Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Catatan Terbuka Untuk Pidi Baiq

Tuan Pidi Baiq, semoga Tuhan memberkati kita semua. Awalnya, paska membaca buku Drunken Molen, saya ingin membuat tinjauan yang normal saja atas buku itu; sama seperti buku-buku lain yang pernah saya baca sebelumnya. Namun, buku setebal 212 halaman itu memberikan sejenis pemahaman baru kepada saya. Yaitu, tiap buku memiliki nafasnya sendiri hingga sesungguhnya tiap buku berhak mendapatkan gaya tinjauan sesuai isinya.


Kini, saya pun kian memahami bahwa buku layaknya manusia. Dunia buku sama majemuknya dengan bumi manusia. Bisa jadi, dua buah buku memiliki kesamaaan fisik—mulai dari jumlah halaman sampai tata perwajahan sampul—tetapi dua entitas itu berbeda. Bukan saja karena ditulis oleh dua orang yang tak sama, namun karena isi dua buah buku itu pun berbeda.


Dalam konteks dua buku karya Anda, Tuan Pidi, yaitu Drunken Monster (DAR! Mizan, Januari 2008) dan Drunken Molen; saya merasakan hawa yang benar-benar berbeda. Maka dari itu, tak wajar kiranya jikalau saya menuliskan tinjauan atas Drunken Molen dalam gaya yang sama seperti ketika saya meresensi Drunken Monster (dimuat Media Indonesia, 23/02/2008). Walau Anda sendiri—dalam paragraf pembuka Pengantar buku ini—mengatakan bahwa Drunken Molen adalah “Buku yang sama dengan Drunken Monster, kakaknya, karena masih berisi kumpulan catatan harian saya juga” (hal:17).


Drunken Molen, Tuan Pidi, sangat berbeda dengan Drunken Monster. Walau pembaca tetap saja akan dibuat ‘mabuk’ oleh cerita didalamnya. Sebab kreatifitas Anda seolah tak ada habisnya.


‘Anak rohani’ kedua yang Anda lahirkan ini kian memperkuat dugaan saya bahwa seorang Pidi Baiq berkarya dengan ‘semangat membobol kebakuan’. Pertama, tentu saja kebakuan berbahasa tulis. Para ahli bahasa sudah merumuskan bahwa bahasa memiliki perbedaan pada bentuk tulis dan ucap. Padahal, sebelum ditemukan tulisan, komunikasi manusia menggunakan suara yang bersumber dari mulut pemberian Tuhan. Cerita-cerita yang Anda tulis seolah ingin bertanya, haruskah ada pembedaan antara yang tertulis dan terucap?


Kedua, dalam sebuah cerita sastra, khalayak memahami bahwa harus tersedia tema, plot dan alur yang jelas. Namun, hal seperti itu tidak akan ditemukan dalam cerita besutan seorang Pidi Baiq. Anda, Tuan Pidi Baiq, seperti tengah melakukan penjebolan terhadap dinding sastra yang beku dan baku itu. Teknik bercerita tak sesuai pakem sastra inilah yang kiranya membuat Jaya Suprana berujar: “Gaya tulisan Pidi Baiq tergolong supersonik...Juga pilihan (atau mungkin tidak dipilih?) tema-tema tulisannya benar-benar lincah tak terbelenggu oleh apapun” (hal:15).

Kreatifitas seorang Pidi Baiq dalam menjalin cerita humor memang patut diacungi jempol. Tak ada satu pun cerita dalam Drunken Molen yang memiliki ‘kesamaan nada’ dengan kisah-kisah yang telah dibukukan dalam Drunken Monster. Hanya saja, renungan filosofis berbalut kisah lucu kiranya lebih banyak bertebaran di sekujur Drunken Molen.

Tuan Pidi Baiq, kalau hari ini rakyat Indonesia lebih karib dengan kata jebakan, saya merasa itu terjadi karena kinerja KPK. Ya, lembaga negara yang super body itu sering sekali menjebak pejabat pemerintah yang dikategorikan ‘busuk’. Cerita-cerita yang Anda tuliskan, Tuan Pidi, mungkin semacam antidot dari begitu negatifnya makna jebakan di masyarakat kita.

Jebakan tak harus bermakna negatif. Kegiatan ‘menjebak’ hanya akan membawa kita mengetahui sifat asali manusia. Jika manusia itu baik, maka saat dijebak pun tak akan terjadi apa-apa. Lain halnya jika manusia yang dijebak ialah tipikal “si manusia bersifat buruk”, maka ruang pengadilan akan menantinya. Jadi yang baik atau buruk adalah manusia, bukan jebakan.
Kreatifitas cerita-cerita Pidi Baiq, menurut saya, ialah kelincahan dan kejelian memproses suatu jebakan (jelek baik ditertawakan). Tapi jebakan itu tak berakhir dengan kerugian si manusia yang terjebak. Seperti yang Anda ceritakan di Tangga Studio Foto (hal:107-115) dan The Nazar (hal:177-185).

Tema ‘Jebakan’ ini benar-benar menuntun saya untuk memahami seluruh cerita Anda, Tuan Pidi. Sebab kata ‘jebakan’ itu juga bisa dipanjangkan menjadi ‘jelek baik diceritakan’, ‘jelek baik direnungkan’ atau apa saja; bebas seperti nafas yang menghembus dari tiap kisah karangan Anda.

Jebakan yang Anda buat dalam cerita-cerita itu pun bisa menjadi satu bangunan interaksi dengan pembaca. Maksudnya, Anda seperti selalu menjebak pembaca saat menikmati satu kisah dalam Drunken Molen. Pembaca seolah mengetahui bahwa yang berkata “Iya” dalam suatu dialog adalah Tuan Pidi sendiri tapi nyatanya tidak (hal:145-147).

Lebih jauh, jebakan yang paling hakiki dalam seluruh cerita Anda kepada pembaca yaitu kenyataan bahwa suatu kisah tidak akan bisa kita tebak bagian akhirnya. Jadi, Anda bagaikan memaksa pembaca untuk terus membuka mata dan mengeja kalimat yang sudah dirangkai tanpa rasa malas.

Soal kreatifitas ini, saya teringat pada kata-kata Nawal el Saadawi, sastrawan terkemuka dari Mesir. Baginya, kreatifitas ialah penyingkapan dan pengungkapan kembali tentang suatu hal dalam cara pandang baru. Melalui penulisan cerita dengan gaya tutur ini, Tuan Pidi telah membuka kembali tafsir-tafsir yang penting tentang suatu hal namun sering dipandang remeh oleh masyarakat kita.

Cerita-cerita karangan Pidi Baiq, wahai pembaca, akan membawa kita pada suatu ruang untuk memahami bahwa manusia harus berdaulat atas dirinya sendiri. Tapi bukan berarti manusia macam itu sah untuk menikmati hidupnya sendiri jauh dari orang lain. Manusia yang berdaulat itu justru harus membantu sesama agar mencapai kedaulatan yang sama dengan dirinya. Maka manusia harus berinteraksi, bermain dan saling membantu. Sebab Tuhan tak menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk di bumi ini. Terakhir, manusia tak boleh lupa bahwa canda dan tawa ialah bunga-bunga kehidupan.(*)


Versi lain tulisan ini ada di Ruang Baca Koran Tempo Edisi 31 Agustus 2008

4 komentar:

Anonim mengatakan...

thats amazing story.

Anonim mengatakan...

To the owner of this blog, how far youve come?You were a great blogger.

Anonim mengatakan...

mampir boleh?

Info Ultah mengatakan...

like bro