Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.


Menangkap U(d)ang Dibalik Cinta

Saya selalu merasa terdapat permusuhan antara nenek-moyang kita dengan hewan udang. Jika tak percaya, coba tengok penggunaan kata udang pada peribahasa yang diwariskan oleh leluhur kita. Misalnya; udang dulu tangguk (dalam keadaan sangat gelisah) dan ada udang dibalik batu (memiliki maksud tersembunyi). Atau udang hendak mengatai ikan yang memiliki arti searah dengan udang tak tahu dibungkuknya, yaitu tak tahu aib yang ada pada diri sendiri.

Ditambah lagi dengan otak udang (bodoh) maka lengkaplah, kata udang senantiasa menempel pada peribahasa yang bermakna negatif. Padahal, hewan yang bernama-latin Crustacea itu sangatlah bergizi dan mahal harganya. Hampir tiap pulau di Indonesia memiliki daerah budidaya udang dalam tambak dengan orientasi pasar ekspor.

Seperti halnya udang, demikian pula cinta. Sama-sama kerap dimaknai secara keliru oleh masyarakat. Cinta sering dituduh sebagai faktor yang mengotak-udangkan seseorang. Sepintar apapun individu, kalau sudah terkena cinta maka pupus semua kejeniusannya. Hingga mau saja disuruh melakukan kegiatan yang dianggap ‘tak lumrah’ oleh publik.

Cinta pun tak jarang dijadikan perangkap oleh pihak tertentu untuk sekadar menangguk keuntungan. Lewat buku ini, Nurani memberi contoh dengan kerja aparat kapitalis yang mendengungkan cinta lewat iklan, lagu-lagu romantis dan film. Tentu saja, hal itu bertujuan untuk memompa aliran modal yang bersumber dari masyarakat dalam suatu proses konsumsi massal.

Saya jadi ingat penjualan nama cinta pada suatu iklan produk berlian yang berslogan “Say it with diamond”. Ini senilai-arti dengan ada udang dibalik batu; jika ingin mengatakan cinta maka harus membeli perhiasan yang mahal dahulu. Harga berlian yang tinggi tentu saja hanya menguntungkan pengusaha—masyarakat di sekitar daerah pertambangan batu mulia tak pernah ada yang sejahtera.

Nurani Soyomukti juga melihat adanya proses untuk menjadikan cinta sebagai barang ekslusif. Tayangan film dan sinteron yang memenuhi layar kaca setiap hari adalah medium dari kampanye eklusifitas cinta. Proses memaknai cinta tak lagi universal, tapi sebatas hubungan antar individu saja, misalnya pacaran dan pernikahan.

Cinta ialah hasrat sekaligus entitas yang selalu mengiringi peradaban manusia. Kita bisa melongok buktinya pada karya sastra macam Laila Majnun, Romeo and Juliet hingga Siti Nurbaya. Karya sastra sebagai produk masyarakat tak pernah menjadikan cinta hanya memiliki satu wajah. Romeo and Juliet misalnya, bukan mengisahkan hubungan dua kekasih yang gelap mata karena cinta. Namun kisah itu merupakan cita-cita pendongkelan terhadap sikap membedakan manusia berdasarkan status—miskin-kaya, hitam-putih, keluarga kerajaan-rakyat jelata.

Buku yang ditulis oleh Nurani ini melakukan pencarian makna cinta pada lorong filsafat Karl Marx, analisa seksualitas dari Sigmund Freud dan petuah-petuah Kahlil Gibran.
Hal menarik dari Karl Marx ialah bahwa filsuf yang sering dituduh sebagai bapak komunisme itu juga membincangkan cinta pada beberapa karyanya. Marx mendefinisikan cinta sebagai ungkapan manusia terhadap orang lain dan alam. Dalam masyarakat yang mengagungkan kepemilikan pribadi tidak terdapat cinta. Sebab masyarakat macam itu tak mampu mewujudkan keadilan ekonomi-politik dan pemerataan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup yang senilai dengan substansi cinta (hlm.32).

Cinta yang melulu menempel pada materi tak akan pernah mencapai kesejatian. Bahkan, justru cinta seperti itu yang membelenggu umat manusia. Hal demikian tengah berlangsung luas di masyarakat. Materi seolah menjadi tujuan seluruh hidup manusia.

Masa kini, lembaga percintaan sakral bernama pernikahan pun telah dirasuki oleh belenggu materi. “...Tak jarang mempelai merasa lebih aman setelah pasangannya membacakan janji-janji: hendak memberikan nafkah lahir dan batin...” ungkap Bonari Nabonenar dalam Pengantar buku ini (hlm.viii). Bahkan ada pula perjanjian pra-nikah yang pasti diisi oleh hal terkait materi (harta). Maka, cinta tak lagi dianggap sebagai pondasi dalam rumah tangga namun hanya salah satu elemen yang nilainya bisa jadi kurang begitu penting.

