Bukan Dongeng Dari Tiongkok
(dipublikasi di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 29 Juni 2008)
Berbicara Tiongkok, bagi kita yang awam, mungkin akan teringat pada film. Lumrah saja karena salah satu ‘suguhan asing’ di kancah perfilman negeri ini adalah film Tiongkok. Atau bisa jadi, pikiran kita akan melayang pada tragedi 1965 yang terjadi di Indonesia. Nama Republik Rakyat Cina sering dikaitkan dengan peristiwa itu. Namun, siapkanlah diri dengan pikiran terbuka saat membaca 76 catatan Dahlan Iskan mengenai Tiongkok dalam buku ini.
Dahlan Iskan, harus diakui, bukanlah sosok yang menjadi ‘pemerhati’ Tiongkok karena keberhasilan negara tersebut akhir-akhir ini. Hal itu terlihat pada sikap dia dalam menyikapi perjanjian normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok yang ditandatangani pada 1989. Peristiwa itu berlangsung di salah satu ruang hotel Imperial di Tokyo; disela-sela acara pemakaman Kaisar Hirohito.
“Sejak saat itu saya merasa terdorong untuk ikut mengisi dan memberi warna agar perjanjian tersebut tidak menjadi sekedar perjanjian kosong”, tulis Dahlan.
Benar saja, bersama harian Jawa Pos yang dipimpinnya, Dahlan mulai menggelar acara kesenian dari Tiongkok. Aral yang menghadang bukan kepalang. Maklumlah, menggelar kesenian bernuansa Tionghoa pada era Orde Baru bisa menimbulkan persoalan pelik bagi penyelenggara.
Tapi, keberanian Jawa Pos Grup meng-umum-kan kesenian masyarakat Tionghoa—yang sebelumnya hanya boleh digelar khusus dalam klenteng—merupakan langkah untuk mewujudkan normalisasi hubungan dalam skala lebih luas, yaitu antar masyarakat, bukan sekadar negara.
‘Kisah cinta’ Dahlan Iskan dengan Tiongkok tidak berhenti begitu saja ketika roh reformasi mulai menyelubungi negeri ini. Saat barongsai sudah sangat umum ditengah masyarakat (bahkan lazim dipertontonkan oleh stasiun televisi), Dahlan Iskan tak lagi sekadar menjadi ‘pemerhati’. Namun, dia pelan-pelan ‘menjalankan laku’ untuk menjadi—yang saya sebut sebagai—‘ahli Tiongkok’. Dia, tampaknya, tahu betul bahwa rekonsialiasi dengan Tiongkok seharusnya tidak hanya dalam bidang kebudayaan, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Pada 8 catatan yang mengawali buku ini, Dahlan Iskan menceritakan pengalaman belajar Putonghua di Jiang Xi Shi Fan Da Xue (Jiang Xi Normal University), Nanchang. Walau telah berusia setengah abad saat memulai belajar Putonghua (‘bahasa nasional’ Tiongkok), dia tidak menyerah. Rumitnya belajar bahasa tersebut—orang Tiongkok sendiri pun kesulitan—membuat Dahlan Iskan memaknai agak berbeda hadist nabi: “Tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina”.
Dia menafsirkan bukan saja terkait dengan jarak; ilmu harus direngkuh meskipun jauh. Namun, “Tuntulah ilmu meski sulitnya amat sangat—seperti belajar bahasa Mandarin itu!” (hal:27). Bagi saya, tafsiran itu menujukkan totalitas Dahlan untuk menjadi “ahli Tiongkok”.
Membaca buku ini, kita akan diperlihatkan sebuah pemandangan Tiongkok yang berhias pertumbuhan dan perkembangan. Dan itu bukan dongeng.
Dahlan sudah bolak-balik ke Tiongkok dalam sepuluh tahun terakhir ini. Mekarnya ekonomi Tiongkok dia amati dari sangat dekat. Dia sampai paham betul suasana jalan tol yang kian tahun makin bertambah panjang menjulur hingga ke desa-desa.
Pembangunan jalan tol dimulai pada 1988 untuk menghubungkan Kota Senyang dengan Dalian sepanjang 400 km. Pada 2003, jalan tol di Tiongkok mencapai 30.000 km (hal:84-85). Pembangunan jalan tol yang ‘gila-gilaan’ itu dilakukan agar pemerataan ekonomi bisa tercapai.
Maka, benarlah, sejumlah ‘kesaksian’ dituturkan Dahlan terkait ampuhnya jalan tol dalam menopang peningkatan ekonomi Tiongkok. Begitu banyak daerah yang awalnya adalah desa terpencil, kini telah menjadi sentra rupa-rupa industri.
Selain itu, terowongan di bawah laut dan jembatan yang melintasi birunya air laut dibuat pula untuk mempermudah hubungan dengan Hongkong, Taiwan dan Makau. Jalur transportasi yang mewujud itu bukan bermodalkan ‘simsalabim’ tapi lewat matangnya rencana dan usaha yang perlahan tapi pasti.
Ketika tuntas memereteli catatan jurnalistik Dahlan Iskan dalam buku ini, saya berkesimpulan bahwa mempelajari Tiongkok adalah bergumul dengan keunikan. Walau telah mempercantik diri dengan modernisasi disana-sini, masyarakat Tiongkok tidak serta-merta menanggalkan baju leluhur mereka.
Perayaan Imlek tetap menjadi perhelatan yang luarbiasa meriah di negeri itu. Bahkan, pengobatan tradisional pun dikaji dan dikembangkan sama seriusnya dengan teknik modern di fakultas kedokteran.
Kedua, menatap Tiongkok bagai melihat sesosok raksasa yang seolah tidur, namun kini tengah bergeliat bangun. Kalau dulu Tiongkok menutupi diri dengan bambu komunisme, kini bambu itu tetap ada, tapi sebatas identitas saja.
Deng Xiaoping yang mulai membuka tirai bambu penutup Tiongkok. Perekonomian perlahan bangkit setelah pusat memberi ‘kekuasaan’ pada pemerintah daerah untuk menata diri masing-masing. Deng Xiaoping kabarnya sering memuji kota yang mampu mengembangkan perekonomian hingga persaingan antar kota pun tak terelakkan.
Saat raksasa bernama Tiongkok itu mulai semakin tegak, pemerintah pusat gencar melakukan pemerataan ekonomi ke daerah yang masih tertinggal. Melihat pertumbuhan ekonomi yang terus naik selama 25 tahun terakhir, pemerataan ekonomi kiranya bukan hal yang sulit untuk ditangani.
Pada tahun 2020, ada yang memprediksi bahwa raksasa Tiongkok itu tidak hanya tegak berdiri namun juga mengembangkan tangannya dengan gagah (hal:52). Maka, wajar jika Amerika Serikat mulai sedikit ketar-ketir. Hingga mayoritas masyarakat Tiongkok percaya bahwa kerjaan AS di Timur Tengah saat ini adalah usaha untuk menghambat kemajuan Tiongkok dari sisi energi (hal:55).
Akhirnya, buku ini bagai makanan yang bisa dikunyah semua orang. Untuk penyuka jalan-jalan, Dahlan menuliskan cara sukses berwisata di Tiongkok. Para pebisnis bisa melongok peluang membuka usaha di negeri itu. Para penulis akan mendapatkan teknik menulis agar enak dibaca. Aparat pemerintah pun rasanya rugi kalau tak memamah buku setebal 268 ini karena kesejahteran masyarakat Tiongkok masa kini, seperti ditulis Dahlan Iskan, sekali lagi, bukan sebuah dongeng.(*)
Dahlan Iskan, harus diakui, bukanlah sosok yang menjadi ‘pemerhati’ Tiongkok karena keberhasilan negara tersebut akhir-akhir ini. Hal itu terlihat pada sikap dia dalam menyikapi perjanjian normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok yang ditandatangani pada 1989. Peristiwa itu berlangsung di salah satu ruang hotel Imperial di Tokyo; disela-sela acara pemakaman Kaisar Hirohito.
“Sejak saat itu saya merasa terdorong untuk ikut mengisi dan memberi warna agar perjanjian tersebut tidak menjadi sekedar perjanjian kosong”, tulis Dahlan.
Benar saja, bersama harian Jawa Pos yang dipimpinnya, Dahlan mulai menggelar acara kesenian dari Tiongkok. Aral yang menghadang bukan kepalang. Maklumlah, menggelar kesenian bernuansa Tionghoa pada era Orde Baru bisa menimbulkan persoalan pelik bagi penyelenggara.
Tapi, keberanian Jawa Pos Grup meng-umum-kan kesenian masyarakat Tionghoa—yang sebelumnya hanya boleh digelar khusus dalam klenteng—merupakan langkah untuk mewujudkan normalisasi hubungan dalam skala lebih luas, yaitu antar masyarakat, bukan sekadar negara.
‘Kisah cinta’ Dahlan Iskan dengan Tiongkok tidak berhenti begitu saja ketika roh reformasi mulai menyelubungi negeri ini. Saat barongsai sudah sangat umum ditengah masyarakat (bahkan lazim dipertontonkan oleh stasiun televisi), Dahlan Iskan tak lagi sekadar menjadi ‘pemerhati’. Namun, dia pelan-pelan ‘menjalankan laku’ untuk menjadi—yang saya sebut sebagai—‘ahli Tiongkok’. Dia, tampaknya, tahu betul bahwa rekonsialiasi dengan Tiongkok seharusnya tidak hanya dalam bidang kebudayaan, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Pada 8 catatan yang mengawali buku ini, Dahlan Iskan menceritakan pengalaman belajar Putonghua di Jiang Xi Shi Fan Da Xue (Jiang Xi Normal University), Nanchang. Walau telah berusia setengah abad saat memulai belajar Putonghua (‘bahasa nasional’ Tiongkok), dia tidak menyerah. Rumitnya belajar bahasa tersebut—orang Tiongkok sendiri pun kesulitan—membuat Dahlan Iskan memaknai agak berbeda hadist nabi: “Tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina”.
