Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.




Jalan Bapak

(dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Minggu, 20 Juli 2008)

Rokok ketujuh yang saya isap belum habis. Obrolan tetap hangat, tidak dingin seperti kopi yang ada di hadapan saya. Itulah nikmatnya melakukan ”ritual” cangkruk.

Berbincang dengan tema dan waktu tanpa batas di sebuah warung kopi adalah suatu kebiasaan yang tak mungkin lewat dalam keseharianku. Ya, ada yang bilang cangkruk hanya membuang waktu.Bahkan, seorang dosen mengatakan bahwa cangkruk itu hanya dilakukan mereka yang malas dan masih bermental budak. ”O iya...juga mereka yang hidup tanpa tujuan,” lanjut dosen itu dalam sebuah kelas pada masa awal saya kuliah.

”Apa yang salah dengan cangkruk?” pikirku bertahun-tahun setelahnya. Aku dan teman-teman menjadi konsumen warung kecil yang pemiliknya adalah kaum papa. Kami tidak cangkrukdi kafe-kafe atau di gerai kopi asal luar negeri. Ketika cangkruk pun, obrolan kami seputar berita-berita di televisi yang kerap diisi keganjilan ulah para pemimpin di negeri ini.Saya sendiri kerap menjadikan cangkruk sebagai wahana mendengarkan curhat seorang teman yang sedang bermasalah.

Cangkruk kami tidak biasa dan sangat jauh dari hura-hura. Ya, cangkruk yang bertahun-tahun saya nikmati adalah bukti bahwa masyarakat kita masih belum sepenuhnya individual.Masih ada wahana untuk berbagi kisah.Yang paling tak terlupakan, cangkruk merupakan ajang untuk berdebat,mengasah,dan menambah ilmu. ”Lewat cangkruk, ide-ide besar sering bermula,” kata seorang temanku suatu ketika. Bahkan, di era Pak Harto dulu,kata temanku lagi, para aktivis berbagi ide dan merancang gerakan dari warung kopi.

***

Tiba-tiba mata saya menjadi dingin. Perlahan,ada yang mengalir berangsur beku dalam hati.Padahal,obrolan saat itu sedang panas-panasnya.Rokok saya yang ketujuh sekejap lepas dari jepitan telunjuk dan jari tengah.Dari arah barat warung tempat saya cangkruk, sebuah gerobak datang. Saya membaca tulisan Mi Ayam berwarna kuning Golkar. Setelah memarkir gerobak itu,pendorongnya lalu masuk warung, melepaskan topi dan tersenyum ramah pada hadirin yang ada di sana.

”Ya ampun,penjual mi ayam itu lagi,” batin saya berdesir. Ya, saya sangat sering melihat penjual mi ayam yang satu ini.Namun,saya tak pernah membeli dagangannya. Saya kurang begitu suka mi.Tidak mengenyangkan. Penjual mi ayam itu beredar di sekitar Jalan Jawa. Saat siang, dia sering mangkal di samping Warnet Maxima. Kalau sedang ada duit agak banyak, saya ke Maxima siang hari.

Tiap itu pula, saya pasti melihat penjual mi ayam dan gerobaknya. Entahlah, tiap kali melihatnya seolah ada yang mengiris-iris hati dengan es batu yang tipis dan tajam.Maka itu, kadang saya memutar arah saat pulang dari kampus untuk tidak bertemu dengannya. Padahal, Jalan Jawa adalah penghubung yang sangat dekat antara tempat indekos dan kampus.

Siang itu,sang penjual mi ayam ada di hadapan saya. Ingin rasanya keluar warung.Tapi posisi badan tidak memungkinkan– saya diapit dua teman yang sedang asyik berbicara. Selain itu,tak nyaman rasanya jika keluar warung saat ada orang yang baru datang. Saya putuskan untuk bertahan sekitar 10 menit lagi.Namun,putusan saya itu tak mewujud sama sekali.

Mata saya menatap lekat–walau tetap saya usahakan agar tidak kentara–ke wajah penjual mi ayam itu. Bibirnya yang agak tebal berada di bawah kumis yang sangat rimbun, tetapi tidak tertata rapi.Kulit yang cokelat tua sisa bakaran matahari,menjadi alas bagi garis-garis wajah yang kian tampak karena keriput. Dan satu lagi, matanya.Mata itu tak merekah,tanda deraan lelah yang seolah tanpa henti.

Lengkap sudah.Penjual mi ayam itu mirip sekali dengan bapak saya.Hanya, tubuhnya tidak gemuk dan rambutnya belum putih seluruhnya. Sejak pertama bertemu dengannya, saya makin percaya dengan teori–yang tak jelas sumbernya– bahwa ada 10 orang di dunia ini yang memiliki kemiripan wajah.

***

Jalan hidup bapak adalah lereng bukit batu yang terjal. Saya ingat betul, ketika itu saya masih duduk di kelas enam SD. Mama meminta saya untuk berangkat ke Jakarta seorang diri. ”Bapak kamu sakit,”kata ibu kepadaku waktu itu.

Setelah gonta-ganti bus dan satu kali naik feri di penyeberangan Bakauheni–Merak, saya tiba di RSCM.Di tempat itulah bapak terbaring lemah setelah dua hari sebelumnya jatuh dari sepeda motor, sebab ojek yang ditumpanginya tak berdaya menampung beban dari tubuh bapak ketika hendak menyeberangi rel.

Tak bisa lekang dari ingatan, saat itu adalah masa di mana saya mengetahui dengan pasti kalau bapak memiliki istri bukan hanya mama. Bapak membangun keluarga pula bersama tiga perempuan. Untuk pertama kalinya, saya bertatap muka dengan beberapa anak bapak. Hati siapa yang tak remuk redam kala itu?

Saya–yang saat itu masih bocah berusia 12 tahun– hanya mampu berair mata dalam hati. ”Itulah sebabnya, saya tidak pernah bisa langsung memperlihatkan rapor setelah dibagikan wali kelas.Dan ...ini juga yang menyebabkan bapak hanya pulang ke Metro dua pekan sekali,” renung saya tak pecah di mulut.

***

Entahlah, sekitar tiga tahun dari kejadian di RSCM itu, saya sempat benci dengan bapak. Namun ketika menimbang ulang, rasa bangga kepada bapak malah muncul di hati saya. ”Walau bapak punya empat istri,semua anaknya tidak ada yang tidak lulus SMU”,kata salah satu anak bapak saat saya berkunjung ke Jakarta di masa SMU.

Ia juga mengakui bahwa anakanak bapak yang berada di Tangerang, Depok, dan Rawasari sering bertemu jikaadaacarakhusus.”KeluargaDepok tuh yang paling sombong. Mentangmentang anaknya ada yang kerja di Garuda,”cibirnya kemudian. Terus saja saya merenung.Kenapa saya harus membenci bapak? Saya tidak pernah satu kali pun melihat bapak memukul mama. Bahkan berkata dengan kalimat kasar pun tidak.

Satu hal lagi, sebelas ”saudara kandung” saya memiliki panggilan yang sama untuk lelaki itu: Bapak.Sementara untuk istri bapak, tiap anak memiliki panggilan beragam. Saya panggil Mama, keluarga di Tangerang panggil Mami, keluarga di Depok panggil Bunda, sedangkan keluarga Rawasari panggil Ibu.

Seluruh anak bapak mengetahui bahwa istri bapak ada empat.Bapak tidak seperti para lelaki yang hobi ‘menyimpan’ perempuan, hingga saat sudah bosan maka ditinggalkan.Apa alasan saya,akhirnya,membenci bapak? Ketika merantau jauh dari mama dan bapak, saya makin tersadarkan bahwa saya memang harus bangga dengan bapak. Saya sering membayangkan betapa sulit kehidupan bapak dengan empat istrinya.