Manipulasi konon merupakan elemen penting di abad super-canggih ini. Selain seringkali dimanipulasi dalam bentuk materi, cinta kerap pula ditonjolkan untuk sekadar memenuhi libido manusia. Pemahaman ini bukan hanya menyeruak dalam bentuk sex for fun yang dilakukan oleh kaum berduit. Tapi juga muncul dalam bentuk penguasaan manusia terhadap alam (hlm.87-104). Kerusakan lingkungan yang luarbiasa di abad 21 merupakan wujud nyata nafsu manusia yang dijalankan tanpa kendali untuk meraup keuntungan dari alam. Alasannya tentu saja karena kecintaan manusia kepada materi yang sungguh berlebihan.

“Esensi cinta adalah kesadaran”, demikian ungkapan legendaris dari Marx. Oleh karena itu, bohong jika cinta dianggap mampu membuat kita buta. Cinta justru berfungsi membakar semangat diri untuk terus melakukan perubahan. Bahkan cinta pun menyediakan kekuatan tanpa batas bagi manusia dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Tentu saja, pemahaman cinta seperti itu akan muncul tatkala sikap kritis telah bersemayam dalam diri kita.

Sikap kritis akan membuat manusia terhindar dari segala bentuk manipulasi yang mengatasnamakan cinta. Sebagaimana peradaban manusia yang berproses tanpa henti, demikian pula cinta. Setiap zaman memiliki perbedaan tafsir cinta sebab manusia akan terus-menerus mencari Cinta Sejati seumur hidup bumi. Sikap kritis menjadikan kita siap untuk merevisi pandangan hidup—termasuk soal cinta—setiap saat.

Alhasil, buku ini mengajak kita untuk ‘menangkap udang dibalik cinta’. Sayang memang, penulis buku ini sudah berkata: “Tulisan ini tidak layak dibaca oleh orang yang tidak percaya cinta” (hlm.ix). Padahal, melihat kekayaan isi buku ini, seharusnya Nurani menulis: “Mereka yang ingin menjelajahi ceruk-lekuk cinta seharusnya membaca buku ini”.(*)

Seterusnya..

Catatan Terbuka Untuk Pidi Baiq

Tuan Pidi Baiq, semoga Tuhan memberkati kita semua. Awalnya, paska membaca buku Drunken Molen, saya ingin membuat tinjauan yang normal saja atas buku itu; sama seperti buku-buku lain yang pernah saya baca sebelumnya. Namun, buku setebal 212 halaman itu memberikan sejenis pemahaman baru kepada saya. Yaitu, tiap buku memiliki nafasnya sendiri hingga sesungguhnya tiap buku berhak mendapatkan gaya tinjauan sesuai isinya.


Kini, saya pun kian memahami bahwa buku layaknya manusia. Dunia buku sama majemuknya dengan bumi manusia. Bisa jadi, dua buah buku memiliki kesamaaan fisik—mulai dari jumlah halaman sampai tata perwajahan sampul—tetapi dua entitas itu berbeda. Bukan saja karena ditulis oleh dua orang yang tak sama, namun karena isi dua buah buku itu pun berbeda.


Dalam konteks dua buku karya Anda, Tuan Pidi, yaitu Drunken Monster (DAR! Mizan, Januari 2008) dan Drunken Molen; saya merasakan hawa yang benar-benar berbeda. Maka dari itu, tak wajar kiranya jikalau saya menuliskan tinjauan atas Drunken Molen dalam gaya yang sama seperti ketika saya meresensi Drunken Monster (dimuat Media Indonesia, 23/02/2008). Walau Anda sendiri—dalam paragraf pembuka Pengantar buku ini—mengatakan bahwa Drunken Molen adalah “Buku yang sama dengan Drunken Monster, kakaknya, karena masih berisi kumpulan catatan harian saya juga” (hal:17).


Drunken Molen, Tuan Pidi, sangat berbeda dengan Drunken Monster. Walau pembaca tetap saja akan dibuat ‘mabuk’ oleh cerita didalamnya. Sebab kreatifitas Anda seolah tak ada habisnya.


‘Anak rohani’ kedua yang Anda lahirkan ini kian memperkuat dugaan saya bahwa seorang Pidi Baiq berkarya dengan ‘semangat membobol kebakuan’. Pertama, tentu saja kebakuan berbahasa tulis. Para ahli bahasa sudah merumuskan bahwa bahasa memiliki perbedaan pada bentuk tulis dan ucap. Padahal, sebelum ditemukan tulisan, komunikasi manusia menggunakan suara yang bersumber dari mulut pemberian Tuhan. Cerita-cerita yang Anda tulis seolah ingin bertanya, haruskah ada pembedaan antara yang tertulis dan terucap?


Kedua, dalam sebuah cerita sastra, khalayak memahami bahwa harus tersedia tema, plot dan alur yang jelas. Namun, hal seperti itu tidak akan ditemukan dalam cerita besutan seorang Pidi Baiq. Anda, Tuan Pidi Baiq, seperti tengah melakukan penjebolan terhadap dinding sastra yang beku dan baku itu. Teknik bercerita tak sesuai pakem sastra inilah yang kiranya membuat Jaya Suprana berujar: “Gaya tulisan Pidi Baiq tergolong supersonik...Juga pilihan (atau mungkin tidak dipilih?) tema-tema tulisannya benar-benar lincah tak terbelenggu oleh apapun” (hal:15).

Kreatifitas seorang Pidi Baiq dalam menjalin cerita humor memang patut diacungi jempol. Tak ada satu pun cerita dalam Drunken Molen yang memiliki ‘kesamaan nada’ dengan kisah-kisah yang telah dibukukan dalam Drunken Monster. Hanya saja, renungan filosofis berbalut kisah lucu kiranya lebih banyak bertebaran di sekujur Drunken Molen.

Tuan Pidi Baiq, kalau hari ini rakyat Indonesia lebih karib dengan kata jebakan, saya merasa itu terjadi karena kinerja KPK. Ya, lembaga negara yang super body itu sering sekali menjebak pejabat pemerintah yang dikategorikan ‘busuk’. Cerita-cerita yang Anda tuliskan, Tuan Pidi, mungkin semacam antidot dari begitu negatifnya makna jebakan di masyarakat kita.

Jebakan tak harus bermakna negatif. Kegiatan ‘menjebak’ hanya akan membawa kita mengetahui sifat asali manusia. Jika manusia itu baik, maka saat dijebak pun tak akan terjadi apa-apa. Lain halnya jika manusia yang dijebak ialah tipikal “si manusia bersifat buruk”, maka ruang pengadilan akan menantinya. Jadi yang baik atau buruk adalah manusia, bukan jebakan.
Kreatifitas cerita-cerita Pidi Baiq, menurut saya, ialah kelincahan dan kejelian memproses suatu jebakan (jelek baik ditertawakan). Tapi jebakan itu tak berakhir dengan kerugian si manusia yang terjebak. Seperti yang Anda ceritakan di Tangga Studio Foto (hal:107-115) dan The Nazar (hal:177-185).

Tema ‘Jebakan’ ini benar-benar menuntun saya untuk memahami seluruh cerita Anda, Tuan Pidi. Sebab kata ‘jebakan’ itu juga bisa dipanjangkan menjadi ‘jelek baik diceritakan’, ‘jelek baik direnungkan’ atau apa saja; bebas seperti nafas yang menghembus dari tiap kisah karangan Anda.

Jebakan yang Anda buat dalam cerita-cerita itu pun bisa menjadi satu bangunan interaksi dengan pembaca. Maksudnya, Anda seperti selalu menjebak pembaca saat menikmati satu kisah dalam Drunken Molen. Pembaca seolah mengetahui bahwa yang berkata “Iya” dalam suatu dialog adalah Tuan Pidi sendiri tapi nyatanya tidak (hal:145-147).

Lebih jauh, jebakan yang paling hakiki dalam seluruh cerita Anda kepada pembaca yaitu kenyataan bahwa suatu kisah tidak akan bisa kita tebak bagian akhirnya. Jadi, Anda bagaikan memaksa pembaca untuk terus membuka mata dan mengeja kalimat yang sudah dirangkai tanpa rasa malas.

Soal kreatifitas ini, saya teringat pada kata-kata Nawal el Saadawi, sastrawan terkemuka dari Mesir. Baginya, kreatifitas ialah penyingkapan dan pengungkapan kembali tentang suatu hal dalam cara pandang baru. Melalui penulisan cerita dengan gaya tutur ini, Tuan Pidi telah membuka kembali tafsir-tafsir yang penting tentang suatu hal namun sering dipandang remeh oleh masyarakat kita.

Cerita-cerita karangan Pidi Baiq, wahai pembaca, akan membawa kita pada suatu ruang untuk memahami bahwa manusia harus berdaulat atas dirinya sendiri. Tapi bukan berarti manusia macam itu sah untuk menikmati hidupnya sendiri jauh dari orang lain. Manusia yang berdaulat itu justru harus membantu sesama agar mencapai kedaulatan yang sama dengan dirinya. Maka manusia harus berinteraksi, bermain dan saling membantu. Sebab Tuhan tak menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk di bumi ini. Terakhir, manusia tak boleh lupa bahwa canda dan tawa ialah bunga-bunga kehidupan.(*)


Versi lain tulisan ini ada di Ruang Baca Koran Tempo Edisi 31 Agustus 2008

Seterusnya..