Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Sebuah Metro



Rindu selalu datang dengan tidak sopan. Dia masuk tanpa mengetuk. Datang tanpa diundang. Setelah didalam, ia memanen sebuah demi sebuah kenangan yang benihnya telah lama ia tanam. Jadilah hati ini menjelma melankolis dan romantis.

Ini semua gara-gara teman saya, Erik. Nama lengkapnya Erik Yanusa. Ia kini di Tangerang. Bekerja disana, katanya. Bekerja apa, saya tak tahu. “Yahhh...jadi buruhlah”, kata Erik. Jadi buruh kok tiap hari online di internet, Rik? Oh, gua jaga warnet, Den. Beberapa hari ini, saya memang aktif mengobrol bersama Erik itu dengan fasilitas YM! milik Yahoo! Ya, menumpang sama perusahaan Amerika buat bincang-bincang dengan teman lama.

Erik itu yang membuat rindu menghampiri saya lagi. Rindu pada rumah milik orangtua saya. Pada kota milik Propinsi Lampung, Metro namanya. Erik lah yang mengajak saya ziarah lagi ke rumah dan kota tempat saya mukim selama enam belas tahun dan sampai kini masih terus menjadi tujuan kala musim mudik lebaran tiba. Rumah dan kota itu bukan tempat kelahiran saya. Mereka justru membantu saya untuk melahirkan banyak hal; pertemanan, permusuhan, permainan segala macam bentuknya, persaudaraan sedarah, pertempuran antar siswa beda SMU, perjalanan dari gunung ke gunung serta tentu saja, makna sejati dari pertemuan dan perpisahan.

Ini salah satu obrolan diantara kami saat chat—entah pada hari yang kapan—yang berkesan buat saya:
yanusa_erick: jadi inget waktu perpisahan SMA
yanusa_erick: gua ditanya sama Nita, ntar kita kalo sudah lulus jadi apa ya?
yanusa_erick: iya, kita jadi apa ya, den?
yanusa_erick: ada yang udah jadi pns
yanusa_erick: polisi
yanusa_erick: dokter
yanusa_erick: karyawan
Denny Ardiansyah: pengangguran
yanusa_erick: ha ha
yanusa_ercik: ya, kita jadi apa, ya?
Denny Ardiansyah: kita akan selalu jadi kita, rik
Denny Ardiansyah: kita menari dan bernyanyi dengan nasib kita
Denny Ardiansyah: kita menyanyi lagu kita
Denny Ardiansyah: menari dengan tarian kita
Denny Ardiansyah: karena mereka juga begitu
Denny Ardiansyah: mereka menyanyi dengan lagu nasib mereka
Denny Ardiansyah: menari dengan tarian nasib mereka
yanusa_erick: sip. lu mang bisa aja dari dulu

Tujuh tahun, saya meninggalkan kota Metro. Hidup di daerah lain, walau masih tetap ada di lingkaran Indonesia. Mengapakah, tiap kenangan datang, selalu saja menjelma anak kecil lagi? Masa kanak dahulu kala, sering kali meributkan teman di sekolah pakai sepatu merk dan warna apa, tas yang bagaimana bentuknya. Kenapa ada teman perempuan yang pakai lipstik. Si Anu putus ya sama Si Itu? Eh, lupa nih kasih tau...kemaren, Si Dia pulang bareng Si Doi, loh. Ah, entahlah, masa kanak sampai SMA seolah sama saja. Bikin gregetan. Bikin keringetan. Bikin bangga, malu, benci dan rupa-rupa emosi lainnya menempel di ingatan.

Masa lalu mungkin saja sesuatu yang menarik kita dengan tarian yang menggoda agar kita mau kembali kesana; mengulang lagi tindakan yang belum sempat dilakukan, menikmati kembali masa-masa penuh tawa, menutup kejadian yang bikin kita menangis tersedu-sedan. Tapi, kita, tak mampu masuk lagi secara fisik ke masa lalu. Hanya masa lalu yang mampu menusuk masuk tanpa permisi ke dalam kita, ke hati dan otak kita. Sungguh menyebalkan memang, namun itulah yang bisa terbilang. Menggerutu sajalah. Waktu tak berhenti. Waktu berjalan terus. Tak membalik ke belakang tentu saja. Waktu berlari lurus ke muka. Bagi masa lalu, waktu telah berhenti. Tetap. Tak ada yang bisa diganti bahkan terganti.

Menziarahkan ingatan ke masa lalu seolah menghentikan waktu saja. Aih, gak penting ‘kan, akhirnya. Anggapan seperti itu timbul bisa saja. Sebab sudah saya ungkap diatas tentang jati diri waktu dan masa lalu pada paragraf diatas, toh. Tapi, cobalah tarik nafas sehela saja. Sebentar kita kenangkan masa lalu, jika ia menghampiri kita. Menarilah, menarilah bersama entitas itu dengan khusyuk, dengan khidmat dan nikmat. Ziarah ingatan bukanlah korupsi yang menjadi persoalan umum. Kegiatan itu semacam langkah bersenang-senang. Menarik diri sebentar dari gelanggang keseharian kita yang kadang sesak bukan kepalang. Mengingat-ingat masa lalu bagai sebuah oase yang menyegarkan kita kembali. Para ilmuwan sebuat hal itu refleksi. Tapi saya bilang, itu cuma mengingat saja tanpa kita bisa berbuat apa-apa, kecuali tertawa, menangis atau tak bergeming sama sekali bagian tubuh kita kecuali jantung.

Boleh dibilang kita mati setiap hari, setiap jam bahkan detik yang telah kita lalui. Masa lalu adalah tempat mayat kita dimakamkan, tanpa ada upacara apa-apa. Kita hidup hanya hari ini, bukan kemarin atau zaman dahulu kala. Masa lalu tak bisa diubah. Tapi hari ini bisa kita bentuk apapun sebagaimana mau kita. Kelak, hari ini juga menjadi masa lalu, sesuatu yang beku dan kaku. Maka, Cicero mengatakan jikalau ada anggapan bahwa di dunia tiada yang abadi, maka kelirulah anggapan itu. Perubahan adalah yang abadi di dunia ini.

Mengenang masa lalu seolah langkah saja untuk melarikan diri kita dari buaian perubahan yang datang tiap detik. Kita hidup, kemudian mati lagi, hidup lagi, mati lagi, terus begitu. Dan kita kenangkan kematian itu. Kita memancangkan perubahan tiap kali ingatan menjalari kenangan. Maka, anehlah jika kita masih bilang, eh Si Anu berubah loh. Dia itu begini begitu sekarang ini, enggak kayak dulu ih. Sudahlah, jangan lagi digunjingkan yang hari ini. Kenanganlah saja masa lalu. Ingatlah seingin kita mengingat. Perubahan abadi. Tiap kita berubah. Tak tetap. Kalau kaget, ya memang itu akibatnya. Kalemlah.

Mengingat yang telah lalu, ya perlulah. Tapi kalau hanya bikin kita jadi malas bergiat, ya malulah. Ya, jangan dilakukan sajalah. Atau, hanya bikin kita menggerutu dan menyesal, ya sebaiknya berhenti saja ziarah ingatannya. Saya tak menyesal atas apa yang sudah terjadi dan menjadi di masa lalu. Masa lalu itu bagai bahan bakar saja. Seperti kayu kering yang ada di tungku dan siap disulut api agar masakan kita bisa matang untuk disantap dengan riang. Kenangan itu bahan bakar untuk hari ini. Bakarlah sesuka kita. Memasaklah dengan hati senang-gembira.

Erik membuat saya menulis ini tulisan. Saya terkenang lagi dengan Metro. Ingat dengan teman-teman, musuh-musuh, sekolah-sekolah, mantan-mantan pacar, jalan-jalan di Metro tempat saya menjejak dulu. Dan tentulah pula teringat pada mula dan akhir, pertemuan dan perpisahan, kesukaan dan kedukaan yang membentang di pekuburan masa lalu. Terimakasih Erik, sudah mengajak saya pakansi ke masa lalu di kota Metro. Bikin saya singgah sebentar disana. Segar sekali ada disana. Masa lalu sudah menusuk saya. Saya yakinlah akhirnya, apa yang tertusuk padaku, mungkin saja berdarah padamu. Dengan darah itu, kita coba jadi manusia lagi. Bangkit selalu dari kuburan kenangan. Menghidupi hari ini dengan nafas yang baru bukan yang bau.***

Jember, 26 Februari 2008
Foto digunting dari situs penyelenggara Kota Metro

Seterusnya..

Naskah "Yang Lain" dari Pidi Baiq
[sempat bernafas di Harian Media Indonesia edisi Sabtu 23 Februari 2008]

Saya sengaja memberi tanda kutip pada gabungan kata ‘yang’ dan ‘lain’ dalam judul diatas. Tanda kutip itu menunjuk kepada (setidaknya) dua makna. Penulis buku ini—yang juga dikenal sebagai akademikus, komikus dan musikus—bercerita bahwa ia ditanya oleh Doel Wahab (editor Penerbit Mizan) soal naskah buku berjudul Ayat-Ayat Sompral yang sedang dikerjakannya. Naskah itu ternyata belum selesai. Maka, “Saya tawarkan kepada Bang Doel, bagaimana untuk sementara naskah saya yang lain dulu saja yang diterbitkan?”(hal.15).

Jadi, buku Drunken Monster bukanlah naskah yang sedari mula telah dinubuatkan untuk diterbitkan oleh Pidi Baiq. Sebabnya yaitu, Drunken Monster merupakan kumpulan tulisan yang kerap ia unggah (upload) di blog pribadinya: http://pidibaiq.multiply.com. Inilah makna denotatif dari “yang lain” tersebut. Kalau begitu, nampakkah keseriusan Pidi dalam buku ini? Pertanyaan itu patut muncul sebab biasanya “yang lain”—pada taraf denotatif—seringkali merujuk pada sesuatu yang sampingan, tidak serius, sekadar tambahan bahkan tiada guna.

Buku ini telah menyebabkan Prof. Bambang Sugiharto (Guru Besar di Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung) menulis dalam taraf ‘tak lazim’ pada bagian Kata Pengantar (hal.11-14). Saya memiliki beberapa buku yang diberi kata pengantar oleh Prof. Bambang Sugiharto. Tulisan beliau biasanya sulit dipahami dalam sekali baca; deretan kalimatnya terlampau berliuk-lekuk. Ditambah lagi penggunaan istilah dalam bahasa asing yang kerap muncul dalam tulisannya. Tapi, melalui kata pengantar berjudul Ini Buku Berbahaya, saya melihat Prof. Bambang Sugiharto ‘yang lain’.

Kata Pengantar yang ditulis oleh Prof. Bambang Sugiharto sungguh mengalir dan ringan. Beliau menggunakan corak ‘bahasa gaul’—walau memang masih tetap akademis. Melalui buku ini, kita akan membaca tulisan beliau yang padat, jenaka dan menggoda namun tetap berbalut teori-teori. Kalimat akhir yang ditulisnya dalam kata pengantar tersebut berbunyi: “Selamat membaca! Awas kecanduan...”.

Maka, sampai disini, kita bisa melihat bahwa Pidi Baiq sungguh serius menyiapkan naskah buku ini. Ia berhasil ‘memaksa’ seorang profesor untuk mengikuti ruh dan hawa dari bukunya. Sebuah buku yang tidak semata-mata berpretensi masuk ke dalam genre humor. Walau, sayangnya, Penerbit Mizan telah menahbiskan Drunken Monster sebagai ‘Buku Humor’—sebagaimana tertera pada sampul belakangnya.

Jika kita ikuti saja klasifikasi dari Penerbit Mizan tersebut, siapkanlah hati untuk menuai kecewa. Humor yang dipersembahkan Pidi untuk pembaca Drunken Monster bukanlah jenis lawakan ringan.

Kita mungkin sudah sangat jengah dengan humor yang berseliweran di televisi. Humor yang terlampau kering makna sebab hanya bisa membuat kita tertawa. Kita tidak hanya diajak untuk tertawa saat membaca Drunken Monster. Pidi telah menyiapkan bahan permenungan yang laik kita lakukan paska membaca salah satu kisah dalam buku ini.

Tapi, tak perlu jua kita khawatir apalagi takut jikalau humor Pidi terlampau intelektualis dan akademis—sebab ia adalah mantan Dekan FSRD International University di Bandung. Guyonan Pidi sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ia berkisah tentang diri sendiri, anak dan istrinya, tukang becak dan ojek serta orang-orang yang ada di kompleks perumahannya. Pidi membangun cerita melalui dialog yang ringan namun menyiratkan kedalaman makna.

Tentu saja, walau diakui sebagai catatan harian, kita tak perlu percaya bahwa kisah yang ditulis Pidi nyata adanya. Drunken Monster tetaplah cerita pendek dalam artian sebenarnya. Kisah yang memaksa kita untuk percaya namun tetaplah cerita itu bohong adanya. Namun, adakah penulis yang tidak berbohong? Peristiwa yang diceritakan oleh seorang penulis boleh saja sebuah kebohongan. Namun pikiran-pikiran yang terkandung dalam suatu cerita (sastra) adalah lukisan kejujuran harapan yang ada di benak seorang penulis.

Imajinasi adalah kunci dari kesuksesan buku ini berdialog dengan pembaca. Pidi berhasil membawa pembaca seolah masuk tanpa kesulitan apapun untuk melongok kehidupan di kampus ITB, jalan-jalan di Kota Bandung dan interaksi antar tetangga di kompleks perumahan tempatnya bermukim. Bahkan Pidi juga mampu membuat pembaca iri dengan kehangatan yang selalu menaungi keluarganya. Ada lima cerita dalam buku ini yang benar-benar menjadikan rumah tangga Pidi sebagai pusat kisah. Pidi yang kini (benar-benar) hidup bersama Rosi (istrinya), Timur Langit Hali dan Bebe Bibe Utara (anak-anaknya) kiranya merupakan contoh keluarga yang menjadikan humor sebagai basis interaksi sehari-hari.

Walhasil, Pidi Baiq—pria kelahiran Bandung, 8 Agustus 1972—telah memancangkan sebuah khazanah baru dalam pola penulisan cerpen (atau kisah humor) di dunia sastra kita. Inilah makna “yang lain” pada bentuk konotatif dari karya Pidi Baiq. Melalui “catatan harian”-nya, Pidi tak sekadar berhumor, namun ia mampu memperlihatkan seni berinteraksi di tengah modernitas masyarakat yang serba cepat, kalut dan individualis. Boleh dikata, semua gaya bercanda yang dipaparkan Pidi melalui 18 tulisan pada buku ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pembacanya. Ya, dalam pemahaman saya, Pidi mampu melahirkan sebuah genre ‘humor terapan’.

Sayangnya, Pidi nampak tiada berkeinginan menciptakan tokoh yang berpotensi untuk menjadi legendaris melalui kisah-kisah yang dikumpulkan dalam Drunken Monster. Tokoh utama dalam tiap kisahnya adalah Pidi Baiq sendiri. Hal ini agak rawan sebab Pidi terlihat tak memperbolehkan karyanya terbang jauh dari kediriannya. Atau, kita juga bisa memaknai bahwa hal itu terjadi sebab Pidi sudah memproklamirkan bahwa karyanya adalah catatan harian. Bahkan, mungkin saja, ia juga menjadikan karyanya sebagai bahan untuk merenung agar bisa pula diterapkan pada dirinya. Hingga tatkala ada seorang pembaca buku ini bertemu dirinya akan berkata: “Oh, Pidi benar-benar humoris ya...”.

Buku ini dilengkapi pula dengan ilustrasi yang memisahkan halaman tiap cerita. Ilustrasi yang dikerjakan oleh Pidi sendiri. Lengkaplah, Drunken Monster memang catatan harian Pidi Baiq—vokalis band The Panasdalam—yang mampu membuat kita tertawa sarat makna.(*)

Baca ini juga

Seterusnya..

Ya Ampun...

Cecaplah cerita ini:
Ya, dunia ini sempit saja kok. Saya pikir lebar. Saya tahu sebabnya: saya Gaptek. Gagap Teknologi, kata orang-orang. Boleh jadi artinya seperti itu. Tapi saya tambahkan dan luaskan saja perpanjangan kata itu. Gaptek juga dekat maknanya dengan: GAk Pake TEKnologi. Atau khusus untuk saya, bisa juga searti dengan: Gayanya Aja Pake TEKnologi. Aih, agak mirip ya? Ya, memang sengaja saja kok sebabnya.

Bapak Yasraf Amir Piliang sebenarnya sudah jauh-jauh hari bilang ke saya—tentu saja lewat bukunya yang berjudul Dunia Yang Dilipat—bahwa dunia itu kian kecil adanya. Sebenarnya sih, Pak Yasraf juga mendengar itu dari orang-orang lain—yang mungkin juga hanya ditemuinya dalam buku saja. Buku bacaan wajib waktu awal-awal kuliah itu bikin saya terkejut sekaligus ‘gak begitu percaya. Kenapa? Sebab saya belum jua menerima atau melihat buktinya. Dan saya suka buku itu karena isinya banyak protes saja. Maklum anak muda, kalau tak protes sepi rasanya. Kata orang-orang, itu zaman posmodern. Bukan kata saya, loh. Zaman dimana yang kecil seringkali diutak-atik agar jadi besar. Yang besar sering dibikin kecil saja. Itu teknologi yang jadi penyebabnya. Kata orang-orang kayak gitu. Dari tadi kok kata orang-orang terus, sih? Memang yang bikin ini tulisan, siapa? Tentu saja, saya adanya.

Hampir tiap hari ke warnet. Hanya kirim tulisan ke koran-koran awalnya. Lalu berkembang. Cari bahan-bahan untuk nulis jadinya. Itu setelah 2 tahun pura-pura ngelakoni pekerjaan sebagai penulis yang nyambi jadi mahasiswa. Eh, kebalik ya? Ya udah, ‘gak apa-apa ya... Mulai tahun 2007, saya sibuk posting-posting tulisan atau apa saja—yang saya sebut sebagai puisi, artikel, resensi buku, atau sekadar cerita kayak gini—ke blog.

Dunia makin sempit saja. Padahal, beneran nih, saya pikir tadinya kecil adanya. Bahan nulis saya dapat dari koran yang kadang baca, tapi lebih sering 'gak. Atau dari buku-buku. Atau dari gosip-gosip yang berseliweran di warung tempat cangkrukan. Ketika nulis, saya berpikir dunia itu benar-benar lebar. Ada banyak hal yang saya ‘gak tahu (tahu atau tau, sih? Takut salah ketik). Dengan teknologi, kita tingkatkan produktifitas bangsa....eh salah...maksudnya, produktifitas pengetahuan saya meningkat agak pesat walau memang selalu saja tersendat. Cari bahan buat menulis (Aih, kini tulisannya benar ya?) di jejaring internet saja. Banyak yang bisa dicari disana. Macam-macam koran pun bisa dibaca dengan mudahnya. Wah...senangnya hatiku...Jadi pengin (atau pengen, sih?) ketawa saja kalau ingat masa lalu. Ya, masa lalu membuat kita ingin melongok hati sesekali dan tentu saja mengocok perut kalau lama-lama bersemayam di otak.

"Bang, Wulan Guritno punya blog....", kata Arip (dia bisa marah kalau saya tulis namanya pakai 'p') dikontrakan malam tadi.
"Iya tah?", saya jawab sambil tidur. Maksudnya tidur-tiduran di karpet ruang tengah.
"Ya, ini ada beritanya di koran"
"Halah...wong cuma punya blog kok diberitain?", Upss...saya akhirnya minta maaf sama wartawan yang nulis berita itu, ya... Kalau gak diberitain 'kan kesulitan saja mau cari nasi. Saya lalu ingat diri sendiri. Wong buku saja pakai diresensi segala? Emang orang laen ‘gak bisa bacanya? Emang buku itu pakai bahasa non-Indonesia? Eh, Mas...saya ini menyebut diri penulis. Ya harus nulis saja, apa yang bisa dan memang layak ditulis, saya menggumam di hati. Berarti sama dong dengan para wartawan itu? Ya tentu saja, saya ambil kesimpulan. Juga dalam hati.
***
"Wah...ini dia blognya Wulan", kata Arip yang sekarang sudah ada di warnet dan duduk di sebelah saya. Kami ada di depan komputer yang beda, loh. Jadi, wahai... tolonglah, jangan pikirmu macam-macam.
"Mana...Mana, kalo ‘gak mau kasih liat, saya cabut kabel komputermu"
"Ini nih...Tuh 'kan"
"Kok ketemu? Gimana bisa? 'Kan tadi di koran itu dia bilang ngerahasiain alamat blognya", saya heran terus bertanya. Ke siapa? Ya ke Arip lah.
"Ini, cari di Google..."
"Kasian ya, Wulan Guritno kalo gitu...", saya coba berempati—padahal senang bukan kepalang bisa melihat blog artis cantik itu.
"Kenapa, bang?"
"Dia udah melakukan kesia-siaan. Coba dikasih tahu aja sama wartawan itu nama blognya. Mungkin tak seperti ini jadinya."
"Ya...namanya juga artis. Pura-pura rahasiain puri tempatnya menyendiri", Arip berkomentar dengan mata tetap ke layar monitor dan tangan mengendalikan mouse.
"Ya, hiks...hiks..."
"Kok nangis, bang?", tanya Arip sambil menengok ke arah saya.
"Gak, tadi mau bersin gak jadi...".

Lalu saya cari lagi. Cari apa? Tentu saja cari blog para artis lainnya. "Wey, ketemu lagi. Ini Dian Sastro!!!", saya berteriak—tentu dalam hati saja. Khawatir diusir sama yang punya warnet. Dan, saya tidak mau kasih tahu Arip. Pasti dia bakal ancam saya juga untuk tahu alamat blog Dian Sastro. Saya hanya mampu menggumam saja dalam hati:
"Oh, Dian Sastro. Dirimu biasa sekali di blog ini"
"Senang rasanya bisa melihat dirimu biasa saja. Tidak seperti yang saya lihat biasanya di televisi, kau sungguhlah luar biasa"
"Dian...tulisan-tulisanmu, sungguh membuatku seolah menganggapmu sebagai kawan saja."
"Padahal, kau pasti malu berkawan denganku."
"Mengapakah? Karena aku bukanlah kawanmu."
"Baiklah, kulamar kau, Dian. Bukan sebagai istriku. Tapi untuk menjadi kawanku. Oh...maksud saya, temanku. Khawatir salah kira kalau pakai kata kawan. Apalagi ditambah ku dibelakangnya."
"Dian, saya tak tahu-menahu lagi harus apa. Tapi di depan saya, sekarang, sudah ada sepiring tahu tek yang saya pesan sebelum masuk warnet tadi. Saya makan dulu, ya. Janganlah kau mengirikan diriku yang makan ini. Sebab aku sedang ada di sebelah kanan dari meja kasir warnet dan kau tahukah, Dian? Seharian ini, belumlah aku makan."

Lalu saya makan dengan hati berbunga-bunga. Saya akan cerita ke teman-teman saya soal penemuan terbaik malam ini. Biarlah Arip tiada tahu blog Dian Sastro. Biar saja dia hanya mengerti kalau saya makan tahu tek, itu saja.

Larut malam telah menjadi dini hari. Saya mendapat banyak alamat blog para artis. Saya makin yakin akan mematikan televisi. Saya melihat para artis itu biasa saja di blog mereka. Dan dunia memang kecil. Tentu saja, bukan sekecil silet. Itu pasti. Silet tajam, dunia menyenangkan. Wulan Guritno cantik. Dian Sastro pastilah demikian. Demikian apa? Demikian cantik dong. Tapi, saya, mungkin saja baik.(*)
Bumi Tawang Alun, 14 Februari 2008

Seterusnya..

Hallloooo....Nobel Ekonomi Tak Melulu Soal Ekonomi


Sampul buku ini biru laut. Pada warna biru laut, galibnya, disematkan makna perdamaian dan kesejahteraan. Hatta melalui sampulnya saja, kita bisa mengetahui bahwa buku ini khusus membahas bidang yang terkait dengan dua hal tersebut. Esai-Esai Nobel Ekonomi yang dieditori oleh Bagus Dharmawan ini adalah kumpulan yang (agak) lengkap dari pemikiran para penerima Hadiah Nobel di Bidang Ekonomi.

Karena buku ini adalah kumpulan tulisan, maka kerja keras Bagus Dharmawan sangat nampak dalam mengeditorinya. Tahun kelahiran tulisan diabaikan olehnya ketika menyusun urutan pemuatan dalam buku ini. Namun, tetaplah buku ini memiliki susunan yang teratur. Isi tulisan yang membahas pemikiran tiap tokoh penerima Hadiah Nobel Ekonomi adalah basis penyusunan buku ini. Hanya saja, tidak semua tokoh yang menerima penghargaan itu dikupas dalam buku ini. Maka, laiklah sejatinya jika editor buku ini menyertakan pula daftar nama penerima Hadiah Nobel Ekonomi dari tahun ke tahun.

Awalnya, penghargaan tahunan yang diadakan pertama kali pada 1901 itu hanya memberikan anugerah pada para tokoh yang bergelut di ranah ilmu kimia, fisika, kesusastraan, perdamaian dan kedokteran (fisiologi). Maka dari itu, jika usia penghargaan nobel untuk kelima bidang itu telah melampaui satu abad, maka umur Nobel Ekonomi—sampai tahun 2007—belumlah melewati lima puluh tahun. Namun, sejak diselenggarakan pada tahun 1969, Nobel Ekonomi tidak pernah absen dianugerahkan tiap tahun. Sementara penganugerahan Nobel di kelima bidang yang lain sempat berhenti pada tahun-tahun tertentu.

Royal Swedish Academy of Sciences (RSAS) pertama kali memberikan anugerah Nobel Ekonomi kepada Jan Tinbergen (Belanda) dan Ragnar Anton Kittil Frisch (Norwegia). Sayangnya, dalam buku ini yang diulas secara detail hanyalah pemikiran Tinbergen (hal.3-10). Tinbergen adalah salah satu ekonom yang pemikirannya kental dengan nuansa sosialis. Ia turut berandil besar dalam restrukturisasi ekonomi Belanda paska-Perang Dunia II. Sepanjang hayatnya, ia selalu menelurkan pemikiran yang berusaha memperkecil ketimpangan di antara negara maju yang berada di utara dan negara berkembang (miskin) di selatan. Namun, justru karena terobosannya dalam ekonometri, Tinbergen menerima Nobel Ekonomi bersama Frisch. Jan Tinbergen mampu menggunakan angka-angka untuk mengukur perkembangan ekonomi dan dikaitkan dengan tindakan-tindakan politik.

Selain itu, Tinbergen telah meletakkan suatu konsep penting dalam ranah ilmu ekonomi, yaitu teori konvergensi. Melalui teori ini, Tinbergen menunjuk pada dua arah. Pertama, ekonomi bukanlah ilmu yang bisa berdiri sendiri namun harus berdampingan dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan ia mengatakan bahwa keadilan sebagai tujuan sistem ekonomi hanya dapat ditegakkan jika moral juga diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi. Kedua, Tinbergen melakukan analisa yang cukup meyakinkan bahwa sejak masa-masa awal keruntuhan komunisme dan bangkitnya kapitalisme yang tersisa adalah gabungan sistem ekonomi dari dua ideologi besar tersebut.

