Kotakarjaket
“Setiap orang harus pergi agar mengerti arti pulang”. Aku ucapkan kembali larik dari salah satu puisi milik Isbedy Stiawan ZS saat kita sedang melewati jalan yang sepi. Seolah jalan itu tidur tadi malam. Ada kesegaran yang baru menggeliat bangkit di situ.
“Kamu ngomong apa tadi?”, tanyamu sambil memperlahankan laju sepeda motor.
“Ah, gak apa-apa. Cuma sedikit nyanyi aja, biar gak dingin.”
“Pasti puisi itu lagi. Ya, kita memang harus pergi. Tak baik berlama-lama disini.”
“Ya, mungkin saja. Tapi yakinlah, kepergian juga membuat kita kedatangan rindu.”
Aku sudah di dalam kendaraan besar yang berlari kencang saat pesan pendekmu masuk ke ponsel.
“Hati-hati di jalan. Ingat titipanku: Jaket!”
“Terimakasih tadi sudah mengantarku. Disebelahku ada gadis berjaket. Mau aku mintakan jaketnya untukmu?”, kuketik kata-kata itu dan segera kukirim kepadamu. Tidak kau balas. Padahal aku masih bertanya-tanya, jaket seperti apa yang kau idam-idamkan? Pembicaraan kita pada malam kemarin tak menuntaskan soal itu. “Pokoknya jaket yang nyaman, jangan terlalu tebal. Terserah warna apa.”, ucapmu saat itu. Adakah kenyamanan tiap orang sama? Atau seragamkah pemahaman per kepala tentang tebal dan tipis?
***
Aku tiba di kota yang menabukan keterkejutan, Takarja. Pongky menjemputku.
“Tadi baca tulisan di pintu terminal?”, ia bertanya sambil tetap konsentrasi pada kemudi mobil.
Mataku yang lekat melihat ramai jalanan segera menoleh kepadanya,
“Ora...Ada tulisan apa?”
“Selamat Datang Di Takarja. Jangan Gampang Kaget”, jawab Pongky kemudian tertawa. Bagiku, ia tetaplah pandai berpesan.
Berapa banyak orang yang telah mengutuk kota ini? Aku tak tahu. Kau pernah bersumpah tak akan sudi hidup di Takarja. Aku pun demikian. Seluruh suara seolah saling berebut minta didengar di sini. Kau dan aku sama tak menyukai kehidupan yang senantiasa hingar-bingar. Tapi kini, jalanan Takarja bagai membalikkan anggapan kita tentang kota ini menjadi sekadar tuduhan yang tak berbukti.
Jalanan yang kulewati bersama mobil Pongky seperti tak pernah lelah mengalirkan orang-orang dan benda mati yang nampak hidup. Suara-suara yang menghentak itu terasa nyaman bagi mereka. Aku coba menyelaminya; kalau ada kelelahan di kota ini, maka itu adalah milik seluruh manusia di jalanan Takarja yang pernah mampir di mataku. Tapi, toh mereka mampu menutupinya. Mereka seperti sudah lama berdamai dengan Takarja yang melelahkan. Baiklah, mungkin lebih tepatnya, mereka dipaksa untuk menerima kondisi Takarja. Dan mereka menikmati paksaan itu.
***
Radi telah keluar kamar sejak pukul empat, ketika aku mulai beranjak tidur karena semalam suntuk bincang dengannya. Tetap bertubuh ceking, Radi masih nampak seperti dulu; tak pernah lelah.
“Tidur dulu lah, Rad. Masa sih sudah mau kerja. Awakmu ora kesel tah?”, tanyaku saat Radi selesai mandi.
“Nang kene, sing ora kuwat, yo monggo minggir wae”
Pongky pun bekerja hari itu. Maka kuputuskan untuk putar-putar kota seorang diri. Pongky merekomendasikan angkutan yang cukup baru di Takarja. Namanya bus berjalur.
“Kalau naik itu aman, tenang aja”, ujar Pongky sebelum menutup pembicaraan kami via telepon.
“Weeyyy...”, aku berteriak kaget karena suara itu. Rekaman suara perempuan yang dibunyikan untuk memberitahu nama halte bus berjalur kepada penumpang. Kulihat beberapa orang tertawa kecil. Aha, aku telah lupa dengan pesan Pongky ketika menjemputku di terminal. Tapi apa salahnya dengan kekagetanku? Sejak tadi, di dalam kendaraan itu tiada suara manusia. Seluruh penumpang seolah merenungkan persoalan hidupnya sendiri. Mereka bagai lupa bahwa orang lain disampingnya bukanlah benda mati. Kata siapa tertawa itu lebih sulit daripada bercakap basa-basi? Baiklah, tertawa memang tetap sulit. Yang mudah ialah menertawakan orang lain.
Aku turun di Passer Bahroe, lokasi perbelanjaan yang sudah berdiri sejak Belanda memerintah di negeri ini. Passer Bahroe sudah milik Indonesia kini, pikirku sambil berkeliling disana. Oh, mataku menatap toko yang menjual macam-macam pakaian, kemudian masuk kesana.
“Mbak, saya orang baru di Takarja. Bisa kasih liat jaket yang cocok dipakai disini?”
“Oh, yang gimana ya, Mas...”, pegawai toko itu nampak bingung menatapku.
“Terserah. Yang penting cocok untuk pendatang seperti saya.”
“Aduh, yang lebih jelas gitu, Mas. Modelnya? Coraknya?”,
Terserah bukan kata yang tepat untuk dilafalkan, kini kau paham?
“Kata teman saya, di Takarja banyak yang jualan jaket yang cuma dipakai lima tahun sekali? Disini jual jaket macam itu?”
“Gak ada, Mas...”
Lalu aku tanyakan soal jaket yang bertuliskan “Jaket Ini Tak Akan Menghangatkanmu Kalau Kau Tak Berbicara Dengan Orang Disampingmu”. Pegawai toko itu menggelengkan kepalanya.
Ada jaket berwarna hitam. “Dunia = Bekerja” tertulis dengan tinta putih di bagian belakangnya. Aku pilih jaket itu sebagai tafsiran atas ‘terserah’-mu.
Hari telah menuju petang ketika aku keluar dari Passer Bahroe. Dari dalam bus yang kutumpangi, aku lihat antrian mobil kian panjang di jalanan Takarja.(*)
Bumi Parahyangan,
Sehari Paska-Ultah Yeye 2008
Kalawan
yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau
dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian
tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri
kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut
oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.
yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau
dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian
tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri
kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut
oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.
dibubuhkan denyya ketika 11.14
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Dhe.. gw suka tulisan lo yg ini, dan juga penggalan, " Berapa banyak orang yang telah mengutuk kota ini? Aku tak tahu. Kau pernah bersumpah tak akan sudi hidup di Takarja. Aku pun demikian."
@Ge': Terimakasih Ge'...
Itu kalimat memang pernah saya ucapin bareng temen saya. Karangan yang ini bagai bukti saja kalau anggapan saya salah terhadap kota itu...
Ternyata orang-orang disana suka kok hidup di kota itu...
Saya masih bingung kalau disuruh mukim disana...
Apa saya sanggup...?
Kadang-kadang 'tinggal dimana' bukanlah pilihan, tapi 'mo bagaimana' yang selalu jadi pilihan =)
Tapi serius, gw suka banget sudut pandang yg ditampilkan dalam tulisan lo yg ini.. bravo!
Posting Komentar