Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Satu Sajak Isbedy Stiawan ZS

Saat mondar-mandir di jejaring internet Sabtu (24/11/2007) ini, saya menemukan beberapa sajak Isbedy Stiawan ZS dipublikasi di Suplemen Khazanah Pikiran Rakyat. Ada satu yang sangat saya suka. Saya taruh dia di dalam blog ini, sebab sajak itu mengena sekali dengan pengalaman dan kenangan saya hidup di Metro, Lampung selama 17 tahun penuh--walau sampai 7 tahun setelah itu, saya masih setia pulang kampung kesana.
---------------------------------------
Sungai Tulangbawang

::karya Isbedy Stiawan ZS

jika aku sampai di sungai ini
dan aku telah cecap airnya
sambut aku sebagai puari*)
duduk berdepan-depan

berkisah ihwal darah ibu
saat melahirkanku:
dan kau tahu
bahwa ari-ariku tertanam
disuburi lampu?

juga lidahku
akrab pada seruit**)
ikan gabus
lalap petai
dan buah terong

"jangan panggil aku
pendatang,
apalagi petualang!"
bisikku, sebab namaku
sejak lama sudah ada

aku kenal raja
bersama silsilah
walau gelap kuburnya
sekelam istananya

tapi, kata tetua-tetua,
pernah ada raja***)
yang memerintah

aku…
2005/2006

*) bagi pendatang dan jika orang suku Lampung menerima, bisa diakui saudara (puari)
**) sambal khas Lampung
***) masyarakat Lampung, terutama dari Menggala Kabupaten Tulangbawang, meyakini pernah ada seorang Raja yang memimpin dari istananya di sekitar tepian Sungai Tulangbawang

1 komentar:

docs mengatakan...

aku beku
setampik ngilu diterpa angin
perjalanan adalah kata-kata
tapi di mana telaga susu

mimpi........

gelisah:
langsung kubanting kepalaku
dan kucacak-cacak hatiku
memburu
mengejarmua cintaku