku yang ditulis oleh Nurani ini melakukan pencarian makna cinta pada lorong filsafat Karl Marx, analisa seksualitas dari Sigmund Freud dan petuah-petuah Kahlil Gibran.
Hal menarik dari Karl Marx ialah bahwa filsuf yang sering dituduh sebagai bapak komunisme itu juga membincangkan cinta pada beberapa karyanya. Marx mendefinisikan cinta sebagai ungkapan manusia terhadap orang lain dan alam. Dalam masyarakat yang mengagungkan kepemilikan pribadi tidak terdapat cinta. Sebab masyarakat macam itu tak mampu mewujudkan keadilan ekonomi-politik dan pemerataan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup yang senilai dengan substansi cinta (hlm.32).
Cinta yang melulu menempel pada materi tak akan pernah mencapai kesejatian. Bahkan, justru cinta seperti itu yang membelenggu umat manusia. Hal demikian tengah berlangsung luas di masyarakat. Materi seolah menjadi tujuan seluruh hidup manusia.
Masa kini, lembaga percintaan sakral bernama pernikahan pun telah dirasuki oleh belenggu materi. “...Tak jarang mempelai merasa lebih aman setelah pasangannya membacakan janji-janji: hendak memberikan nafkah lahir dan batin...” ungkap Bonari Nabonenar dalam Pengantar buku ini (hlm.viii). Bahkan ada pula perjanjian pra-nikah yang pasti diisi oleh hal terkait materi (harta). Maka, cinta tak lagi dianggap sebagai pondasi dalam rumah tangga namun hanya salah satu elemen yang nilainya bisa jadi kurang begitu penting.
Manipulasi konon merupakan elemen penting di abad super-canggih ini. Selain seringkali dimanipulasi dalam bentuk materi, cinta kerap pula ditonjolkan untuk sekadar memenuhi libido manusia. Pemahaman ini bukan hanya menyeruak dalam bentuk sex for fun yang dilakukan oleh kaum berduit. Tapi juga muncul dalam bentuk penguasaan manusia terhadap alam (hlm.87-104). Kerusakan lingkungan yang luarbiasa di abad 21 merupakan wujud nyata nafsu manusia yang dijalankan tanpa kendali untuk meraup keuntungan dari alam. Alasannya tentu saja karena kecintaan manusia kepada materi yang sungguh berlebihan.
“Esensi cinta adalah kesadaran”, demikian ungkapan legendaris dari Marx. Oleh karena itu, bohong jika cinta dianggap mampu membuat kita buta. Cinta justru berfungsi membakar semangat diri untuk terus melakukan perubahan. Bahkan cinta pun menyediakan kekuatan tanpa batas bagi manusia dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Tentu saja, pemahaman cinta seperti itu akan muncul tatkala sikap kritis telah bersemayam dalam diri kita.
Sikap kritis akan membuat manusia terhindar dari segala bentuk manipulasi yang mengatasnamakan cinta. Sebagaimana peradaban manusia yang berproses tanpa henti, demikian pula cinta. Setiap zaman memiliki perbedaan tafsir cinta sebab manusia akan terus-menerus mencari Cinta Sejati seumur hidup bumi. Sikap kritis menjadikan kita siap untuk merevisi pandangan hidup—termasuk soal cinta—setiap saat.
Alhasil, buku ini mengajak kita untuk ‘menangkap udang dibalik cinta’. Sayang memang, penulis buku ini sudah berkata: “Tulisan ini tidak layak dibaca oleh orang yang tidak percaya cinta” (hlm.ix). Padahal, melihat kekayaan isi buku ini, seharusnya Nurani menulis: “Mereka yang ingin menjelajahi ceruk-lekuk cinta seharusnya membaca buku ini”.(*)