Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.


Menjangkau Universalitas Islam Via Rap
(dipublikasi di Jurnal Nasional edisi Minggu, 8 Juni 2008)
Jika Prancis selama ini dikenal sebagai “jantung kebudayaan Eropa” maka buku ini menelisik sisi lain dari negeri tempat bermulanya revolusi sosial itu. Régis Fayette Mikano tak sekadar mendedahkan kisah hidupnya dalam buku setebal 240 halaman ini. Namun, ia pun bicara soal kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kriminalitas dan tentu saja spiritualitas.

Régis berangkat ke Prancis sebab ikut ayahnya yang mendapatkan beasiswa kuliah dari pemerintah Kongo. Apa lacur, sang ayah kemudian malah pergi dengan wanita lain beberapa tahun setelah mereka bermukim di Prancis. Ibu Régis harus membesarkan empat orang anak dan menanggung hutang sebesar 50 ribu franc. Ditambah lagi, mereka harus hidup dalam lingkungan imigran yang penuh dengan kekerasan di selatan kota Strasbourg.

Cité, begitulah sebutan untuk pemukiman yang dibangun oleh pemerintah Prancis bagi para imigran—kebanyakan dari Afrika. Régis bermukim di distrik Neuhof; sebuah distrik dengan jumlah imigran terbesar di Strasbourg. Ia pun tak kuasa menolak pengaruh berupa perilaku buruk yang lazim berlangsung di cité. Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, Régis telah mencuri jemuran atau permen di sebuah toko dan memalak uang dari anak kecil yang berkulit putih.


Namun Régis adalah anak yang cerdas hingga ia mendapatkan keringanan biaya untuk mengenyam pendidikan di salah satu sekolah menengah ternama di Strasbourg. Tapi, kehidupan buruk yang telah lekat padanya sejak kecil tak mampu dilepaskan dengan mudah. Perilaku kriminal Régis makin meningkat pada masa ini; ia mulai menjual ganja dan menjadi pencopet di pusat kota Strasbourg dengan sasaran para wisatawan.

Hal ini dilakukan Régis sebab ekonomi keluarga terbelit kemiskinan. Pemerintah Prancis memang memberikan subsidi kepada para imigran, hanya saja jumlahnya cukup kecil. Sementara itu, bantuan dari lembaga kemasyarakatan tidak bisa diandalkan untuk bertahan hidup secara permanen. Menjual ganja dan mencopet adalah langkah yang dipilih oleh Régis agar tak meminta uang jajan kepada ibunya.

Kriminalitas yang diperbuat Régis kian meningkat setara dengan prestasi yang diraihnya di sekolah. Ia menjalani semacam ‘kehidupan ganda’. Yaitu menjadi penjual ganja dan pencopet yang sukses menjalankan aksi-aksinya sedangkan pada sisi lain Régis selalu menjadi murid terpintar di tiap tingkatan sekolah.

Hari demi hari, peta kriminalitas di cité kian rumit karena peredaran narkotika jenis heroin. Perebutan daerah kekuasaan setiap hari terjadi di cité dan ‘perilaku jantan’—seperti berkelahi satu lawan satu—telah luntur. Cité kian suram karena himpitan kemiskinan dan maraknya ketergantungan pada heroin. Melihat hal ini Régis kian terombang-ambing. Nalar intelektual yang kuat telah menyelematkannya dari pengaruh heroin, ia tak pernah mencoba barang itu. Tapi, ia pun memendam rasa prihatin akan nasib mayoritas temannya yang telah adiktif pada heroin.

Kehidupan cité juga memperkenalkan Régis pada musik yang diciptakan oleh kaum kulit hitam. Ia sering mendengar lantunan jazz dan musik tradisional Afrika. Namun, musik rap yang diperkenalkan oleh sepupunya justru memikat hati Régis.

Rap masuk ke Prancis berbarengan dengan musik aliran hip-hop. Régis bukanlah tipikal individu yang mudah terasuki ‘sesuatu’. Ia menelusuri musik rap sampai ke akar. Hingga ia pun menyadari bahwa musik yang lahir di ghetto (wilayah kulit hitam di Amerika Serikat) itu mengusung perlawanan atas sikap diskriminatif yang dilancarkan kaum kulit putih. Hal ini bertolak-belakang dengan mayoritas kaum muda di Prancis yang menyukai musik rap dan hip-hop hanya untuk ‘sekadar gaya’ (ikut-ikutan).

Tak dinyana, pergulatan dengan musik rap membawa Régis pada perjumpaan dengan Islam. Hal ini terjadi saat ia membaca sejarah kelompok rap awal yang lahir di AS. Kelompok rap di Negeri Paman Sam itu rata-rata didirikan oleh orang kulit hitam yang memeluk agama Islam.

Ia makin menyadari bahwa Islam ialah agama yang telah dianut oleh mayoritas penghuni cité. Namun, karena modernitas berbalut kriminalitas telah menyelubungi cité yang miskin, Islam lebih identik dengan generasi tua berikut sejarah dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya (hal.71). Maka, cahaya Islam tidak terlalu menampakkan diri dalam cité.

Setelah memeluk agama Islam, Régis berubah total. Tak hanya dunia narkotika yang ditinggalkannya, namun ia pun berhenti menyanyikan rap. Ia rajin mendakwahkan Islam ke seantero Prancis bersama sebuah kelompok tarekat. Akhirnya Régis menyadari bahwa tarekat yang diikutinya telah menjadikan Islam sebagai agama yang ofensif dan isolatif. Hal ini membuat hatinya gundah. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa mayoritas pengikut tarekat tersebut memeluk Islam hanya sebagai pelarian dari kekecewaan yang mereka cecap dalam alam modern. Jadi bukan suatu sikap pasrah setelah melakukan pencarian secara benar.

Alhasil, hidup Régis kian karut-marut; terpontang-panting pada dualisme. Antara memenuhi kebutuhan duniawi dan ibadah kepada Tuhan, aturan halal dan haram sampai berhenti atau meneruskan bermain musik rap. Pada suatu masa, ia pernah menjalani tiga kegiatan sekaligus: bermain musik rap, berdakwah dan menjual narkotika.

Tipikal Régis yang selalu mencari makna hidup tanpa lelah membuatnya dekat dengan ajaran Sidi Hamzah al-Qadiri al-Boutchichi. Ulama yang hidup di Maroko tersebut telah membuka mata Régis tentang Islam yang humanis dan berlandaskan pada cinta kasih nan universal. Jalan hidup dipilih Régis; mendakwahkan ajaran Islam lewat lagu-lagu rap gubahannya. Bahkan, ia pun menjadikan karyanya sebagai medium untuk menyuarakan kondisi cité kepada masyarakat lain. Melalui rap, Régis ingin mengusahakan terciptanya dunia yang memandang seseorang tanpa sikap diskriminatif.

Régis Fayette Mikano—yang telah mengubah namanya menjadi Abd al Malik—merupakan sosok pencari makna kehidupan yang tangguh. Ia menolak terjebak dalam suatu lingkaran yang hanya ingin menggelapkan dunia.(*)

Tidak ada komentar: