Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.


Melongok Kedigdayaan Waktu Senggang

Pada akhirnya manusia yang menentukan
(Soekarno)

Waktu senggang saat ini identik dengan masa liburan. Momen yang dinanti sekaligus kerap ditolak oleh masyarakat modern. Waktu senggang memberi peluang bagi individu untuk bebas dari rutinitas kerja. Namun, pemaknaan waktu senggang juga bisa terlampau peyoratif sebab sering didekatkan pada sikap malas.


Buku yang ditulis oleh Fransiskus Simon ini membentangkan ceruk-lekuk kekuatan waktu senggang dalam memengaruhi, membangun dan mengkritisi kebudayaan masyarakat manusia. Umumnya, buku bergenre filsafat memiliki sifat—pinjam istilah dari Jody Pojoh—buku kubik. Maksudnya, buku yang cenderung tebal dan sulit dimengerti bahasannya—hingga terlampau ‘tinggi’ bagi pembaca awam. Kebudayaan dan Waktu Senggang ialah buku bergenre filsafat yang ‘ramah’—tebalnya cuma 134 halaman, untaian kalimatnya mudah dipahami dan isinya sungguh inspiratif.


Setiap usaha manusia untuk merumuskan kebudayaan pada akhirnya adalah representasi pluralitas dari masyarakat. Tiap ahli dari pelbagai bidang keilmuan—sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi dan sebagainya—memiliki rumusan sendiri. Oleh karena itu, Simon mengambil posisi sebagai pemeriah perbendaharaan ide dan usul yang memungkinkan suatu diskusi baru melalui buku ini. Dengan menghadirkan pemikiran strategi kebudayaan dari CA van Peursen yang diintegrasikan bersama analisa filosofis Josef Pieper tentang waktu senggang, buku ini merupakan sebuah kolase yang indah.


Manusia modern hidup dalam kepungan segala sesuatu yang banal, bersifat anti-ritual dan seremonial hingga memunculkan krisis eksistensial. Manusia modern tak lagi punya prioritas hidup, tanpa harapan dan tak berani menyelami makna terdalam. Sebabnya ialah kecenderungan untuk mengagungkan kerja yang membuat waktu senggang terbunuh. Manusia modern tak lagi memberi ruang bagi dirinya untuk berfilsafat melalui kontemplasi dan refleksi.


Padahal, waktu senggang memiliki ‘daya ledak’ yang luarbiasa bagi kebudayaan manusia. Masyarakat Yunani Kuno telah mengenal waktu senggang yang direpresentasikan oleh kata skole. Momen itu digunakan untuk berdiskusi tentang kebenaran, merefleksikan peristiwa kehidupan dan kegiatan kontemplatif lainnya yang mengandung spiritualitas. Bahkan, karya-karya besar filsuf Yunani Kuno dikerjakan saat waktu senggang (hal.60).


Dengan pemahaman kebudayaan sebagaimana pernah dirumuskan oleh van Peursen, yakni “kebudayaan dilihat sebagai kata kerja; proses manusia membuat, melakukan transaksi-transformasi dan berubah tanpa titik akhir”, Simon mengajak pembaca untuk melihat kekuatan waktu senggang. Jadi waktu senggang tak laik jika dimaknai dan diisi dengan kemalasan. Sebaliknya, waktu senggang ialah momen untuk menyusun ‘strategi’ agar hidup manusia tak tersedot ke dalam kebudayaan yang hanya merayu dan memuaskan nafsu tapi hampa makna.


Waktu senggang bukanlah sikap dan tindakan yang terjadi karena pengaruh kekuasaan atau tekanan dari luar. Jika waktu senggang tetap dimaknai sebagai pemberian dari manajemen, maka ia tetaplah bagian dari rutinitas kerja. Padahal, kerja bagi masyarakat modern telah masuk dalam pemahaman satu dimensi; ‘kerja untuk kerja’. Begitu meruah kehilangan yang dialami oleh manusia modern akibat pendewaan pada pekerjaan. Kesempatan untuk berbagi dengan sesama, merenungkan kehidupan sampai memenuhi kebutuhan spiritual telah tereliminir secara tragis oleh totalitas pekerjaan.


Waktu senggang seharusnya merupakan momen yang tumbuh secara alamiah; bagai kebutuhan manusia untuk makan. Ia hadir sebagai perayaan yang merupakan perpaduan dari ketentraman (transquility), kontemplasi (contemplation) dan kesungguhan hidup (intensity of life). Artinya, waktu senggang adalah kesempatan bagi manusia untuk masuk-meninjau-memperbaiki ke dalam diri sendiri dan lingkungan. Sayangnya, hari ini, waktu senggang lebih dianggap manusia sebagai momen untuk lari menuju jebakan-jebakan nafsu belaka. Hingga sikap konsumerisme, hedonisme dan festival hampa makna kian karib di sekitar kita terkait waktu senggang.


Manusia memiliki akal-pikir hingga mampu merenungkan-melaksanakan yang terbaik menurutnya dalam pusaran perubahan kebudayaan yang tanpa henti. Maka, manusia bisa menjadi sandera atau agen kebudayaan secara aktif. Waktu senggang memungkinkan berjalannya proses seleksi dan kritisisasi ketika melakukan transaksi-transformasi kultural dengan kebudayaan diluar lingkungan kita. Lebih dari itu, waktu senggang juga merupakan momen yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi kreatifitas dan imajinasi. Tentu saja, hal tersebut akan berlangsung jika waktu senggang dihidupkan dengan perilaku kontemplatif dan reflektif ke dalam dan ke luar diri manusia.


Sekilas, pemikiran Simon ini memang utopis. Namun, jika manusia memiliki kecenderungan untuk bersikap destruktif hingga terbangun kebudayaan nekrofilia. Maka ia pun berkesempatan untuk menghidupkan kebudayaan biofilia, yakni kebudayaan yang senantiasa bertujuan menjaga kelangsungan hidup manusia dan dunia. Itulah sebabnya, saya kutipkan pernyataan Bung Karno di awal tulisan ini.


Kekuatan waktu senggang dalam hubungannya dengan kebudayaan memang tak bisa diremehkan. Inilah solusi sekaligus tantangan bagi masyarakat modern dalam membangun-hidupkan kebudayaan. Konflik, penggunaan narkotika, kerusakan lingkungan sampai melunturnya spiritualitas yang menubuh pada masyarakat modern sangat mungkin disebabkan oleh kebudayaan yang dibangun tanpa kematangan strategi. Manusia modern yang cenderung workaholic telah meremehkan kekuatan waktu senggang.


Proyek masyarakat-manusia modern akhirnya adalah menanggulangi proses dehumanisasi menjadi rehumanisasi, perilaku konsumer menjadi penghematan-produktif dan—yang terpenting:—seleksi kebudayaan. Jalan untuk melakukan itu semua telah dilapangkan dengan apik oleh Fransiskus Simon dalam buku ini. Sayang memang, intelektual kita ini harus pulang ke rumah Tuhan saat berusia 23 tahun.(*)

Tidak ada komentar: