‘Kisah Baru’ Sherlock Holmes dan ‘Kekuasaan’ Pengarang
(dipublikasi di Jurnal Nasional edisi Minggu, 15 Juni 2008)
Sir Arthur Conan Doyle (1859-1930) boleh saja telah tiada. Namun tokoh rekaannya, Sherlock Holmes, melegenda hingga kini. Detektif yang akrab dengan cangklong dan kaca pembesar serta beralamat di 221B Baker Street, London, itu tetap menjadi ikon penting di jagat buku-buku aliran misteri kriminal. Kisah Holmes ternyata masih bisa dikulik lagi hingga belum khatam dalam 56 cerita pendek dan 4 novel yang telah dibesut oleh Conan Doyle.
Tracy Mack dan Michael Citrin membangkitkan kembali petualangan Holmes dalam buku setebal 316 halaman ini. Sebagai sebuah karya lanjutan, nampaknya Mack dan Citrin paham bahwa mereka harus hadir dengan ‘sesuatu yang baru’. Tentu saja agar tak dikira hanya mendompleng sisi legendaris sang detektif—yang sejatinya telah divonis oleh Conan Doyle hanya hidup antara tahun 1881-1904.
Bagi yang menyukai Dr. John Watson—sosok yang setia mengiringi Holmes saat menyelidiki suatu kasus—agaknya harus kecewa sebab ia bukan salah satu tokoh utama kisah Holmes di buku ini. Watson dilengserkan dari perannya sebagai pencatat kiprah Holmes dalam jagat detektif kriminal. Ia sekadar teman serumah Holmes—sederajat dengan Mrs. Hudson si pengurus rumah dan Billy si penyampai pesan.
Adalah Laskar Jalanan Baker Street—saya singkat Lajabas—yang menggantikan peran Watson dalam membantu secara penuh Holmes ketika menyelidiki kasus. Mereka merupakan sekelompok anak berumur dibawah lima belas tahun yang dipertemukan oleh kesamaan nasib: miskin. Hidup mereka bergantung dari mengemis, mengamen dan pekerjaan jalanan lainnya. Geng rekaan ini pernah disebut oleh Conan Doyle pada dua cerita pendek dan dua novel sebagai pihak yang juga menjadi ‘telinga dan mata Holmes’ saat menunaikan tugas sebagai detektif.
Patut diingat kembali bahwa Conan Doyle memosisikan Watson sebagai pihak yang seolah menulis petualangan Holmes. Hal inilah yang memantik ide awal bagi Mack dan Citrin untuk membangkitkan lagi Sherlock Holmes. Watson ‘dituduh’ telah sengaja melupakan kerja Lajabas dalam membantu Holmes saat penyelidikan. Tertulis dibagian Pendahulan: “Nah, kita tidak pernah tahu apakah Watson bermaksud mengangkat nama Holmes sendirian (dan menyebabkan namanya sendiri ikut terangkat)”. Maka “Semua sejarah membutuhkan koreksi, dan inilah saatnya Laskar Jalanan Baker Street tampil ke permukaan” (hal:21).
Watson—dalam buku ini—selalu digambarkan sebagai sosok yang penuh kekagetan, sinis terhadap keberadaan Lajabas dan nalar detektifnya tidak tajam walau telah bertahun-tahun mendampingi Holmes. Sementara Lajabas merupakan kelompok yang selalu bersemangat membantu Holmes. Apalagi, Holmes begitu percaya kepada Wiggins yang merupakan pemimpin Lajabas. Ditambah lagi dengan sosok Ozzie yang sangat paham soal penarikan kesimpulan secara deduktif ala Holmes. Buku ini bagai langkah pasti Lajabas dalam melibas peran Watson sebagai pendamping Holmes.
‘Sesuatu yang baru’ sebagaimana ditawarkan Mack dan Citrin dalam buku ini, menurut saya, hanya terkait dengan ‘kekuasaan si pengarang’. Conan Doyle mengutamakan Watson dan buku ini memberi porsi lebih pada Lajabas. Sementara latar kisah buku ini tetap pada era Victoria di Inggris. Hal ini berpotensial menenggelamkan kesohoran Holmes terkait lekuk teknik yang digunakannya ketika menelusuri lorong misteri suatu kasus.
Dalam buku yang diniatkan sebagai seri perdana dari petualangan Holmes versi Mack dan Citrin ini terdapat dua kasus kriminal yang saling terkait. Sebuah buku—bernama The Stuart Chronicle—milik kerajaan Inggris yang berabad umurnya telah raib. Holmes dijemput oleh Pangeran Wales untuk meninjau lokasi hilangnya buku itu sebagai langkah awal investigasi. Beberapa hari kemudian, sebuah pertunjukan sirkus kehilangan salah satu bintangnya. Walenda Bersaudara yang mempertontonkan kebolehan mereka dalam atraksi meniti tali terjatuh hingga wafat di tempat.