Dia menafsirkan bukan saja terkait dengan jarak; ilmu harus direngkuh meskipun jauh. Namun, “Tuntulah ilmu meski sulitnya amat sangat—seperti belajar bahasa Mandarin itu!” (hal:27). Bagi saya, tafsiran itu menujukkan totalitas Dahlan untuk menjadi “ahli Tiongkok”.
Membaca buku ini, kita akan diperlihatkan sebuah pemandangan Tiongkok yang berhias pertumbuhan dan perkembangan. Dan itu bukan dongeng.
Dahlan sudah bolak-balik ke Tiongkok dalam sepuluh tahun terakhir ini. Mekarnya ekonomi Tiongkok dia amati dari sangat dekat. Dia sampai paham betul suasana jalan tol yang kian tahun makin bertambah panjang menjulur hingga ke desa-desa.
Pembangunan jalan tol dimulai pada 1988 untuk menghubungkan Kota Senyang dengan Dalian sepanjang 400 km. Pada 2003, jalan tol di Tiongkok mencapai 30.000 km (hal:84-85). Pembangunan jalan tol yang ‘gila-gilaan’ itu dilakukan agar pemerataan ekonomi bisa tercapai.
Maka, benarlah, sejumlah ‘kesaksian’ dituturkan Dahlan terkait ampuhnya jalan tol dalam menopang peningkatan ekonomi Tiongkok. Begitu banyak daerah yang awalnya adalah desa terpencil, kini telah menjadi sentra rupa-rupa industri.
Selain itu, terowongan di bawah laut dan jembatan yang melintasi birunya air laut dibuat pula untuk mempermudah hubungan dengan Hongkong, Taiwan dan Makau. Jalur transportasi yang mewujud itu bukan bermodalkan ‘simsalabim’ tapi lewat matangnya rencana dan usaha yang perlahan tapi pasti.
Ketika tuntas memereteli catatan jurnalistik Dahlan Iskan dalam buku ini, saya berkesimpulan bahwa mempelajari Tiongkok adalah bergumul dengan keunikan. Walau telah mempercantik diri dengan modernisasi disana-sini, masyarakat Tiongkok tidak serta-merta menanggalkan baju leluhur mereka.
Perayaan Imlek tetap menjadi perhelatan yang luarbiasa meriah di negeri itu. Bahkan, pengobatan tradisional pun dikaji dan dikembangkan sama seriusnya dengan teknik modern di fakultas kedokteran.
Kedua, menatap Tiongkok bagai melihat sesosok raksasa yang seolah tidur, namun kini tengah bergeliat bangun. Kalau dulu Tiongkok menutupi diri dengan bambu komunisme, kini bambu itu tetap ada, tapi sebatas identitas saja.
Deng Xiaoping yang mulai membuka tirai bambu penutup Tiongkok. Perekonomian perlahan bangkit setelah pusat memberi ‘kekuasaan’ pada pemerintah daerah untuk menata diri masing-masing. Deng Xiaoping kabarnya sering memuji kota yang mampu mengembangkan perekonomian hingga persaingan antar kota pun tak terelakkan.
Saat raksasa bernama Tiongkok itu mulai semakin tegak, pemerintah pusat gencar melakukan pemerataan ekonomi ke daerah yang masih tertinggal. Melihat pertumbuhan ekonomi yang terus naik selama 25 tahun terakhir, pemerataan ekonomi kiranya bukan hal yang sulit untuk ditangani.
Pada tahun 2020, ada yang memprediksi bahwa raksasa Tiongkok itu tidak hanya tegak berdiri namun juga mengembangkan tangannya dengan gagah (hal:52). Maka, wajar jika Amerika Serikat mulai sedikit ketar-ketir. Hingga mayoritas masyarakat Tiongkok percaya bahwa kerjaan AS di Timur Tengah saat ini adalah usaha untuk menghambat kemajuan Tiongkok dari sisi energi (hal:55).
Akhirnya, buku ini bagai makanan yang bisa dikunyah semua orang. Untuk penyuka jalan-jalan, Dahlan menuliskan cara sukses berwisata di Tiongkok. Para pebisnis bisa melongok peluang membuka usaha di negeri itu. Para penulis akan mendapatkan teknik menulis agar enak dibaca. Aparat pemerintah pun rasanya rugi kalau tak memamah buku setebal 268 ini karena kesejahteran masyarakat Tiongkok masa kini, seperti ditulis Dahlan Iskan, sekali lagi, bukan sebuah dongeng.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar