Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Dalam Perjalanan Pulang

Awal Oktober lalu, saya dengan gigih...sebagaimana banyak orang lainnya...bersusah payah pulang kampung alias mudik. Dari Jember...dengan kereta yang berganti dua kali di Surabaya...ke Jatinangor lalu menembus Jakarta...lagi-lagi dengan kereta. Kemudian bermukim sebentar di Gambir...menunggu bis Damri...akhirnya perjalanan panjang lagi ke Metro. Sedikit puisi saya tulis ketika itu. "Anak-anak" saya yang lahir di jalan p(ul)(anj)ang awal Oktober 2007 itu adalah:

Mudik (1)

maka pikirkanlah berapa berat uang,
kalau tubuh ini bisa kembali ke ranjang.
dan hitunglah—kalau kau bisa—
sejauh mana kuat melangkah,
jika angan mampu berlari pergi tak sudah.

Mudik (2)

lalu kereta terus berdenyut
sampaikan pesan yang kalahkan
kemeroncong dalam perut

kemudian peron kembali berdesak
kabarkan kisah yang lagukan
rindu rumah hati sesak

Mudik (3)

para penyair itu
—beruntunglah—
hati mereka
tak pernah henti
diajak kembali

Stasiun Gubeng; primo Oktober 2007


Teringat Siwalan Zawawi

“Tuan, penyair?”
“Bukan. Saya cuma penjual siwalan
yang airnya tak ‘kan membasuh
dahaga kerongkongmu.
Air siwalan saya
hanya mampu mengguyur hatimu.”

“Tapi, sekarang, saya haus Tuan”
“Maka bermohonlah pada pencipta
siwalan itu;
Tuhanku,
Muhammadkanlah kerongkongku.
Puisikanlah hausku ini.”

Stasiun Gubeng; Ramadhan 1428 H

Tidak ada komentar: