Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.


Membongkar Militer(isasi) Amerika

(dipublikasi di Koran Tempo edisi Minggu, 4 Januari 2009)

Kalau ada negara yang terkenal dengan perang, ia adalah Amerika Serikat. Perang telah melabur sejarah internal negeri itu sejak didirikan oleh para eksil dari Eropa sekitar tiga abad lalu. Amerika Serikat juga aktif dalam tiap edisi Perang Dunia. Bahkan, hingga kini, tampuk panglima perang internasional kian kukuh dipegang negeri itu.

Mengapa negara yang akan dipimpin Barack Husein Obama hingga 2013 itu terkenal doyan perang? Nick Turse memiliki jawaban mengejutkan dalam buku setebal 304 halaman ini.

Setelah berada di kelompok pemenang pasca-Perang Dunia II, industri militer yang merujuk pada pengembangan teknologi persenjataan di Amerika luar biasa meningkat. Saat itulah istilah complex mulai mengemuka sebagai sebutan untuk industri militer. Tapi Presiden Amerika ke-34, Dwight D. Eisenhower, sempat meluapkan kekhawatiran terkait dengan eksistensi complex ketika menyampaikan pidato perpisahan di akhir masa jabatannya pada 1961.

Ike--panggilan akrab Eisenhower--memberi peringatan kepada publik Amerika bahwa complex akan berkembang hingga level yang mengerikan. Maka ia mengharapkan kecerdasan publik untuk meminimalisasi dampak negatif dari complex.

Itu semata-mata bertujuan agar keamanan dapat tumbuh subur bersama kebebasan. Sebelumnya, pada 1957, C. Wright Mills, seorang sosiolog terkemuka di Amerika, telah pula meramalkan tumbuhnya sebuah aliansi ekonomi-militer yang mampu merasuk ke ruang-ruang politik dan pendidikan (halaman 14-15).

Tapi, pada kurun berikutnya, complex tak sekadar dapat dikaitkan dengan industri senjata untuk militer. Entitas tersebut, sebagaimana dikatakan Turse, telah bermetamorfosis menjadi gurita dengan tentakel sangat banyak hingga mudah merengkuh apa saja.

Pihak militer Amerika kini telah membina hubungan yang sangat erat dari kaum akademisi, peneliti independen, media massa, kreator video game, produser film, produsen minuman-makanan, pabrik pakaian, hingga perusahaan pembuat peralatan dapur. Koalisi itu semata-mata bertujuan untuk melanggengkan militer sebagai identitas kenegaraan AS. Lebih jauh, complex yang kian menggurita dipandang oleh Turse sebagai usaha militerisasi masyarakat sipil Amerika.

Di negara-negara Barat, tak terkecuali Amerika, berlaku sebuah aturan yang disebut Posse Comitatus Act. Aturan tersebut melarang militer terlibat dalam usaha penegakan hukum di dalam negeri hingga berdampak pada minimnya anggaran dana yang disediakan untuk militer.

Tapi Turse berhasil mengungkap fakta betapa kaya militer Amerika. Pentagon dan Departemen Pertahanan Amerika bagai selang yang mengalirkan dana wajib pajak untuk kepentingan militer. Lalu dana tersebut disalurkan secara rutin kepada perusahaan-perusahaan yang menjadi rekanan militer Amerika.

Sepuluh tahun sejak pidato peringatan dari Eisenhower, tercatat 22 ribu perusahaan yang mengerjakan pelbagai proyek untuk mendukung militer. Kini jumlah itu membengkak menjadi 47 ribu perusahaan (halaman 3).

Tentakel complex kian menjulur ke mana-mana setelah peristiwa 11 September 2001. Anggaran untuk keamanan dan militer makin membludak, yakni mendekati jumlah US$ 1 triliun per tahun. Turse menyindir sikap berlebihan pemerintah Amerika dalam menangani keamanan dengan kalimat "bringing the war home". Padahal, menurut Turse, tingkah Amerika di dunia internasional yang membuat negeri itu menjadi incaran banyak musuh.

Turse juga memaparkan data yang sangat mencengangkan terkait dengan perilaku militer Amerika dalam buku ini. Agen-agen CIA telah menghabiskan jutaan dolar untuk bersenang-senang sembari menjalankan tugas di luar negeri.

Pentagon pernah melaporkan bahwa konsumsi bahan bakar selama satu hari untuk berperang di Irak dan Afganistan sekitar 365 ribu barel, setara dengan konsumsi harian warga Swedia. Tapi Sohbet Karbuz, seorang ahli perminyakan internasional, memperkirakan bahwa jumlah itu sebenarnya mendekati angka 500 ribu barel (halaman 41-42). Tentu saja kebutuhan tersebut akan dengan mudah direngkuh oleh militer Amerika karena sejumlah perusahaan minyak berskala internasional telah menjadi kontraktor tetap dari Departemen Pertahanan.

Pemborosan yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan Amerika bukan berjalan tanpa kritik. Sejak 1940-an hingga saat sedang menjabat Presiden Amerika, Ike telah mengkritik pengeluaran Departemen yang tak terkendali. Ia mengungkapkan borosnya Departemen bagai jalan kecil menuju negara garnisun di mana militer akan memegang kekuasaan yang luar biasa di seluruh negeri (halaman 270).

Militerisasi di Amerika yang berjalan dengan memanfaatkan teknologi tinggi itu membuat gundah Turse. Tentu saja disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat Amerika bahwa mereka secara diam-diam telah mendukung pengiriman dan penyerbuan yang dilakukan militer Amerika ke pelbagai belahan dunia. Dukungan itu dilakukan ketika warga Amerika mengkonsumsi produk dari perusahaan yang menjadi kontraktor Pentagon dan Departemen Pertahanan.

Sayangnya, hampir tak ada perusahaan yang bukan rekanan Pentagon dan Departemen Pertahanan. Sebab, perusahaan yang tak bersedia membantu militer Amerika malah akan dipandang sangat "tak Amerika". Salah satu kampanye Barack Obama ialah "memulangkan semua tentara ke rumah mereka". Itu memang sebuah sinyal bagus bagi penciptaan perdamaian di muka bumi yang bisa disponsori oleh Amerika.

Salah satu indikator pembuktian, menurut hemat saya, ialah keberanian dia memotong tentakel complex. Kalau Obama tak kuasa memangkas anggaran untuk Departemen Pertahanan, apa boleh buat, kita akan selalu mengenal Amerika sebagai negara yang gemar bertempur.

Seterusnya..



"Elizabeth Pisani memberi dua tawaran kontroversial, keharusan menggunakan kondom di tempat pelacuran dan pemberian jarum steril bagi pengguna narkoba suntik."

AIDS mungkin bagai belusuk (ular laut berbisa). Siapa pun yang sering 'berbasah-basah di laut' bisa tergigit. Lantas apakah cukup melarang individu mandi di laut hanya karena keberadaan belusuk?
Sejak Luc Montagnier dan Francoise Barre-Sinoussi (keduanya meraih Hadian Nobel bidang Kesehatan 2008) menemukan HIV pada 1982, AIDS telah membunuh 25 juta orang. Bahkan hingga kini 33 juta orang di dunia telah terinfeksi HIV. Elizabeth Pisani menuturkan pengalamannya selama berkecimpung dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS melalui buku setebal 589 halaman ini.
Pada 1993, Pisani memutuskan berhenti sebagai wartawan Reuters. Ia memilih mengikuti program master dalam bidang demografi medis. Tak dinyana, jalur itu justru mengantarkannya ke dalam pusaran penanggulangan HIV/AIDS. Noni asal Inggris itu kian sibuk setelah masuk ke UNAIDS pada 1996.
Pisani sadar bahwa menjadi aktivis penanggulangan HIV/AIDS justru meminta kerja ekstrakeras ketimbang saat ia masih berprofesi sebagai kuli tinta. Maka, buku ini pun bercerita tentang ketegaran seorang anak manusia bergelut dengan pilihan profesinya.
Jean Baudrillard (dalam Piliang, 2004:171-172) sempat mengupas persoalan AIDS melalui karyanya berjudul Seduction. Penyakit itu, menurut Baudrillard, muncul sebagai dampak dari sistem tak terkendali yang sebenarnya merupakan kreasi kita sendiri. Sistem itu ialah transparansi dan promiskuitas (jaringan seksual dengan siapa saja) dalam orbit global. Alih-alih meluapkan kenyamanan, analisa Baudrillard malah seperti manusia yang merutuki nasib tanpa berbuat apa-apa.
Pisani melangkah jauh dari sekadar bermuram durja ketika melihat persoalan AIDS. Penyakit itu, menurut Pisani, hanya menular lewat dua bentuk kegiatan, yaitu seks dan narkoba suntik. Globalisasi, kemiskinan dan tinggi rendahnya tingkat pendidikan bukanlah faktor utama yang menjadi tunggangan HIV untuk menyebar ke seluruh dunia.
Maka, solusi konkret dari Pisani ialah penggunaan kondom bagi kalangan yang melakukan seks berisiko tinggi dan pemberian jarum steril untuk pengguna narkoba suntik. Tentu solusinya mengundang kontroversi. Ia seperti mengamini berlangsungnya praktik gelap yang ada di belahan dunia.

Realitas Kondom
Pisani memang mengajak kita untuk menjejak di bumi realitas, bukan terus-menerus terbang mengawang di langit idealitas. Misalnya, mampukah menghapus prostitusi (salah satu pekerjaan tertua di muka bumi)? Pisani beranggapan, gerakan penutupan bordil hanya akan mempersulit proses pencegahan AIDS karena para penjaja seks komersial (PSK) tak lagi berada di satu tempat.
Noni dari Inggris ini tak segan masuk ke gerai seks, mulai dari lokalisasi Rawa Malang (Jakarta), bar-bar di Dili (Timor Leste), hingga sejumlah bordil di Dongxing (Tiongkok). Dia menemukan minimnya penggunaan kondom di kalangan pembeli seks dari PSK. Padahal, itulah wahana yang tepat bagi penularan HIV. Maka, aturan ketat penggunaan kondom di lokalisasi, menurut Pisani, mutlak diperlukan untuk mencegah penyebaran AIDS.
Sering berganti pasangan dalam hubungan seksual-—tanpa menggunakan kondom-—dipastikan menjadi penyebab seseorang tertular HIV. Namun, polanya bergantung pada geografis dan kultural suatu daerah. Pada kebanyakan negara di benua Afrika, tak perlu keberadaan prostitusi untuk menularkan HIV.
Demikian pula pola penyebaran HIV melalui jarum suntik yang dipakai bergantian di kalangan pengguna heroin. Walau seluruh dunia mengamini bahwa heroin adalah barang ilegal, tapi pengguna barang itu tak jua susut. Penjara menjadi lumbung penularan HIV melalui jarum suntik (hal.448).
Narkoba yang tidak dikonsumsi secara suntik pun turut berkontribusi pada penyebaran AIDS. Pengguna narkoba yang sedang high memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan hubungan seks tanpa kondom. Pisani mengakui bahwa di Indonesia dan sebagian besar negara di Asia, konsumsi narkoba memang saling tumpang tindih dengan perilaku seks berisiko tinggi dalam pola penularan HIV (hal.169).

Pertaruhan dana
Berbicara tentang upaya penanggulangan, Pisani melihat adanya beberapa kendala. Pertama, birokrat di negara berkembang masih enggan mengucurkan dana bagi pencegahan epidemi AIDS. Hal itu bertolak belakang dengan pejabat di negara maju yang mulai aktif menggelontorkan dolar bagi program penanggulangan HIV/AIDS, walau tentu saja, sebelumnya birokrat di negara maju juga malas melakukan hal itu.
Kedua, datang dari kultur suatu daerah. AIDS masih dipahami sebagai 'penyakit hukuman' bagi kelompok yang berperilaku di luar norma masyarakat. Akibatnya, orang-orang yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS enggan memeriksakan kesehatan mereka karena takut distigma negatif oleh masyarakat.
Ketiga, Pisani mengungkapkan adanya pertarungan antarlembaga yang berkecimpung di dunia narkoba dan AIDS juga sering memecahkan konsentrasi dari kegiatan pencegahan menyebarnya epidemi AIDS. Patut diketahui, kini lembaga internasional yang menangani AIDS bukan hanya UNAIDS. Pertarungan antarlembaga itu terjadi karena perbedaan ideologi yang diusung, hingga berakibat pada cara pandang dan penanganan terhadap AIDS.
Melalui buku ini kita bisa mengetahui bahwa AIDS telah menjadi komoditi yang bisa dijual, dan pengaruhnya mampu merasuk ke relung politik. Bahkan, 'belusuk' itu tak lagi hanya menyebarkan bisanya kepada mereka yang sering 'berbasah-basah di laut'. Para istri setia dan jabang bayi pun memiliki peluang mengidap AIDS karena tertular HIV dari seorang suami yang sering 'jajan' di luar rumah.
Akhirnya, buku ini memang menawarkan sikap bijak kepada kita dalam memahami penyakit AIDS.

Catatan: Judul resensi ini telah diganti oleh redaktur Media Indonesia menjadi: "Kondom dan Jarum Suntik Noni Inggris"

Seterusnya..