Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Ayat-Ayat Parpol
Aku gak nonton. Antrian panjang. Aku pulang saja.”, itu bunyi pesan pendek dari seorang teman yang kini mukim di Surabaya. Sebelumnya, saya bertanya “Apakah dikau telah menonton film Ayat-Ayat Cinta di bioskop?”. Sayang, masyarakat Jember harus menunggu agak lama untuk bisa menikmati buah karya Hanung Bramantyo itu.

Namun, ada gosip beredar. Film Ayat-Ayat Cinta (AAC) sudah bisa ditonton masyarakat Jember. Aih, gosip tentu tak jelas ‘episentrum’-nya, jangan percaya. Kalaupun memang benar telah ada, hormatilah sebuah karya. AAC yang beredar di Jember itu pasti bajakan atau ‘barang gelap’, jangan ditonton.

Kenapakah, film AAC sangat menyihir publik Indonesia? Mungkin karena ketangkasan media massa menggembar-gemborkannya sejak mulai diproduksi. Lagu soundtrack film itu—besutan Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dinyanyikan Rossa—sudah lama berkumandang di sekitar kita. Bisa pula disebabkan oleh kesuksesan AAC dalam bentuk novel. Kang Abik, penulis novel itu, mampu menghadirkan epos tentang cinta dalam bentuk yang populer kepada masyarakat Indonesia.

Demikian seabrek ‘bagai’ ditengah-tengah kita. Masyarakat manusia konon bagai tubuh. Jika bisul bersemayam di kaki, maka sakitnya terasa juga oleh bagian tubuh lain. Lalu jikalau ada bagian tubuh yang memborok tak bisa disembuhkan lagi, pantaslah untuk diamputasi; dipotong tanpa basa-basi. Berlaku pulakah logika amputasi itu untuk masyarakat manusia? Jelaslah tidak. Tetapi melimpah-ruah fakta berseliweran di masyarakat: kelompok yang tidak mampu—dari perspektif apapun—boleh saja disingkirkan jauh-jauh. Aduh, saya mendadak takut hidup ditengah masyarakat lagi.

Baiklah, kita bicara ideal. Kalau tak ingin ada bagian tubuh yang diamputasi, maka hidup sehatlah. Sesama bagian tubuh membahu-bantu agar terhindar dari sakit. Persis seperti saat kita mandi. Tangan ikhlas saja mengedarkan sabun ke seluruh tubuh. Mirip ketika kita makan, aliran makanan di mulai dari kunyahan gigi sampai diproses oleh organ dalam dan darah menjadi medium untuk mengasupkan gizi pada tiap bagian tubuh kita. Sudah idealkah? Ahli ilmu biologi paling tahu soal ini. Kerjasama antar bagian tubuh itu seharusnya menjadi contoh bagi kita saat berinteraksi dengan sesama makhluk Tuhan dalam keseharian. Bicara ideal, saya jadi semangat untuk bermasyarakat kembali.

Hubungan baik antar organ tubuh itu, ternyata didasari pada saling cinta. Tangan tak ikhlas jika perut keroncongan, maka tanah dicangkul. Bahkan, kalau perlu, barang orang lain dicuri. Tangan tahu, jika perut tak diisi maka ia akan lunglai tanpa daya. Inikah cinta yang indah itu? Tapi mirip sekali dengan sekadar pemenuhan kepentingan saja. Ah, macam politik saja.

Benarlah, mungkin cinta itu tipis saja bedanya dengan politik. Keduanya memiliki tujuan yang sama untuk diraih: kesejatian. Cinta dan politik adalah pula kendaraan yang biasa kita naiki untuk melunaskan keinginan. Miripkah? Jika ada seorang lelaki mencintai seorang perempuan, maka ia akan menikahinya dengan proses ijab-qabul. Ya, anak muda bilang, itu kuno. Sekarang musim pacaran yang utama, maka ‘tembak’ saja.

Bandingkan dengan ini, seorang politisi yang nyambi calon legislatif/cagub/cabup/capres saat pemilu akan mengajak rakyat untuk menjadi pemilihnya. Si politisi itu mengumbar janji, mirip proses ijab-qabul atau aksi ‘nembak’ dalam pacaran anak muda masa kini. Cinta dilontarkan dengan semangat. Tetapi cinta, demikian politik, disempitkan dalam satu ruang saja. Yaitu, pemenuhan keinginan yang mengendap di hati. Cinta hilang kesejatian. Politik bukan alat untuk memenuhi umat dengan kesejahteraan. Cinta dan politik tak universal jadinya.

Maka mudah saja, seorang politisi lupa dengan konstituen ketika sudah berstatus anggota dewan/bupati/gubernur/presiden. Karena, “Aku mencintaimu saat Pemilu saja”, demikian mungkin ungkapan politisi itu. Cinta dan politik yang seremonial, sekadar pesta dan sebatas pemenuhan biologis (libidinal); jauh dari kesejatian. Saya takut dengan yang seperti itu.

Saya sangat bahagia jika mendapatkan istri atau pemimpin yang memahami logika hubungan antar anggota tubuh seperti telah diungkap diatas. Cinta selalu setiap saat. Tapi tak hanya kepada saya. Mereka juga mencintai tetangga, orang satu desa sampai beda negara. Mereka selalu mengerahkan cinta kepada sesama makhluk hidup. Menjaga kehidupan makhluk yang macam apapun rupanya. Membantu makhluk yang dianggap tidak mampu hidup agar tetap hidup. Aih, indahnya cinta jika termaknai seperti itu.

Jadilah cinta memancar kemana-mana. Bukan hanya kepada kekasih/suami saja. Tak sekadar mengarah pada individu yang satu kelompok dan satu golongan. Cinta yang indah bagai gerak tangan yang tiada lelah menyabuni seluruh kulit tiap kali kita mandi. Cinta yang sejati ialah cinta seorang pemimpin yang hidup miskin ketika rakyatnya miskin.

Ayat-Ayat Cinta berhasil mengajak kita memikir ulang tentang cinta yang sejati. Tapi saya takut, kalau para lelaki hanya terinspirasi pada sosok Fahri yang poligami. Saya yakin, penulis AAC tak bermaksud menjadikan poligami-nya Fahri sebagai wujud cinta universal. Percayalah, AAC tak laik disandingkan dengan kisah cinta Parpol kepada konstituennya. Ayat-Ayat cinta Parpol masa kini tak universal, tapi libidinal dan tentu saja: dangkal.(*)

Tidak ada komentar: