Sebuah Metro
Rindu selalu datang dengan tidak sopan. Dia masuk tanpa mengetuk. Datang tanpa diundang. Setelah didalam, ia memanen sebuah demi sebuah kenangan yang benihnya telah lama ia tanam. Jadilah hati ini menjelma melankolis dan romantis.
Ini semua gara-gara teman saya, Erik. Nama lengkapnya Erik Yanusa. Ia kini di Tangerang. Bekerja disana, katanya. Bekerja apa, saya tak tahu. “Yahhh...jadi buruhlah”, kata Erik. Jadi buruh kok tiap hari online di internet, Rik? Oh, gua jaga warnet, Den. Beberapa hari ini, saya memang aktif mengobrol bersama Erik itu dengan fasilitas YM! milik Yahoo! Ya, menumpang sama perusahaan Amerika buat bincang-bincang dengan teman lama.
Erik itu yang membuat rindu menghampiri saya lagi. Rindu pada rumah milik orangtua saya. Pada kota milik Propinsi Lampung, Metro namanya. Erik lah yang mengajak saya ziarah lagi ke rumah dan kota tempat saya mukim selama enam belas tahun dan sampai kini masih terus menjadi tujuan kala musim mudik lebaran tiba. Rumah dan kota itu bukan tempat kelahiran saya. Mereka justru membantu saya untuk melahirkan banyak hal; pertemanan, permusuhan, permainan segala macam bentuknya, persaudaraan sedarah, pertempuran antar siswa beda SMU, perjalanan dari gunung ke gunung serta tentu saja, makna sejati dari pertemuan dan perpisahan.
Ini salah satu obrolan diantara kami saat chat—entah pada hari yang kapan—yang berkesan buat saya:
yanusa_erick: jadi inget waktu perpisahan SMA
yanusa_erick: gua ditanya sama Nita, ntar kita kalo sudah lulus jadi apa ya?
yanusa_erick: iya, kita jadi apa ya, den?
yanusa_erick: ada yang udah jadi pns
yanusa_erick: polisi
yanusa_erick: dokter
yanusa_erick: karyawan
Denny Ardiansyah: pengangguran
yanusa_erick: ha ha
yanusa_ercik: ya, kita jadi apa, ya?
Denny Ardiansyah: kita akan selalu jadi kita, rik
Denny Ardiansyah: kita menari dan bernyanyi dengan nasib kita
Denny Ardiansyah: kita menyanyi lagu kita
Denny Ardiansyah: menari dengan tarian kita
Denny Ardiansyah: karena mereka juga begitu
Denny Ardiansyah: mereka menyanyi dengan lagu nasib mereka
Denny Ardiansyah: menari dengan tarian nasib mereka
yanusa_erick: sip. lu mang bisa aja dari dulu
Tujuh tahun, saya meninggalkan kota Metro. Hidup di daerah lain, walau masih tetap ada di lingkaran Indonesia. Mengapakah, tiap kenangan datang, selalu saja menjelma anak kecil lagi? Masa kanak dahulu kala, sering kali meributkan teman di sekolah pakai sepatu merk dan warna apa, tas yang bagaimana bentuknya. Kenapa ada teman perempuan yang pakai lipstik. Si Anu putus ya sama Si Itu? Eh, lupa nih kasih tau...kemaren, Si Dia pulang bareng Si Doi, loh. Ah, entahlah, masa kanak sampai SMA seolah sama saja. Bikin gregetan. Bikin keringetan. Bikin bangga, malu, benci dan rupa-rupa emosi lainnya menempel di ingatan.
Masa lalu mungkin saja sesuatu yang menarik kita dengan tarian yang menggoda agar kita mau kembali kesana; mengulang lagi tindakan yang belum sempat dilakukan, menikmati kembali masa-masa penuh tawa, menutup kejadian yang bikin kita menangis tersedu-sedan. Tapi, kita, tak mampu masuk lagi secara fisik ke masa lalu. Hanya masa lalu yang mampu menusuk masuk tanpa permisi ke dalam kita, ke hati dan otak kita. Sungguh menyebalkan memang, namun itulah yang bisa terbilang. Menggerutu sajalah. Waktu tak berhenti. Waktu berjalan terus. Tak membalik ke belakang tentu saja. Waktu berlari lurus ke muka. Bagi masa lalu, waktu telah berhenti. Tetap. Tak ada yang bisa diganti bahkan terganti.
Menziarahkan ingatan ke masa lalu seolah menghentikan waktu saja. Aih, gak penting ‘kan, akhirnya. Anggapan seperti itu timbul bisa saja. Sebab sudah saya ungkap diatas tentang jati diri waktu dan masa lalu pada paragraf diatas, toh. Tapi, cobalah tarik nafas sehela saja. Sebentar kita kenangkan masa lalu, jika ia menghampiri kita. Menarilah, menarilah bersama entitas itu dengan khusyuk, dengan khidmat dan nikmat. Ziarah ingatan bukanlah korupsi yang menjadi persoalan umum. Kegiatan itu semacam langkah bersenang-senang. Menarik diri sebentar dari gelanggang keseharian kita yang kadang sesak bukan kepalang. Mengingat-ingat masa lalu bagai sebuah oase yang menyegarkan kita kembali. Para ilmuwan sebuat hal itu refleksi. Tapi saya bilang, itu cuma mengingat saja tanpa kita bisa berbuat apa-apa, kecuali tertawa, menangis atau tak bergeming sama sekali bagian tubuh kita kecuali jantung.
Boleh dibilang kita mati setiap hari, setiap jam bahkan detik yang telah kita lalui. Masa lalu adalah tempat mayat kita dimakamkan, tanpa ada upacara apa-apa. Kita hidup hanya hari ini, bukan kemarin atau zaman dahulu kala. Masa lalu tak bisa diubah. Tapi hari ini bisa kita bentuk apapun sebagaimana mau kita. Kelak, hari ini juga menjadi masa lalu, sesuatu yang beku dan kaku. Maka, Cicero mengatakan jikalau ada anggapan bahwa di dunia tiada yang abadi, maka kelirulah anggapan itu. Perubahan adalah yang abadi di dunia ini.
Mengenang masa lalu seolah langkah saja untuk melarikan diri kita dari buaian perubahan yang datang tiap detik. Kita hidup, kemudian mati lagi, hidup lagi, mati lagi, terus begitu. Dan kita kenangkan kematian itu. Kita memancangkan perubahan tiap kali ingatan menjalari kenangan. Maka, anehlah jika kita masih bilang, eh Si Anu berubah loh. Dia itu begini begitu sekarang ini, enggak kayak dulu ih. Sudahlah, jangan lagi digunjingkan yang hari ini. Kenanganlah saja masa lalu. Ingatlah seingin kita mengingat. Perubahan abadi. Tiap kita berubah. Tak tetap. Kalau kaget, ya memang itu akibatnya. Kalemlah.
Mengingat yang telah lalu, ya perlulah. Tapi kalau hanya bikin kita jadi malas bergiat, ya malulah. Ya, jangan dilakukan sajalah. Atau, hanya bikin kita menggerutu dan menyesal, ya sebaiknya berhenti saja ziarah ingatannya. Saya tak menyesal atas apa yang sudah terjadi dan menjadi di masa lalu. Masa lalu itu bagai bahan bakar saja. Seperti kayu kering yang ada di tungku dan siap disulut api agar masakan kita bisa matang untuk disantap dengan riang. Kenangan itu bahan bakar untuk hari ini. Bakarlah sesuka kita. Memasaklah dengan hati senang-gembira.
Erik membuat saya menulis ini tulisan. Saya terkenang lagi dengan Metro. Ingat dengan teman-teman, musuh-musuh, sekolah-sekolah, mantan-mantan pacar, jalan-jalan di Metro tempat saya menjejak dulu. Dan tentulah pula teringat pada mula dan akhir, pertemuan dan perpisahan, kesukaan dan kedukaan yang membentang di pekuburan masa lalu. Terimakasih Erik, sudah mengajak saya pakansi ke masa lalu di kota Metro. Bikin saya singgah sebentar disana. Segar sekali ada disana. Masa lalu sudah menusuk saya. Saya yakinlah akhirnya, apa yang tertusuk padaku, mungkin saja berdarah padamu. Dengan darah itu, kita coba jadi manusia lagi. Bangkit selalu dari kuburan kenangan. Menghidupi hari ini dengan nafas yang baru bukan yang bau.***
Jember, 26 Februari 2008