Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Sekeping Pasundan; Serumpun Kisah Cinta

“Selamat Datang”, Leuwi Panjang menyambutku
dengan tantangan sejumput gerimis tipis.
“Maaf”, kataku, ”Aku lupa mencatat berapa kali
dua kaki ini mendekam disini”.
“Tak apa”, balasmu, “Terlalu sering, orang alpa
mengingat telah kemana mereka melangkah”

ingatanku membaca lagi lembarnya yang lusuh;
dulu disini ada pemuda durhaka tersebab cinta.
perahu tertangkup di gunung itulah buktinya.
“Benar”, suaramu menggema tiba-tiba.
“Hei, dilarang menguping”, sahutku, “Aku ingin
bicara dengan hatiku”.
“Ah, dasar penggumam”, cetusmu, “Peduli amat
dengan hatimu. Hati-hatilah dengan hatimu”.
“Kau harus tahu. Aku seperti ini
agar tak durhaka dengan hati sendiri”.

pernah jua, disini, seorang pemuda
menulis puisi cinta yang sungguh panjangnya
memuji elok dan permai nusantara.
2 hari berikutnya, pemuda itu, turut mengucap
3 butir sumpah beraroma menolak tua.
“Aduh sebenarnya kau ini siapa;
Pencinta, Penyair atau Pencatat Sejarah?”, tanyamu menggebu.
“Huh, bagiku tiap orang adalah penyair
hanya saja, kadang mereka malas membuat hatinya mengalir”.

tibatiba, semerbak Cinta Pitaloka mampir juga
di memoriku. Putri itu betapa teguh cintanya.
Jauh sebelum lahir:
berputih tulang itu lebih baik
daripada mata yang diputihkan
, Sang Putri
dengan bulat keyakinan memberi bukti.
“Sebenarnya sukumu apa?”, tanyamu dengan raut serius.
“Aku hanya searus tubuh yang ingin luruh
menyelami tiap kisah cinta
diseluruh kolam yang menganga”, jawabku lirih.

kini Jatinangor memelukku lagi.
Lalu manis sekali ia bertanya padaku:
“Kisah Cinta apa yang ingin kau dengar
dari harum tanahku ini?”
“Aku ingin mendengar kisah tentang Cinta
yang tetap turun kala lelap menyandera mata”.

Jatinangor; Oktober 2007

2 komentar:

MothyMaLynho mengatakan...

yayayayaya...

makin lama, makin berwarna
kadang ada warna om, akang, abang bahkan mbah.
salut..
tapi sampai kapan warna itu akan menjadi warna?
akankah akan ber-warna terus?
akh, bosanlah.
di tunggu warninya.
yang benar-benar warni.
-dhe-
warna yang indah.
warna baru muncul
dan mungkin tak membosankan.
mungkin?!

Yoko Cool mengatakan...

test