Di kemudian hari, dua arah pemikiran Tinbergen ini sama-sama berkembang dengan jalannya sendiri. Para tokoh yang menerima Nobel Ekonomi setelahnya adalah ekonom yang membina keahlian pada salah satu dari dua bidang ilmu ekonomi itu. Untuk itu tepatlah sudah ketika Nobel Ekonomi dianugerahkan pertama kali kepada Tinbergen.

Ilmu ekonomi—walau pernah “divonis mati” oleh Paul Ormerod karena terlalu matematis—tetaplah ranah yang menjadi titik tolak keberangkatan suatu masyarakat menuju kejayaan maupun kehancuran. Maka dari itu, tak aneh jika pemikiran macam Douglas C. North dan Robert W Fogel (pemenang Nobel Ekonomi 1993), Amartya Sen (1998), Joseph E Stiglitz (2001) turut pula mewarnai pemahaman kita soal ilmu ekonomi. Ternyata klaim Ormerod bisa kita maknai sebagai palu godam yang menghantam “jantung matematis” ilmu ekonomi yang terlalu kaku.

Douglas C. North dan Robert W. Fogel meletakkan pemikiran ekonomi yang diintegrasikan dengan ilmu sejarah. Hal inilah yang dianggap melanggar tradisi pemberian Nobel Ekonomi, karena peraih penghargaan tersebut sebelumnya adalah para ekonom yang berkecimpung di bidang ilmu ekonomi murni (hal.59-60). Pemikiran dua tokoh itu cukup segar dan meyakinkan; perkembangan ekonomi suatu negara akan sangat bergantung pada kondisi pranata sosial (North) dan perubahan-perubahan teknis yang dilakukan oleh suatu organisasi ekonomi (Fogel). Bahkan, Fogel—melalui hasil penelitian bertahun-tahun—dengan tegas menyatakan bahwa nasib pekerja pada masa perbudakan yang terjadi di Amerika tidak lebih jelek ketimbang pada era ‘pekerja bebas’ seperti saat ini (hal.63-64).

Kejutan dalam penganugerahan Nobel Ekonomi kembali berlanjut di tahun 1998. Padahal, sepuluh tahun sebelumnya, Amartya Sen pernah diremehkan oleh salah satu panitia penganugerahan Nobel Ekonomi. “Dr. Sen tidak akan pernah mampu meraih Hadiah Nobel. Ia terlalu banyak memasukkan masalah-masalah nilai dalam karya penelitian ekonominya”, demikian alasan si panitia (hal.124). Namun Sen justru meraih Hadiah Nobel karena kesetiaannya mendedahkan fakta-fakta sosial-ekonomi yang dikaitkan dengan moral dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Amartya Sen selalu berpihak pada kaum papa dalam setiap penelitian yang dilakukannya.

Ilmu ekonomi adalah bidang yang tidak saja bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan suatu masyarakat, perangkat analisa ekonomi seharusnya turut pula menciptakan perdamaian. Terpilihnya Joseph E Stiglitz pada tahun 2001 kiranya makin menegaskan bahwa ilmu ekonomi bukanlah sekadar permainan angka dalam kebijakan makro dan mikro ekonomi semata. Stiglitz kita kenal sebagai sosok yang selalu bersuara lantang menentang kebijakan ekonomi-politik yang menafikkan unsur perdamaian—seperti invasi Amerika terhadap Irak.

Buku ini juga dilengkapi dengan pemikiran beberapa ekonom yang pernah menjadi kandidat Hadiah Nobel, seperti Hernando de Soto (Peru), Constantino Tsallis (Yunani/Brazil), Louis Bachelier (Perancis). Pada bagian Kata Pengantar, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mampu menutupi kekurangan buku ini, yaitu dengan menelisik ilmu ekonomi sampai ke akar filsafat Hegel dan Marx serta pemikiran revolusi saintifik milik Thomas Khun. Walhasil, buku ini tidak saja cocok dibaca oleh individu atau lembaga yang bergelut di ranah ekonomi saja.(*)

Seterusnya..