Kesulitan itu tentu saja dalam hal membagi keadilan, sesuatu yang saya pahami hanyalah milik Tuhan.Namun,saya juga percaya bahwa manusia hanya mampu sebatas mengusahakannya terwujud. Bohong jika saya mengatakan bahwa bapak telah adil kepada istri dan anak-anaknya. Namun, saya juga tahu bahwa bapak selalu berusaha memberi keadilan kepada kami.

Saya mengetahui bahwa semua istri bapak adalah perempuan yang bekerja di luar rumah.Jadi,penghasilan tiap keluarga berasal dari suami dan istri.Walau tentu saja, penghasilan yang berasal dari suami tak dapat diberikan utuh kepada satu keluarga. Tetap saja ada yang mengkhawatirkan saya dengan kondisi bapak. Seorang teman pernah bercerita bahwa lelaki yang bapaknya memiliki istri banyak, biasanya akan turut pula seperti itu.

”Yahh...Buah pasti jatuh tak jauh dari pohonnya, toh?”, kesimpulannya saat itu. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa kenakalan anak muda selalu didominasi mereka yang berasal dari keluarga broken home, yang penyebabnya tentu identik dengan ‘kenakalan’ suami. Jalan bapak berbeda dengan kebanyakan lelaki yang memiliki banyak istri.Ada tanggung jawab yang dengan keras coba diperlihatkan pada anakanaknya. Keterbukaan dan kepedulian adalah ciri yang berusaha dibangun bapak di hadapan anak-anaknya.

Setelah peristiwa di RSCM itu, bapak pernah mengajak saya berbincang soal kondisi dirinya. Ya,waktu itu saya masih marah dengan kenyataan hingga omongan bapak hanya masuk kuping tanpa menyangkut di otak. Untungnya, saya mampu berpikir agak jernih.Itulah sebabnya saya tidak terjerumus ke barang terlarang sebagai pelepasan emosi. Kenapa harus memakai narkoba karena mengetahui bapak punya istri selain ibu kita? Kenyataan tak bisa diubah.

Tiada yang harus disesali.Lagi pula, bapaklah yang melakukan poligami, bukan saya.Namun, harus ada yang diperbaiki.Saya tidak mau mengikuti jalan bapak. Jalan terjal itu hanya bisa ditempuh bapak. Saya tidak membencinya.Hanya,saya sudah berpikir serius bahwa saya tak akan bisa memiliki istri lebih dari satu.

Bapak mampu menghadirkan contoh yang baik melalui sesuatu yang dipandang miring oleh orang lain. Dan jika ada tiga amalan dari seorang manusia yang tak akan putus walau telah meninggal, saya akan menyambung amalan bapak pada dua bentuk saja.

Dengan beristri satu, saya akan menumpahkan seluruh perhatian kepada anak yang lahir dari istri saya, satu hal yang tak bisa dilakukan bapak. Saya mendapatkan ilmu memberi perhatian pada anak dari bapak.Dan saya,pasti punya cukup banyak waktu untuk mendoakan bapak dan mama.

***

”Sudah muter ke mana aja, Pak?” akhirnya saya bertanya kepada penjual mi ayam itu. ”Ah,sekitar sini aja,Dik.”
”Wah,kayanya sudah laris,Pak”
”Ah,belum...”
”Rumah sampean di mana,Pak?”
”Ini,di Jalan Sumatera Gang tiga”
”Oh..deket sini ya, Pak. Anaknya berapa,Pak?”
”Tiga...”

Mulut penjual mi ayam itu terlihat akan mengeluarkan kata-kata lagi.Saya buru-buru bertanya kembali, ”Kalau istri ada berapa,Pak?””Apa,Dik? Hahaha...Ya cuma satu.”

Obrolan kami terus berpacu dengan silang suara orang lain di warung itu. Ia bercerita tentang kampung asal sampai kisahnya datang ke kota ini pertama kali. Saya akhirnya memesan mi yang ada di gerobaknya. Selepas kejadian siang itu, saya selalu makan mi ayam kalau dompet agak tebal. Saya melahap mi sambil menatap penjualnya.Membayangkan wajah bapak dan jalan berliku yang telah dipilihnya untuk menapaki kehidupan.(*)

Tidak ada komentar: