Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Jaket
[Oh, engkau pastilah marah padaku jikalau kau tahu bahwa pesan pendek yang kau kirimkan padaku malam itu telah kujadikan alasan untuk menulis cerita dibawah ini. Engkau pasti marah kalau kau baca cerita ini. "Hey, ini kan kisahmu...", ucapmu pasti begitu. Tapi, pesan pendek yang isinya: "Habis sudah, sekarang jaketnya pun hilang. Tadi ketinggalan di desa.", itu engkau yang kirim ke ponselku 'kan? Oh, jangan marahlah. Jangan kau pilah-pilah lagi, mana kisahmu, dan yang manakah kisahku. Baca sajalah.]
(Dengan ijin Tuhan, sempat bernafas di Harian Surya edisi Minggu, 16 Maret 2008)
Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Ia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

“Mari kesini, bergabung bersama kami”, adalah kalimat yang selalu diucapkan semua mulut setelah selesai menyunggingkan senyum kepadanya. Ia bahagia sekali. Apalagi setelah mendapatkan jaket yang lama diidamkan. Jaket itu disimpannya dalam lemari, setelah sebelumnya disemprotkan pengharum.

Barang yang baru saja ia peroleh itu bahkan lebih berharga ketimbang jaket pemberian ibunya sebelum ia merantau ke kota itu. “Pakai jaket ini, biar tidak masuk angin”, ibunya berpesan sebelum ia naik bis yang berhenti di depan kantor kecamatan. “Ibu tidak mau muluk-muluk. Belajarlah yang rajin. Ibu hanya ingin kau bekerja disitu”, ucap ibunya sambil mengarahkan telunjuk ke bangunan yang berdiri di hadapan mereka.

“Ingat-ingatlah selalu, jaket yang kita pakai adalah jatidiri dan harga diri yang harus dipertahankan”, pesan itu selalu terngiang di telinganya. Suara menggelegar seorang senior pada suatu acara yang sakral. Maka ia memiliki tiga jaket. Dalam lemarinya terlipat rapi dua jaket yang telah dicuci bersih dan disemprotkan pengharum. Sementara jaket ibunya sudah lusuh tak terurus. Persis seperti gambaran kehidupanya di kota itu. Kota yang rusuh, tak lagi ramah. Kota yang membuat jaket pemberian ibunya sama sekali tak berharga. Bahkan mimpi ibunya tersangkut di awan pekat yang menggantung diatas kota itu.

***
“Aku tak bisa menjamin bahwa kita tidak akan diD.O jika terus menggelar aksi”, ucap pelan seorang senior yang dulu bersuara lantang soal jaket kepadanya. Ia menanggapi dengan suara yang cukup keras hingga otot lehernya pun sedikit nampak.
“Tapi, jelas-jelas rektor busuk itu sudah korup dan ada...”
“Apa? Ada bukti? Aku sudah tahu itu. Tapi kita tidak bisa! Kita harus hentikan aksi ini! Titik!”, potong senior itu kemudian pergi.
“Saudara-saudara, kita akan hentikan aksi ini. Kita akan membawa kasus ini ke ruang sidang saja!”, suara senior itu kembali menggelegar. Ia hanya terdiam. Sebab ia tahu, ruang sidang di negeri ini tak akan pernah menghukum siapapun yang memakan uang haram.

Ia sudah lelah mengumpat ketika mendengar kabar bahwa senior yang menghentikan aksi pengganyangan rektor korup itu telah dibebaskan dari pembayaran SPP sampai selesai studi. Bahkan seluruh SSP yang sudah dibayarkan akan dikembalikan.
“Aku ini perantau. Dan kau tahu, perantau yang baik akan selalu mencari cara agar dapat terus hidup di negeri orang.”, ucap senior itu pada suatu siang di sebuah warung.
“Bukan! Kau memang perantau. Tapi perantau yang licik. Perantau yang sangat paham cara menjual diri di negeri orang!”, ia membentak hingga semua pembicaraan orang lain terhenti di warung itu. Kemudian kekeh senior itu mengiringi dirinya yang keluar.

Pada suatu malam, ia membuang dua jaketnya ke comberan. “Lebih baik kalian ada disana daripada di lemariku!”

Ia tak akan pernah lagi mencaci. Hatinya telah terlampau sakit. Perempuan yang selama lima tahun bersedia mendengarkan keluh dan membagi tawa dengannya telah dipersunting oleh senior yang perantau itu.
“Aku menunggu kamu, Mas. Menunggu lamaranmu...”
“Ya, aku salah. Aku terlalu mendahulukan rasa takut untuk berkeluarga denganmu”
“Maaf Mas, dia telah dengan gagah berani membawa orangtuanya datang untuk melamarku. Aku menerima ajakan dia, Mas. Maaf”
Percakapan sore itu adalah bayangan yang tak pernah lekang menelungkupinya. Memburamkan jiwanya, bahkan mendiamkan mulutnya.

***

Mulutnya tak lagi bisa berkata-kata saat dia sadar bahwa bis yang baru saja ditumpanginya telah membawa serta jaketnya. Jaket yang diberikan perempuan itu pada sore yang memisahkan mereka. “Habis sudah. Kini jaketnya pun ikut pergi”, gumamnya dalam hati.

Ia duduk di pinggir ranjang dalam kamar yang pengap. Kamar yang tetap didiaminya walau kini ia telah bergelar sarjana. Gelar yang diharapkan ibunya agar ia mampu bekerja di kantor kecamatan yang berjarak 30 kilometer dari rumahnya. Lalu ia menatap rapat ke arah jaket yang digantung pada tembok. Jaket yang sangat kumal berhiaskan sarang laba-laba.

Ia raih jaket itu kemudian menebaskan tangannya agar debu dan jejaring laba-laba tak menyelimuti barang pemberian ibunya itu. Kini hanya jaket itu yang bisa membuatnya tahan dari dingin. Jaket yang telah lama dilupakannya. Bahkan untuk sekadar dicuci dan dilipat rapi dalam lemari pun tak pernah. “Ibu, maafkan Malin Kundang ini”, ia terisak. Lelehan bulir airmatanya adalah air pertama yang membasahi jaket itu setelah sepuluh tahun lalu.
Ia sangat ingin meninggalkan kota dan cerita ini. Kota dan cerita yang kini terlalu sering mencibir pergulatannya dengan nasib.(*)
Bumi Pendalungan, Maret 2008


4 komentar:

Anonim mengatakan...

deny....coba posting boz...

Anonim mengatakan...

ancoox......

zen mengatakan...

wah, dimuat lagi. paragraf pembukanya bagus. bicara ttg hal-hal yg sederhana. kali ini ttg jaket.

Anonim mengatakan...

@ Uut: Mari, mari posting saja komen-nya...

@Bang Mumun: Sudah ik bilang jangan marah toh?

@Zen: Iya, Zen...ini kali pertama dimuat tulisan yang saya sebut sebagai cerpen...he2. Trims buat apresiasi darimu...Daku akan cari lagi sederhana yang lain...Gampang ngolahnya kalau sederhana...