Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Pulang Perang

—Seharusnya kau tak perlu pulang. Lebih baik disana. Ada yang lebih patut kau kerjakan.
+Awalnya aku pun berpikiran demikian. Tapi, aku tak kuasa lagi untuk bertahan disana. Pulang ke kampung walau nyawa taruhannya, tak masalah.
—Tengoklah, kau sendiri sudah paham soal buah yang sangat mungkin kau petik dari ulahmu. Untung saja kau sudah disini mengobrol dengan saya. Cobalah, sesekali kau ini berpikir pakai otak. Jangan hati saja kau ikuti terus!
+Kau tetap saja seperti dulu. Sok ceramah tapi tak berisi! Kalau tak pakai otak, mana mungkin aku bisa sampai dengan utuh! Kau urus saja....
—Apa? Urus apa? Kamu yang dari dulu susah diurus! Semakin tua, semakin tumpul otakmu untuk mengingat pesan bapak. Jangan mundur sebelum terdengar perintah untuk menarik serdadu! Begitu ‘kan kata bapak?! Kau ini selalu saja pekak badak! Kau paham ‘kan kalau pulang itu sama dengan mundur!
+Kau ini bodoh atau apa? Disana aku tak berperang! Aku tak tahan dengan kondisi disana. Terlalu banyak yang dikorbankan. Mataku sendiri yang melihat banyak orang menjadi budak apa saja sampai mengorbankan orang lain bukanlah persoalan besar. Mulutku tak bisa bicara. Kupendam semua dalam hati. Kau tahu, kini hatiku pun menjadi korban, sakit sekali rasanya.
—Ah, selama kerugian tak menghampirimu, maka kau bukan korban. Tak salah, akhirnya, kalau kau terus bertahan disana. Jawablah, kau bisa mencangkul? Menanam dan mengurus padi sampai panen? Kau sudi berkubang di lumpur saat matahari sedang terik? Hanya itu yang bisa dikerjakan disini. Siap kau? Sudahlah kembali saja kesana, mumpung baru sehari kau disini. Kau bisa pakai alasan urusan keluarga yang mendesak agar bisa hidup disana lagi. Berjuang menggapai mimpi keluargamu.
+Aku bisa belajar untuk turun ke sawah lagi. Lebih baik bergumul dengan tanah, air dan wereng di sawah ketimbang bergulat dengan orang-orang tak berperasaan disana. Kalau kita baik kepada alam, balasan serupa kita peroleh. Tapi, manusia tak demikian. Mataku berulang kali melihat buktinya. Semakin kau baik kepada orang lain, alih-alih dapat kebaikan pula malah kau ditendang oleh orang itu.
—Ya sudah! Kau bisa tendang balik orang itu. Bahkan kalau perlu bikin dia jatuh sampai tak bisa bangun. Mengapa itu kau ributkan?! Selama kau masih pakai otak, orang yang sangat licik bisa kau cekik. Hidup memang begitu adanya. Siapapun yang kuat, jadilah ia juara. Tanah tak akan melawan saat kau cangkuli kemudian kau tanami padi. Tanah itu benda mati! Dan hidupmu tak akan lebih baik jika kau terus-menerus bergaul dengan benda mati!
+Jika tak kau ijinkan aku menggarap sawah lagi, baiklah. Aku bawa uang untuk modal usaha disini. Aku bisa buka warung atau....
—Haa?! Hahaha...Kau tahu, sejak kita kecil sampai sekarang hanya ada satu warung di kampung ini. Ya milik Pak Warso itu. Lihatlah, tak kunjung kaya dia. Uangmu akan terbuang percuma jika usaha di disini. Buka warung makan atau toko apa saja, siapa yang mau beli? Orang-orang lebih senang belanja ke kecamatan. Itu pun sehabis panen saja saat mereka agak tebal dompet.
+Aku hanya ingin hidup tenang. Makan cukup setiap hari. Bisa bekerja walau uang yang kudapat sedikit. Aku sudah senang hidup seperti itu. Aku yakin bisa menunaikan inginku di kampung ini.
—Aku paham sekarang. Ini bukan masalah kau hidup disana atau disini. Tapi caramu menjalani keseharian saja. Selama kau tak ikut kotor di tempat yang buruk, bisalah kau tenang hidup disana atau disini. Jalani saja tugasmu. Kenyangkan perutmu. Kirimkan uang untuk anak-istri di kampung. Masa kau tetap tak bahagia hidup macam itu? Sawah warisan bapak hanya cukup untuk menghidupi keluargaku saja. Kalau kau menggarapnya pula, itu sama saja menyulitkan aku dan keluargamu sendiri. Kita bisa makin kekurangan.
+Ya sudah, kau saja yang hidup disana menggantikan aku. Sepertinya otakmu pas dengan cara hidup orang-orang disana. Kesana saja, buktikan sendiri semua ucapanku. Kau terapkan saja sendiri seluruh pemikiranmu itu.
—Bukan begitu. Aku sudah cukup hidup di kampung ini. Mengapa pula aku harus hidup disana? Maksud semua omonganku tadi agar kau bertahan disana. Kau terlalu sering memikirkan hal sepele hingga kebahagiaan tak bertandang kepadamu. Aku yakin sebentar lagi kau kian mapan. Anak-istrimu bolehlah diajak ikut hidup disana. Kemudian sekolahkan anak-anakmu agar mereka tak bernasib seperti kita. Engkau yang diminta bapak untuk kerja disana. Aku hanya ditugaskan menggarap sawah milik bapak. Masa itu belum adil bagimu?
+Ah, pintar sekali kau menyilatkan lidahmu sendiri untuk menghalangi niatku hidup tenang di kampung ini. Kau dengar ini; aku sudah putuskan untuk....
“Mas, ongkosnya”. Lamunan itu pecah. Ia keluarkan dua lembar lima puluh ribu dan diberikan ke kondektur bis. Melanjutkan atau menghentikan perjalanan, hanya dia yang mengerti.(*)
Seputaran Gumuk Kerang/0508

Tidak ada komentar: