Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.


Mawar Diatas Batu (1)

--Untuk Mang Awal, Jun, Sontani, Dadang
Dan Utuy Tatang Sontani


Sebuah sore. Tapi terbenamnya matahari tak dapat saya lihat ditengah kepungan tembok itu. Saya sedang berjalan-jalan di Jatinangor Town Square (Jatos)—sebuah tempat perbelanjaan yang menjadi simbol penumpukan modal, elit kelas menengah dan ketertutupan. Jatos bagi saya tak beda dengan pasar tradisional. Hanya saja ia tidak becek, tidak sempit, tidak bau campur-campur dan tidak membuat gerah. Jatos adalah luasnya lantai porselin—yang tiap menit dipel oleh cleaning service—, harum dan segar selalu—berkat pendingin yang sangat besar. Ditengah-tengah kepungan penjual sepatu dan sendal, baju dan celana, keping-keping cd bajakan dan original; saya mengetahui sorenya hari berkat tampilan penunjuk waktu yang ada di telepon genggam.

Hanya ada dua toko buku di bangunan megah itu. Saya masuki keduanya. Yang membuat saya terkesan hanya toko buku yang saya masuki terakhir. Diantara rak-rak buku yang tersusun rapi, saya melihatnya; bersampul merah, tidak berplastik, berukuran kecil dan cukup tipis. Buku itu diletakkan pada saf ‘NOVEL DAN SASTRA’—tanya dalam hati menyeruak tiba-tiba; “adakah NOVEL yang bukan karya SASTRA?”. (Ah, pengatur tata-letak buku-buku pada toko itu ada-ada saja).

Tangan saya bergerak merengkuhnya. Membuka-buka sekilas buku itu lalu mata saya tertumbuk pada sampul belakangnya. Foto bertekstur lama dari seorang lelaki yang berkacamata dengan bingkai hitam, duduk di semacam sofa kecil, tersenyum, berdasi hitam dan berhem putih yang menyembul malu-malu ditutupi semacam baju penghangat, tangannya disatukan tertangkup di paha yang berbalut celana panjang. Melihat foto itu, Yeye yang berada tepat di samping saya berkata pelan; “Ya ampun, Sunda banget mukanya”.

Sudah lama, saya mencari dokumentasi tentang lelaki itu—entah karyanya atau memoar tentang ia. Saya terprovokasi oleh salah satu posting Zen R Sugito di blognya. Sore itu saya merasa beruntung. Buku tipis itu saya beli.

Pustaka Jaya adalah penerbitnya. Sementara penyusun dan pemberi kata pengantar buku itu adalah Ajip Rosidi. Namun pada bagian sampul—depan dan belakang—buku itu, kita tidak akan membaca nama Pendiri Yayasan Rancage tersebut. Hanya ada 54 huruf yang tertera pada bagian sampul depan buku itu. Dua puluh enam huruf merangkai judul buku itu: Di Bawah Langit Tak Berbintang dan sebelas huruf membentuk nama penerbitnya. Pada bagian atas agak ke kanan, berderet rapi 17 huruf membentuk 1 nama: Utuy Tatang Sontani. Mata saya melahap huruf-huruf, kata-kata dan kalimat-kalimat pada halaman-halaman buku—yang menggunakan lukisan karya Alit Ambara sebagai gambar sampul depan—itu dalam satu malam sepulang dari Jatos.

Bukan salah otak dan hati saya, jika saya sangat penasaran pada tokoh yang satu ini. Nama Utuy Tatang Sontani tidak saya dengar pada bangku sekolah menengah. Baru ketika kuliah, saya membaca namanya berderet-berjajar dengan Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, HR Bandaharo, Agam Wispi, dan sejumlah penulis lainnya yang mengalami pelarangan atas karya-karyanya oleh rejim Orde Baru. Nama Utuy Tatang Sontani hampir hilang jika saja Orde Baru tidak tumbang pada 1998.

Kondisi hampir amnesia itulah kiranya yang membuat penerbit buku ini menyediakan satu halaman khusus untuk menorehkan kalimat: Memoar? Otobiografi? Novel? / Yang penting mesti dilontarkan, / biar gemerlap di gelap malam di bawah judul yang ditulis dengan seluruhnya huruf kapital. Di Bawah Langit Tak Berbintang adalah buku tentang Utuy Tatang Sontani yang ditulis sendiri olehnya dengan gaya penyampaian khas novel, namun menampilkan sisi dialog berbau sandiwara. Terbit pertama kali pada tahun 2001, walau Utuy telah menuliskannya kira-kira 30 tahun sebelumnya, buku ini adalah langkah untuk tidak melupakan kiprah pengarang sandiwara, novel, cerpen dan puisi tersebut di atas panggung sastra Indonesia.

Saya terus berpegang pada satu keyakinan ketika berenang-renang di lautan sastra: “Mempercayai segala bentuk tulisan seorang sastrawan adalah keganjilan. Maka yang diperlukan adalah menyerap maksud baik yang tersimpan dalam tulisan itu”. Saya terapkan pula hal itu ketika membaca Di Bawah Langit Tak Berbintang ini.

Dalam kemegahan Jatos, saya menemukan Di Bawah Langit Tak Berbintang. Ketika membacanya, saya melongok sisi lain seorang penulis yang disebut oleh beberapa pihak sebagai komunis. Suatu malam di Jatinangor yang kian tidak agraris, saya berbincang panjang dengan Utuy Tatang Sontani. Untuk beberapa sebab, saya juluki ia: Mawar Diatas Batu.***(ada lagi lanjutannya)

Seterusnya..

Satu Sajak Isbedy Stiawan ZS

Saat mondar-mandir di jejaring internet Sabtu (24/11/2007) ini, saya menemukan beberapa sajak Isbedy Stiawan ZS dipublikasi di Suplemen Khazanah Pikiran Rakyat. Ada satu yang sangat saya suka. Saya taruh dia di dalam blog ini, sebab sajak itu mengena sekali dengan pengalaman dan kenangan saya hidup di Metro, Lampung selama 17 tahun penuh--walau sampai 7 tahun setelah itu, saya masih setia pulang kampung kesana.
---------------------------------------
Sungai Tulangbawang

::karya Isbedy Stiawan ZS

jika aku sampai di sungai ini
dan aku telah cecap airnya
sambut aku sebagai puari*)
duduk berdepan-depan

berkisah ihwal darah ibu
saat melahirkanku:
dan kau tahu
bahwa ari-ariku tertanam
disuburi lampu?

juga lidahku
akrab pada seruit**)
ikan gabus
lalap petai
dan buah terong

"jangan panggil aku
pendatang,
apalagi petualang!"
bisikku, sebab namaku
sejak lama sudah ada

aku kenal raja
bersama silsilah
walau gelap kuburnya
sekelam istananya

tapi, kata tetua-tetua,
pernah ada raja***)
yang memerintah

aku…
2005/2006

*) bagi pendatang dan jika orang suku Lampung menerima, bisa diakui saudara (puari)
**) sambal khas Lampung
***) masyarakat Lampung, terutama dari Menggala Kabupaten Tulangbawang, meyakini pernah ada seorang Raja yang memimpin dari istananya di sekitar tepian Sungai Tulangbawang

Seterusnya..




Beberapa foto

Ketika ada di Metro, dalam rangka mudik, saya meminjam hp Yeye yang dilengkapi kamera digital. "Pinjem hp-nya", pinta saya kepadanya. "Mau foto-foto Taman Kota", lanjut saya setelah Yeye memberikan hp yang baru ia keluarkan dari tas. Yah...buat kenang-kenangan biar ada di blog ini. Sekadar pengobat rindu dengan kampung. Tapi saya jadi tergoda untuk membuat sajak dari beberapa foto amatir yang saya buat itu. Semoga bisa.

Seterusnya..

Selamat Hari, Pahlawan!!!
Pahlawan tidaklah bermakna tunggal. Namun merupakan kumpulan individu dari berbagai masa yang pernah memberi—dalam bentuk apapun—kepada komunitas tempatnya menghirup udara. Kumpulan individu itu tidak pernah memancangkan niat untuk menjadi pahlawan di kemudian hari. Selama masih hidup, para pahlawan hanya melakukan apa yang mereka bisa dengan segala yang mereka punya. Tentu saja agar tujuan yang menjadi kepentingan bersama dalam lingkungan bisa mewujud melalui bentuk terbaiknya.

Seterusnya..


foto dicukil dari media indonesia

krakataukujanganmeledakdulu
jangan meledak dulu
j a n g a n m e l e d a k d u l u
krakatauku

Seterusnya..

Telah Kutitipkan Berkarung-karung Rindu Padamu

Udo Z Karzi menerjemahkan seluruh puisi yang terpilih dalam Krakatau Award tahun 2006 ke dalam Bahasa Lampung. Salah satu puisi saya masuk nominator saja. Tetapi juga ikut diterjemahkan oleh Udo. Terimakasih Udo. Menurut rencana, seluruh puisi itu akan dibukukan, tetapi "Sayang ni sampai tanno, 1 November 2007 rencaka inji mak jadi. Buku ni mak ticitak-citak", kata Udo. Dan ini puisi saya itu:

RADU KUTITIPKO BEKARUNG-KARUNG TIRAM JAMA NIKU
jama ari
-- Deny Ardiansyah

kik niku jadi mulang
reno tekas jak banten rik
mulai keliakan merak
dan hinok di kersi penumpang

kik radu di tengah kapalmu
kira ni mak jelas lagi tanoh jawa
ingok lehotku:
mit geladak rik ucakko
salam ruwa kali; sai bemu, bareh ni benyak

asal niku mak hinok barong jama kapal merapot,
rasako debar ni jantungmu kala
bis nanjak mit jak bakauheni
seno degup ni tiram; debar cinta sai
tepancar ngeliak pemandangan sekeliling
rulah, kayu, tebing tegar nyambut sunyin ni ram sai muloh

kik matamu mak mekuat lagi, pedom do
kidang pasang alarm hp-mu nyin
minjak kala bis ngelintasi rangok ni pulau pasir
injuk aku, kanjak lunik nyak gering mit disan
wat sekura di rangok ni sai
jak lucu ni kanjak ribuan sekura di pulau jawa
malahan, amu, unyin ni gering mit disan, maka thr gelar ni

nah, kala rajabasa niku kuruki, lamon do betasbih
injuk biasa; langsung niku cakak bis jurusan metro
mak perlu ngeliak kanan ngeliak kiri nyin
bekarung-karung tiramku mak kena akuk

kuruk mit daerah ganjar agung tulung rekam diingokanmu
ceritako liwat sms keaadaan ni sabah disan
tugu pering runcing udi maseh wat kudo
radu kudo salai ni walet nutupi siluet sai ram kegeringi
sesampai ni niku di metro, dang lupa jama karung-karung tiramku

bagiko isi karung seno jama ulun tuhaku
ceritako karung seno jama kantek-kantek ram
kik niku kesipak, urau sai bareh cakak gunung luwot
ngedaki jutaan warah sai tiguris di
ngison ni tanggamus
kik mak lagi mekuat cukutmu, mit betung juga kasi

repa kik mit mah item riya
di udi mak perlu mebuya cukutmu
injuk tumbai, tenong ni bingi pulau musti tipecohko
dentuman peledak rik ram pandai seno pakai sang pujuk mi
ah... radu do, nyak musti diingok,
mit dipa cukut ngejimpang di tanoh sai ngelaherko neram
dang lupa karung-karung tiram titipan jak nyak

Jember, Juni 2006

Seterusnya..


Sebuah Bedah Buku

"Ah, lama kali saya rasanya tak berangkat juga untuk numpang hidup lagi di Jember. Seorang kawan yang sangat karib mengirim undangan di bawah ini via email ke saya. Duh, senangnya ada bedah buku di Kota Tembakau Jember itu. Tapi apa saya bisa datang?
Padahal asyik sekali perhelatan itu--mengingat kini gempuran acara musik-musik pop sungguh deras di Jember. Semoga bisa datang untuk meyegarkan otak dan hati ini lagi. Apalagi, buku yang dibedah adalah buku karangan Nurani Soyomukti--Pemuda yang baru saja memenangkan Sayembara Menulis Esai Kepemimpinan Pemuda yang dihelat oleh Kantor Menpora dan FLP--dan pembicara yang satunya lagi sangat akrab denga saya; Agus Trihartono (wah kini sudah pake 'Msi', nampaknya kuliah di Jepang itu telah usai dijalankan oleh beliau)--salah satu dosen muda di Jember yang pikirannya renyah dan segar serta cerdas.
Ah, kalaupun tak bisa bertandang ke resepsi tersebut, saya mengucap semoga sukses bedah bukunya. Saya usahakan datang."


Nomor: 67/B/SEK-HIMAHI/X/2007
Lampiran: -
Perihal: UNDANGAN TERBUKA

Kepada Bpk/Ibu/Kawan
Dimanapun Anda Berada


Sehubungan dengan akan dilaksanakannya kegiatan HIMAHI FIESTA 2007 oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) FISIP Universitas Jember, maka dengan ini kami juga mengadakan acara “BEDAH BUKU REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL” yang akan kami selenggarakan pada:

Hari/Tanggal:
Selasa, 13 Nopember 2007

Waktu:
08.30 WIB s/d Selesai

Tempat:
Ruang Sidang FISIP UNEJ Jember, JATIM

Pembicara:
Nurani Soyomukti (penulis/aktifis JARINGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL—JAMAN),
Agus Tri, MSi (Dosen Hubungan Internasional UNEJ)

Oleh karena itu, kami mengharapkan kehadiran Bapak/Ibu/Saudara/Kawan untuk hadir dalam acara tersebut. Atas perhatian nya kami sampaikan terima kasih.

Jember, 29 Oktober 2007

PENGURUS HIMPUNAN MAHASISWA HUBUNGAN INTERNASIONAL (HIMAHI)
FISIP UNIVERSITAS JEMBER



Ketua Umum


Arif Rahman Budiono
NIM. 040910101010

Seterusnya..