Holmes masih tetap jeli dalam menghubungkan fakta dari dua kejadian tersebut. Namun, lembaran buku ini lebih banyak bercerita tentang langkah Lajabas dalam memenuhi perintah Holmes untuk ikut serta menangani kasus. Mereka tunggang-langgang mencari informasi soal Walenda Bersaudara di lokasi sirkus Grand Barboza. Usaha keras Lajabas akhirnya berbuah petunjuk penting bagi Holmes. Sosok Orlando Vile muncul sebagai pihak yang mengajak Walenda Bersaudara untuk menggunakan keahlian mereka dalam pencurian The Stuart Chronicle.
Sebagaimana standar kisah Holmes, dua kasus tersebut berhasil diungkap. Penyergapan yang dilakukan Holmes dan Lajabas di dermaga saat Vile hendak menjual buku curiannya kepada Prof. Moriarty adalah ‘pintu pembuka’ akhir kisah buku ini. Vile tertangkap, namun Moriarty lolos membawa buku tersebut. Kemudian Moriarty memberikan buku itu kepada jasa pendokumentasian yang ada di daerah Oxford untuk digandakan.
Lagi-lagi Lajabas menjadi ‘penolong’ Holmes dalam menemukan The Stuart Chronicle. Kantor jasa penggandaan dokumen itu merupakan tempat kerja Ozzie saat tidak berkumpul dengan Lajabas. Buku itu berhasil direbut Holmes setelah melewati pertarungan yang menegangkan di kantor tersebut. Saya hanya membayangkan, kalau saja Moriarty tidak memberikan buku itu ke tempat Ozzie bekerja, mungkin benda berlapis emas dan permata itu tetap raib. Mack dan Citrin masih ‘kurang halus’ meramu hubungan tiap adegan dalam kisah Holmes di buku ini jadi tidak memberi kejutan yang menghentak bagi pembaca.
Walau demikian, buku ini tetap laik dibaca sebagai tombo kangen pada petualangan Holmes. Hanya saja, ‘teknik kerja’ Holmes sekadar diketahui saat ia bercerita bukan ketika ia bergerak hingga kurang dari lekuk yang memukau. Maklumlah, sebab yang bekerja ialah Lajabas. Terakhir—ini yang paling saya sesali—berulang kali dituturkan bahwa kerja Lajabas hanya sebatas mengharap upah dan merasa bangga karena membantu The Famous Sherlock Holmes.(*)
Tracy Mack dan Michael Citrin membangkitkan kembali petualangan Holmes dalam buku setebal 316 halaman ini. Sebagai sebuah karya lanjutan, nampaknya Mack dan Citrin paham bahwa mereka harus hadir dengan ‘sesuatu yang baru’. Tentu saja agar tak dikira hanya mendompleng sisi legendaris sang detektif—yang sejatinya telah divonis oleh Conan Doyle hanya hidup antara tahun 1881-1904.
Bagi yang menyukai Dr. John Watson—sosok yang setia mengiringi Holmes saat menyelidiki suatu kasus—agaknya harus kecewa sebab ia bukan salah satu tokoh utama kisah Holmes di buku ini. Watson dilengserkan dari perannya sebagai pencatat kiprah Holmes dalam jagat detektif kriminal. Ia sekadar teman serumah Holmes—sederajat dengan Mrs. Hudson si pengurus rumah dan Billy si penyampai pesan.
Adalah Laskar Jalanan Baker Street—saya singkat Lajabas—yang menggantikan peran Watson dalam membantu secara penuh Holmes ketika menyelidiki kasus. Mereka merupakan sekelompok anak berumur dibawah lima belas tahun yang dipertemukan oleh kesamaan nasib: miskin. Hidup mereka bergantung dari mengemis, mengamen dan pekerjaan jalanan lainnya. Geng rekaan ini pernah disebut oleh Conan Doyle pada dua cerita pendek dan dua novel sebagai pihak yang juga menjadi ‘telinga dan mata Holmes’ saat menunaikan tugas sebagai detektif.
Patut diingat kembali bahwa Conan Doyle memosisikan Watson sebagai pihak yang seolah menulis petualangan Holmes. Hal inilah yang memantik ide awal bagi Mack dan Citrin untuk membangkitkan lagi Sherlock Holmes. Watson ‘dituduh’ telah sengaja melupakan kerja Lajabas dalam membantu Holmes saat penyelidikan. Tertulis dibagian Pendahulan: “Nah, kita tidak pernah tahu apakah Watson bermaksud mengangkat nama Holmes sendirian (dan menyebabkan namanya sendiri ikut terangkat)”. Maka “Semua sejarah membutuhkan koreksi, dan inilah saatnya Laskar Jalanan Baker Street tampil ke permukaan” (hal:21).
Watson—dalam buku ini—selalu digambarkan sebagai sosok yang penuh kekagetan, sinis terhadap keberadaan Lajabas dan nalar detektifnya tidak tajam walau telah bertahun-tahun mendampingi Holmes. Sementara Lajabas merupakan kelompok yang selalu bersemangat membantu Holmes. Apalagi, Holmes begitu percaya kepada Wiggins yang merupakan pemimpin Lajabas. Ditambah lagi dengan sosok Ozzie yang sangat paham soal penarikan kesimpulan secara deduktif ala Holmes. Buku ini bagai langkah pasti Lajabas dalam melibas peran Watson sebagai pendamping Holmes.
‘Sesuatu yang baru’ sebagaimana ditawarkan Mack dan Citrin dalam buku ini, menurut saya, hanya terkait dengan ‘kekuasaan si pengarang’. Conan Doyle mengutamakan Watson dan buku ini memberi porsi lebih pada Lajabas. Sementara latar kisah buku ini tetap pada era Victoria di Inggris. Hal ini berpotensial menenggelamkan kesohoran Holmes terkait lekuk teknik yang digunakannya ketika menelusuri lorong misteri suatu kasus.
Dalam buku yang diniatkan sebagai seri perdana dari petualangan Holmes versi Mack dan Citrin ini terdapat dua kasus kriminal yang saling terkait. Sebuah buku—bernama The Stuart Chronicle—milik kerajaan Inggris yang berabad umurnya telah raib. Holmes dijemput oleh Pangeran Wales untuk meninjau lokasi hilangnya buku itu sebagai langkah awal investigasi. Beberapa hari kemudian, sebuah pertunjukan sirkus kehilangan salah satu bintangnya. Walenda Bersaudara yang mempertontonkan kebolehan mereka dalam atraksi meniti tali terjatuh hingga wafat di tempat.
Holmes masih tetap jeli dalam menghubungkan fakta dari dua kejadian tersebut. Namun, lembaran buku ini lebih banyak bercerita tentang langkah Lajabas dalam memenuhi perintah Holmes untuk ikut serta menangani kasus. Mereka tunggang-langgang mencari informasi soal Walenda Bersaudara di lokasi sirkus Grand Barboza. Usaha keras Lajabas akhirnya berbuah petunjuk penting bagi Holmes. Sosok Orlando Vile muncul sebagai pihak yang mengajak Walenda Bersaudara untuk menggunakan keahlian mereka dalam pencurian The Stuart Chronicle.
Sebagaimana standar kisah Holmes, dua kasus tersebut berhasil diungkap. Penyergapan yang dilakukan Holmes dan Lajabas di dermaga saat Vile hendak menjual buku curiannya kepada Prof. Moriarty adalah ‘pintu pembuka’ akhir kisah buku ini. Vile tertangkap, namun Moriarty lolos membawa buku tersebut. Kemudian Moriarty memberikan buku itu kepada jasa pendokumentasian yang ada di daerah Oxford untuk digandakan.
Lagi-lagi Lajabas menjadi ‘penolong’ Holmes dalam menemukan The Stuart Chronicle. Kantor jasa penggandaan dokumen itu merupakan tempat kerja Ozzie saat tidak berkumpul dengan Lajabas. Buku itu berhasil direbut Holmes setelah melewati pertarungan yang menegangkan di kantor tersebut. Saya hanya membayangkan, kalau saja Moriarty tidak memberikan buku itu ke tempat Ozzie bekerja, mungkin benda berlapis emas dan permata itu tetap raib. Mack dan Citrin masih ‘kurang halus’ meramu hubungan tiap adegan dalam kisah Holmes di buku ini jadi tidak memberi kejutan yang menghentak bagi pembaca.
Walau demikian, buku ini tetap laik dibaca sebagai tombo kangen pada petualangan Holmes. Hanya saja, ‘teknik kerja’ Holmes sekadar diketahui saat ia bercerita bukan ketika ia bergerak hingga kurang dari lekuk yang memukau. Maklumlah, sebab yang bekerja ialah Lajabas. Terakhir—ini yang paling saya sesali—berulang kali dituturkan bahwa kerja Lajabas hanya sebatas mengharap upah dan merasa bangga karena membantu The Famous Sherlock Holmes.(*)
2 komentar:
liburan khan bagi yang sekolah, aku kini malah terlibat dg dua majalah. jadi, harus pandai2 membagi waktu. nulis di media aja sudah agak susah, agak sibuk sih... he 3x! kapan2 deh
liburan khan bagi yang sekolah, aku kini malah terlibat dg dua majalah. jadi, harus pandai2 membagi waktu. nulis di media aja sudah agak susah, agak sibuk sih... he 3x! kapan2 deh
Posting Komentar