Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Selamat Hari Ibu

Sayang, selamat Hari Ibu. Engkau--tak peduli perempuan atau lelaki--kelak jadi Ibu. Sayang, ini saya kasih sedikit pengumuman tentang seorang ibu yang sedang duduk di tepi senja:

Dear allz,...

Saya baru dengar kabar soal NH Dini, salah satu novelis perempuan di era 70-an. saya pikir ini langkah bagus utk memulai CSR ala FPK.
Di usia senja, beliau kini tinggal di Wisma Langen Werdhasih, Ungaran (Rumah Lansia) dan sedang mengalami kesulitan dana untuk membiayai kesehatannya. Oleh karena itu, beliau hendak menjual lukisannya yang bergaya dekoratif Tionghoa seharga 3-7 juta.

Nah, jika ada yang berminat, silakan hubungi Ariany Isnamurti di 08179883592. Jika belum berminat, tolong bantu sebarkan informasi ini saja. T

Nomor telepon yang ada dibawah ini saya peroleh melalui email yg dikirim pada saya.

Cepat semnuh, bu ;-)

Terima kasih.

Catatan:
Saya mendapatkan pengumuman ini dari mailing-list Forum-Pembaca-Kompas. Tidak ada pengeditan sedikit pun juga, dikopi sesuai aslinya.

Seterusnya..

'Energi Mabuk' Musik Masa Kini

(dipublikasi di Lampung Post edisi Minggu, 30 November 2008)


TULISAN Susan S. di Lampung Post (16-11) membikin perasaan saya naik-turun. Bukan saja karena Susan menulis "Mungkin nadanya (maksud: suasana tulisan Susan) marah, kesal, dan gimana gitu." Namun disebabkan pula oleh "sesuatu" yang telah lama mengendap di hati. Maka, saya tergoda untuk balah soal "energi" yang ditawarkan belantika musik Indonesia masa kini.

Persoalan musik memang selalu bikin berisik sepanjang zaman. Dahulu, Bung Karno pernah melarang Koes Plus dengan alasan band tersebut menyebarkan energi asing (kebarat-baratan). Pendek kata, karya-karya Koes Plus tergolong lagu ngak ngik ngok yang kontrarevolusi.

Zaman Orde Baru, Betharia Sonata sempat juga mengelus dada saat lagu berjudul Hati Yang Luka dikecam pemerintah karena "melemahkan derajat kaum perempuan".

Kalau mau dirunut hingga masa sebelum Indonesia merdeka, kita juga akan beroleh fakta bahwa musik benar-benar bikin berisik. Lagu Indonesia Raya pernah menjadi momok menakutkan pemerintah kolonial Belanda. Lagu gubahan W.R. Supratman itu dilarang dikonsumsi publik karena penjajah Belanda takut semangat antikolonialisme menguat di khalayak.

Lagu, mau tidak mau, memang terikat dan terkait pada ruang dan waktu tempat ia digubah. Namun itu tidak mencerminkan "masa berlaku" lagu tersebut. Misal, pada abad XXI, kita masih senang menyanyikan lagu-lagu yang lahir di zaman revolusi fisik? Atau, kita juga masih asyik saja tatkala mendengar lagu-lagu gubahan Pance Pondaag dan Obbi Mesakh, bukan?

Lantas, apakah lagu-lagu yang menembus zaman dapat dikatakan sebagai karya "adiluhung"? Ah, terlalu sumpek rasanya membaca kata yang saya beri tanda kutip itu. Tapi, mari kita bahas saja biar fresh, gitu.

Musik juga merupakan refleksi kondisi batin masyarakat tempat ia bermukim. Wajar toh jika lagu-lagu yang diciptakan sekitar era revolusi fisik bernada persatuan, ketegaran seorang pejuang hingga keikhlasan seseorang yang ditinggal mati sosok tersayang.

Kalau tekanan dari struktur politik (baca; penguasa) pernah melabur sejarah musik Indonesia, itu hanyalah rangkaian proses yang memang sudah "seharusnya". Bukankah hambat-menghambat merupakan proses alamiah dalam tiap sistem pada tubuh masyarakat? Untuk soal larang-melarang ini, alasan bisa dipilih sesuai dengan kesukaan.

Lagu pun membentuk pola pengaruh-memengaruhi dengan masyarakat. Jadi, kondisi masyarakat merupakan lautan ide yang mahaluas untuk direguk orang-orang yang terlibat dalam sebuah lagu--penggubah lirik, penyanyi, dan pemain musik. Sebab itu, agak janggal kalau harus menyematkan istilah adiluhung untuk sebuah lagu di era teknologi canggih sekarang.

Istilah adiluhung dan massal mengemuka tatkala produk hasil kesenian dinikmati dua kelas berbeda: Kelas atas-terpelajar dan kelas bawah-tidak sekolah. Maaf saja, bagi saya, dua istilah itu jelas-jelas bersemangat "tidak memandang manusia sebagai manusia". Maka, istilah adiluhung dan massal tidak lagi relevan untuk membincangkan dunia musik masa kini.

Saya kok lebih sreg kalau memakai istilah populer. Lagu masa kini merupakan produk kebudayaan populer yang tujuan pembuatannya mencakup semua golongan. Dampaknya juga bermata dua; bisa mencerahkan atau membodohkan. Untuk urusan apresiasi, produk kebudayaan populer memang diserahkan secara individual.

Belantika musik Indonesia sekarang, dalam pandangan saya, bagai seorang pemabuk yang sedang sempoyongan. Ia terlalu banyak menenggak pelbagai jenis minuman beralkohol--mulai produksi luar negeri sampai home industry. Tidak hanya pikiran yang ke sana-sini, gerak badannya pun mondar-mandir; gak jelas sama sekali.

Ada penyanyi yang muncul dengan mengandalkan tubuh seksi semata dan suara pas-pasan. Ada yang gemar jingkrak-jingkrak di panggung sambil mengibarkan bendera Merah Putih. Ada pula yang sangat kemaruk; sudah jadi bintang iklan dan pemain sinetron masih juga ngotot mengejar status penyanyi.

Dari segi lirik--baik isi lagu maupun penggunaan bahasa--macam-macam pula. Ada yang menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan EYD. Banyak pula yang memakai gaya ucapan sehari-hari. Bahkan, ada yang bingung; lagunya menggunakan bahasa Inggris sekaligus bahasa Indonesia.

Kebudayaan populer dalam lagu masa kini menempatkan pesona polesan dan kekuatan modal sebagai dasarnya. Ada yang memoles pada liriknya, kehidupan para pemusiknya hingga aliran musik yang digeluti.

Kelompok musik macam Peterpan, Nidji, Dewa, Kangen Band, dan ST12 mampu memenuhi tiga unsur polesan di atas. Tentu saja, tidak kalah penting, mereka ditopang penyedia modal yang luar biasa kaya.

Maka, saya terus-terang bingung, sejak kemunculan Kangen Band, kenapa ramai-ramai mencerca mereka? Aha, tampaknya inilah proses alamiah hambat-menghambat itu.

Semua kelompok musik, bagi saya, sama saja. Lagu-lagu mereka pun sama lengkapnya; banyak yang cemen, tidak sedikit pula yang yahud. Tidak perlu rasanya meninggikan sebuah kelompok musik sambil merendahkan yang lain. Nyantai aja, toh mereka juga memiliki peluang yang sama: Meracuni atau mencerdaskan pikiran masyarakat. Keputusan menyukai atau membenci terletak pada apresiator (mereka yang kupingnya pernah mendengar lagu-lagu Indonesia masa kini).

Ambil contoh Kangen Band. Platinum berhasil diraih kelompok musik itu. Tapi pihak yang mengaku "kupingnya berdarah-darah" mendengar lagu-lagu mereka sama banyaknya dengan orang-orang yang sering mendendangkan lagunya.

Mudah saja, kalau tidak suka dengan lagu-lagu sebuah kelompok musik: Jangan didengar. Daripada koar-koar, malah kontraproduktif. Itulah konsekuensi kebudayaan populer. Seharusnya memang seperti itu kebudayaan populer. Khalayak memiliki kuasa penuh.

Sembari menyusun tulisan ini, saya mengirim pesan pendek via telepon seluler. Saya tanyakan pada beberapa orang: Coba beri dua kata yang terbersit di benak ketika mendengar Kangen Band.

Mereka yang saya kirim pesan itu ialah orang-orang yang punya kaitan dengan Lampung--yang masih berdomisili di sana atau sedang merantau di tanah seberang.

Hasilnya variatif. Dua jawaban paling kasar: Gua gak butuh dua kata, Den. Cukup satu aja: Norak dan kampungan banget! Ada juga yang menjawab begini: Kembali pulang atau "kerja keras".

Inilah sedikit bukti bahwa apresiasi terhadap satu kelompok musik memang bermacam adanya. Nilai positif dari sesuatu yang kita sangka buruk bisa saja muncul. Demikian pula, sisi negatif bisa saja melekat pada entitas yang kita anggap bagus.

Energi yang ditawarkan dunia musik Indonesia masa kini hanyalah "energi mabuk". Entah itu mabuk cinta, mabuk materi, mabuk tangisan, mabuk segalanya.

Namun, jentera musik Indonesia terus berjalan, bukan? Kreativitas tidak hanya harus dikembangkan oleh mereka yang terlibat aktif dalam dunia musik, tapi juga oleh orang-orang yang menjadi tujuan (baca; pasar) karya musik.

Kebudayaan populer memang memabukkan bagi mereka yang tidak hati-hati larut di dalamnya.

Seterusnya..


Penghargaan Bagi "Si Toekang Kritik"
(dimuat Harian Umum Pikiran Rakyat edisi 10 November 2008)
Khalayak awam setidaknya pernah membaca ada empat "Bung" dalam buku sejarah. Yakni, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tomo. Namun, agaknya sangat sedikit yang mengetahui bahwa nama yang disebut terakhir baru saja diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Antara (03/03/08) memberitakan, pada 28 Februari 2008 diselenggarakan bedah buku Bung Tomo Menggugat (terbitan Visi Media; Januari 2008). Kegiatan yang paling akhir tentu saja diadakannya pengumpulan sejuta tanda tangan untuk Bung Tomo. Sejumlah kegiatan itu tak sia-sia. Setelah menunggu waktu bertahun-tahun, akhirnya tokoh perjuangan ’45 tersebut diangkat menjadi Pahlawan Nasional sejak 7 November 2008. Polemik berkepanjangan soal pengangkatan Bung Tomo menjadi Pahlawan Nasional tuntas sudah.

Sebagai seorang tokoh, Bung Tomo memang bukan ’pribadi yang biasa’. Ia merasakan riuh-rendah gelombang pergolakan politik di Indonesia pada tiga zaman: awal Indonesia merdeka, Orde Lama, dan Orde Baru.

Ketokohan Bung Tomo selama ini hanya nampak pada era revolusi fisik, yakni ketika ia membakar semangat masyarakat Surabaya untuk melawan tentara Inggris. Ia merupakan salah seorang orator ulung yang lahir dari medan peperangan.

Tanpa menunggu perintah dari Jakarta, Bung Tomo berpidato dengan semangat berapi-api. "Saudara-saudara. Kita pemuda-pemuda rakyat Indonesia disuruh datang membawa senjata kita kepada Inggris dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah dan takluk kepada Inggris. Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia, ’Hai Inggris, selama banteng-banteng, pemuda-pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan menyerah.’ Teman-temanku seperjuangan, terutama pemuda-pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak."

Maka tak aneh jika pertempuran 10 November 1945 menjadi perang yang dahsyat. Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran tersebut. Inggris benar-benar—pinjam istilah dari Bung Karno—"dilinggis" saat itu. Penjajahan memang tak hanya melahirkan penderitaan, namun juga menumbuhkan perlawanan yang sulit dimatikan.

Seorang orator sejati tak akan pernah bisa diam. Tipikal manusia seperti ini selalu menggali alam bawah sadar masyarakat—mencakup kegelisahan, penderitaan dan ketimpangan—tempat ia bernapas. Inilah pula ciri kritikus andal, yakni orang-orang yang tak pernah merasa dalam kondisi mapan. Kritik diungkapkan demi berjalannya perbaikan dalam tubuh masyarakat.

Bung Tomo memang laik disebut sebagai orator sejati. Ketika ia menjadi menteri sekaligus anggota legislatif pada tahun 1950-an, Bung Tomo tak pernah diam. Ia mengritik—melalui surat dan artikel—dekadensi moral yang menggejala di kalangan pejabat kala itu. Nalar kritis Bung Tomo tak luntur walau ia merupakan ’kelompok dalam’ dari elit penguasa di awal Indonesia merdeka.

"Bung Karno, betapa saya tidak gelisah, mengingat bahwa kepala pemerintahan dewasa ini adalah penggali Pancasila, sedangkan rakyat jelata rata-rata belum merasakan kemanfaatan dan kemaslahatan Pancasila. Kedaulatan rakyat telah lama diinjak-injak oleh pembantu-pembantu Bapak Presiden yang terdekat pada masa lampau, keadaan sosial tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Pada saat rakyat jelata hidup menderita merana, orang-orang yang terdekat dengan Bapak Presiden menyusun mahligai kemewahan. Yang lebih seram lagi adalah istri-istri para penguasa tertinggi yang secara sendiri menguras kekayaan negara untuk memuaskan nafsu pribadinya, berfoya-foya di luar negeri, menimbun kekayaan di dalam negeri! Sedangkan para penguasa berbuat seolah-olah tidak tahu semuanya itu." Demikian petikan surat terbuka Bung Tomo yang ditujukan kepada Bung Karno.

Bung Tomo bukanlah sosok yang membuktikan tesis Emile Durkheim tentang kondisi pascaperang. Seusai perang, kata Durkheim, masyarakat justru mengalami gejolak yang kian berat, sekelompok individu mengalami stres karena tak bisa melakukan pekerjaan selain mengangkat senjata. Selain itu, solidaritas masyarakat kian menipis hingga bermunculan kelompok-kelompok di dalam tubuh masyarakat yang berebut kekuasaan. Bung Tomo menganggap bahwa rakyat harus dimuliakan melalui kerja para pemimpin. Perjuangan setelah perang ialah bersatu membangun masyarakat.

Ketika Soeharto dan gerbong Orde Baru-nya berkuasa di Indonesia, Bung Tomo pun belum mau berhenti melancarkan kritik. Ia menyesalkan kedekatan penguasa Cendana dengan sejumlah pengusaha yang, menurut dia, "membikin buyar harapan Orde Baru dan menggerogoti kewibawaan Presiden". Bung Tomo merekam kondisi rakyat yang melihat bersatunya penguasa dan pengusaha tersebut, "Secara diam-diam, rakyat mulai tidak senang pada kepemimpinan kawan kami Soeharto, tetapi tidak berani."

Maka tak aneh kalau Bung Tomo "Sang Toekang Kritik" pernah menjadi tahanan di Penjara Kramatjati antara 1978-1979. Seumur hidup negara ini, memang kritik seolah menjadi tabu. Padahal, kritik ialah unsur pembentuk terpenting dalam masyarakat yang sedang memperbaiki diri. Kritik menjadi penjaga perangai elite penguasa yang sering kali keluar dari jalur "mewujudkan kesejahteraan masyarakat". Selain itu, menurut C. Wright Mills, kritik adalah pembuka selubung tidak rasional dan kepercayaan pada simbol yang menggejala sepanjang tumbuh-kembang masyarakat.

Nyala api semangat Bung Tomo harus dijaga oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Kritik bukanlah sesuatu yang membunuh. Perdebatan justru menjadikan masyarakat tak pernah sepi dari inovasi dalam memperbaiki diri. Peningkatan kualitas pendidikan ialah kunci untuk mewujudkan masyarakat yang menganggap kritik sebagai dialog.

Dulu sesudah Bung Tomo mengakhiri pidato dengan teriakan, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!" rakyat maju ke medan laga melawan penjajah. Saat ini, sangat sayang kalau kita berteriak hanya untuk bertarung dengan saudara setanah air di jalanan. Kalau dulu Bung Tomo berteriak, "Semboyan kita tetap. Merdeka atau mati". Maka kini slogan bangsa Indonesia seharusnya ialah, dialog dan damai.***

Klik ini Saya mendengarkannya di warnet yang pasang musik pakai bahasa Inggris dengan bunyi keras sekali. Tapi saya dengarkan suara Bung Tomo itu tiga kali. Air mata saya jebol. Saya bukan romantis dan cengeng, tapi saya tak mau bohong kalau suara Bung Tomo merdu sekali. Ya Tuhan, limpahkan rahmat kepadanya...

Seterusnya..


Menangkap U(d)ang Dibalik Cinta

Saya selalu merasa terdapat permusuhan antara nenek-moyang kita dengan hewan udang. Jika tak percaya, coba tengok penggunaan kata udang pada peribahasa yang diwariskan oleh leluhur kita. Misalnya; udang dulu tangguk (dalam keadaan sangat gelisah) dan ada udang dibalik batu (memiliki maksud tersembunyi). Atau udang hendak mengatai ikan yang memiliki arti searah dengan udang tak tahu dibungkuknya, yaitu tak tahu aib yang ada pada diri sendiri.

Ditambah lagi dengan otak udang (bodoh) maka lengkaplah, kata udang senantiasa menempel pada peribahasa yang bermakna negatif. Padahal, hewan yang bernama-latin Crustacea itu sangatlah bergizi dan mahal harganya. Hampir tiap pulau di Indonesia memiliki daerah budidaya udang dalam tambak dengan orientasi pasar ekspor.

Seperti halnya udang, demikian pula cinta. Sama-sama kerap dimaknai secara keliru oleh masyarakat. Cinta sering dituduh sebagai faktor yang mengotak-udangkan seseorang. Sepintar apapun individu, kalau sudah terkena cinta maka pupus semua kejeniusannya. Hingga mau saja disuruh melakukan kegiatan yang dianggap ‘tak lumrah’ oleh publik.

Cinta pun tak jarang dijadikan perangkap oleh pihak tertentu untuk sekadar menangguk keuntungan. Lewat buku ini, Nurani memberi contoh dengan kerja aparat kapitalis yang mendengungkan cinta lewat iklan, lagu-lagu romantis dan film. Tentu saja, hal itu bertujuan untuk memompa aliran modal yang bersumber dari masyarakat dalam suatu proses konsumsi massal.

Saya jadi ingat penjualan nama cinta pada suatu iklan produk berlian yang berslogan “Say it with diamond”. Ini senilai-arti dengan ada udang dibalik batu; jika ingin mengatakan cinta maka harus membeli perhiasan yang mahal dahulu. Harga berlian yang tinggi tentu saja hanya menguntungkan pengusaha—masyarakat di sekitar daerah pertambangan batu mulia tak pernah ada yang sejahtera.

Nurani Soyomukti juga melihat adanya proses untuk menjadikan cinta sebagai barang ekslusif. Tayangan film dan sinteron yang memenuhi layar kaca setiap hari adalah medium dari kampanye eklusifitas cinta. Proses memaknai cinta tak lagi universal, tapi sebatas hubungan antar individu saja, misalnya pacaran dan pernikahan.

Cinta ialah hasrat sekaligus entitas yang selalu mengiringi peradaban manusia. Kita bisa melongok buktinya pada karya sastra macam Laila Majnun, Romeo and Juliet hingga Siti Nurbaya. Karya sastra sebagai produk masyarakat tak pernah menjadikan cinta hanya memiliki satu wajah. Romeo and Juliet misalnya, bukan mengisahkan hubungan dua kekasih yang gelap mata karena cinta. Namun kisah itu merupakan cita-cita pendongkelan terhadap sikap membedakan manusia berdasarkan status—miskin-kaya, hitam-putih, keluarga kerajaan-rakyat jelata.

Buku yang ditulis oleh Nurani ini melakukan pencarian makna cinta pada lorong filsafat Karl Marx, analisa seksualitas dari Sigmund Freud dan petuah-petuah Kahlil Gibran.
Hal menarik dari Karl Marx ialah bahwa filsuf yang sering dituduh sebagai bapak komunisme itu juga membincangkan cinta pada beberapa karyanya. Marx mendefinisikan cinta sebagai ungkapan manusia terhadap orang lain dan alam. Dalam masyarakat yang mengagungkan kepemilikan pribadi tidak terdapat cinta. Sebab masyarakat macam itu tak mampu mewujudkan keadilan ekonomi-politik dan pemerataan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup yang senilai dengan substansi cinta (hlm.32).

Cinta yang melulu menempel pada materi tak akan pernah mencapai kesejatian. Bahkan, justru cinta seperti itu yang membelenggu umat manusia. Hal demikian tengah berlangsung luas di masyarakat. Materi seolah menjadi tujuan seluruh hidup manusia.

Masa kini, lembaga percintaan sakral bernama pernikahan pun telah dirasuki oleh belenggu materi. “...Tak jarang mempelai merasa lebih aman setelah pasangannya membacakan janji-janji: hendak memberikan nafkah lahir dan batin...” ungkap Bonari Nabonenar dalam Pengantar buku ini (hlm.viii). Bahkan ada pula perjanjian pra-nikah yang pasti diisi oleh hal terkait materi (harta). Maka, cinta tak lagi dianggap sebagai pondasi dalam rumah tangga namun hanya salah satu elemen yang nilainya bisa jadi kurang begitu penting.

Manipulasi konon merupakan elemen penting di abad super-canggih ini. Selain seringkali dimanipulasi dalam bentuk materi, cinta kerap pula ditonjolkan untuk sekadar memenuhi libido manusia. Pemahaman ini bukan hanya menyeruak dalam bentuk sex for fun yang dilakukan oleh kaum berduit. Tapi juga muncul dalam bentuk penguasaan manusia terhadap alam (hlm.87-104). Kerusakan lingkungan yang luarbiasa di abad 21 merupakan wujud nyata nafsu manusia yang dijalankan tanpa kendali untuk meraup keuntungan dari alam. Alasannya tentu saja karena kecintaan manusia kepada materi yang sungguh berlebihan.

“Esensi cinta adalah kesadaran”, demikian ungkapan legendaris dari Marx. Oleh karena itu, bohong jika cinta dianggap mampu membuat kita buta. Cinta justru berfungsi membakar semangat diri untuk terus melakukan perubahan. Bahkan cinta pun menyediakan kekuatan tanpa batas bagi manusia dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Tentu saja, pemahaman cinta seperti itu akan muncul tatkala sikap kritis telah bersemayam dalam diri kita.

Sikap kritis akan membuat manusia terhindar dari segala bentuk manipulasi yang mengatasnamakan cinta. Sebagaimana peradaban manusia yang berproses tanpa henti, demikian pula cinta. Setiap zaman memiliki perbedaan tafsir cinta sebab manusia akan terus-menerus mencari Cinta Sejati seumur hidup bumi. Sikap kritis menjadikan kita siap untuk merevisi pandangan hidup—termasuk soal cinta—setiap saat.

Alhasil, buku ini mengajak kita untuk ‘menangkap udang dibalik cinta’. Sayang memang, penulis buku ini sudah berkata: “Tulisan ini tidak layak dibaca oleh orang yang tidak percaya cinta” (hlm.ix). Padahal, melihat kekayaan isi buku ini, seharusnya Nurani menulis: “Mereka yang ingin menjelajahi ceruk-lekuk cinta seharusnya membaca buku ini”.(*)

Seterusnya..

Catatan Terbuka Untuk Pidi Baiq

Tuan Pidi Baiq, semoga Tuhan memberkati kita semua. Awalnya, paska membaca buku Drunken Molen, saya ingin membuat tinjauan yang normal saja atas buku itu; sama seperti buku-buku lain yang pernah saya baca sebelumnya. Namun, buku setebal 212 halaman itu memberikan sejenis pemahaman baru kepada saya. Yaitu, tiap buku memiliki nafasnya sendiri hingga sesungguhnya tiap buku berhak mendapatkan gaya tinjauan sesuai isinya.


Kini, saya pun kian memahami bahwa buku layaknya manusia. Dunia buku sama majemuknya dengan bumi manusia. Bisa jadi, dua buah buku memiliki kesamaaan fisik—mulai dari jumlah halaman sampai tata perwajahan sampul—tetapi dua entitas itu berbeda. Bukan saja karena ditulis oleh dua orang yang tak sama, namun karena isi dua buah buku itu pun berbeda.


Dalam konteks dua buku karya Anda, Tuan Pidi, yaitu Drunken Monster (DAR! Mizan, Januari 2008) dan Drunken Molen; saya merasakan hawa yang benar-benar berbeda. Maka dari itu, tak wajar kiranya jikalau saya menuliskan tinjauan atas Drunken Molen dalam gaya yang sama seperti ketika saya meresensi Drunken Monster (dimuat Media Indonesia, 23/02/2008). Walau Anda sendiri—dalam paragraf pembuka Pengantar buku ini—mengatakan bahwa Drunken Molen adalah “Buku yang sama dengan Drunken Monster, kakaknya, karena masih berisi kumpulan catatan harian saya juga” (hal:17).


Drunken Molen, Tuan Pidi, sangat berbeda dengan Drunken Monster. Walau pembaca tetap saja akan dibuat ‘mabuk’ oleh cerita didalamnya. Sebab kreatifitas Anda seolah tak ada habisnya.


‘Anak rohani’ kedua yang Anda lahirkan ini kian memperkuat dugaan saya bahwa seorang Pidi Baiq berkarya dengan ‘semangat membobol kebakuan’. Pertama, tentu saja kebakuan berbahasa tulis. Para ahli bahasa sudah merumuskan bahwa bahasa memiliki perbedaan pada bentuk tulis dan ucap. Padahal, sebelum ditemukan tulisan, komunikasi manusia menggunakan suara yang bersumber dari mulut pemberian Tuhan. Cerita-cerita yang Anda tulis seolah ingin bertanya, haruskah ada pembedaan antara yang tertulis dan terucap?


Kedua, dalam sebuah cerita sastra, khalayak memahami bahwa harus tersedia tema, plot dan alur yang jelas. Namun, hal seperti itu tidak akan ditemukan dalam cerita besutan seorang Pidi Baiq. Anda, Tuan Pidi Baiq, seperti tengah melakukan penjebolan terhadap dinding sastra yang beku dan baku itu. Teknik bercerita tak sesuai pakem sastra inilah yang kiranya membuat Jaya Suprana berujar: “Gaya tulisan Pidi Baiq tergolong supersonik...Juga pilihan (atau mungkin tidak dipilih?) tema-tema tulisannya benar-benar lincah tak terbelenggu oleh apapun” (hal:15).

Kreatifitas seorang Pidi Baiq dalam menjalin cerita humor memang patut diacungi jempol. Tak ada satu pun cerita dalam Drunken Molen yang memiliki ‘kesamaan nada’ dengan kisah-kisah yang telah dibukukan dalam Drunken Monster. Hanya saja, renungan filosofis berbalut kisah lucu kiranya lebih banyak bertebaran di sekujur Drunken Molen.

Tuan Pidi Baiq, kalau hari ini rakyat Indonesia lebih karib dengan kata jebakan, saya merasa itu terjadi karena kinerja KPK. Ya, lembaga negara yang super body itu sering sekali menjebak pejabat pemerintah yang dikategorikan ‘busuk’. Cerita-cerita yang Anda tuliskan, Tuan Pidi, mungkin semacam antidot dari begitu negatifnya makna jebakan di masyarakat kita.

Jebakan tak harus bermakna negatif. Kegiatan ‘menjebak’ hanya akan membawa kita mengetahui sifat asali manusia. Jika manusia itu baik, maka saat dijebak pun tak akan terjadi apa-apa. Lain halnya jika manusia yang dijebak ialah tipikal “si manusia bersifat buruk”, maka ruang pengadilan akan menantinya. Jadi yang baik atau buruk adalah manusia, bukan jebakan.
Kreatifitas cerita-cerita Pidi Baiq, menurut saya, ialah kelincahan dan kejelian memproses suatu jebakan (jelek baik ditertawakan). Tapi jebakan itu tak berakhir dengan kerugian si manusia yang terjebak. Seperti yang Anda ceritakan di Tangga Studio Foto (hal:107-115) dan The Nazar (hal:177-185).

Tema ‘Jebakan’ ini benar-benar menuntun saya untuk memahami seluruh cerita Anda, Tuan Pidi. Sebab kata ‘jebakan’ itu juga bisa dipanjangkan menjadi ‘jelek baik diceritakan’, ‘jelek baik direnungkan’ atau apa saja; bebas seperti nafas yang menghembus dari tiap kisah karangan Anda.

Jebakan yang Anda buat dalam cerita-cerita itu pun bisa menjadi satu bangunan interaksi dengan pembaca. Maksudnya, Anda seperti selalu menjebak pembaca saat menikmati satu kisah dalam Drunken Molen. Pembaca seolah mengetahui bahwa yang berkata “Iya” dalam suatu dialog adalah Tuan Pidi sendiri tapi nyatanya tidak (hal:145-147).

Lebih jauh, jebakan yang paling hakiki dalam seluruh cerita Anda kepada pembaca yaitu kenyataan bahwa suatu kisah tidak akan bisa kita tebak bagian akhirnya. Jadi, Anda bagaikan memaksa pembaca untuk terus membuka mata dan mengeja kalimat yang sudah dirangkai tanpa rasa malas.

Soal kreatifitas ini, saya teringat pada kata-kata Nawal el Saadawi, sastrawan terkemuka dari Mesir. Baginya, kreatifitas ialah penyingkapan dan pengungkapan kembali tentang suatu hal dalam cara pandang baru. Melalui penulisan cerita dengan gaya tutur ini, Tuan Pidi telah membuka kembali tafsir-tafsir yang penting tentang suatu hal namun sering dipandang remeh oleh masyarakat kita.

Cerita-cerita karangan Pidi Baiq, wahai pembaca, akan membawa kita pada suatu ruang untuk memahami bahwa manusia harus berdaulat atas dirinya sendiri. Tapi bukan berarti manusia macam itu sah untuk menikmati hidupnya sendiri jauh dari orang lain. Manusia yang berdaulat itu justru harus membantu sesama agar mencapai kedaulatan yang sama dengan dirinya. Maka manusia harus berinteraksi, bermain dan saling membantu. Sebab Tuhan tak menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk di bumi ini. Terakhir, manusia tak boleh lupa bahwa canda dan tawa ialah bunga-bunga kehidupan.(*)


Versi lain tulisan ini ada di Ruang Baca Koran Tempo Edisi 31 Agustus 2008

Seterusnya..


Melongok Kedigdayaan Waktu Senggang

Pada akhirnya manusia yang menentukan
(Soekarno)

Waktu senggang saat ini identik dengan masa liburan. Momen yang dinanti sekaligus kerap ditolak oleh masyarakat modern. Waktu senggang memberi peluang bagi individu untuk bebas dari rutinitas kerja. Namun, pemaknaan waktu senggang juga bisa terlampau peyoratif sebab sering didekatkan pada sikap malas.


Buku yang ditulis oleh Fransiskus Simon ini membentangkan ceruk-lekuk kekuatan waktu senggang dalam memengaruhi, membangun dan mengkritisi kebudayaan masyarakat manusia. Umumnya, buku bergenre filsafat memiliki sifat—pinjam istilah dari Jody Pojoh—buku kubik. Maksudnya, buku yang cenderung tebal dan sulit dimengerti bahasannya—hingga terlampau ‘tinggi’ bagi pembaca awam. Kebudayaan dan Waktu Senggang ialah buku bergenre filsafat yang ‘ramah’—tebalnya cuma 134 halaman, untaian kalimatnya mudah dipahami dan isinya sungguh inspiratif.


Setiap usaha manusia untuk merumuskan kebudayaan pada akhirnya adalah representasi pluralitas dari masyarakat. Tiap ahli dari pelbagai bidang keilmuan—sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi dan sebagainya—memiliki rumusan sendiri. Oleh karena itu, Simon mengambil posisi sebagai pemeriah perbendaharaan ide dan usul yang memungkinkan suatu diskusi baru melalui buku ini. Dengan menghadirkan pemikiran strategi kebudayaan dari CA van Peursen yang diintegrasikan bersama analisa filosofis Josef Pieper tentang waktu senggang, buku ini merupakan sebuah kolase yang indah.


Manusia modern hidup dalam kepungan segala sesuatu yang banal, bersifat anti-ritual dan seremonial hingga memunculkan krisis eksistensial. Manusia modern tak lagi punya prioritas hidup, tanpa harapan dan tak berani menyelami makna terdalam. Sebabnya ialah kecenderungan untuk mengagungkan kerja yang membuat waktu senggang terbunuh. Manusia modern tak lagi memberi ruang bagi dirinya untuk berfilsafat melalui kontemplasi dan refleksi.


Padahal, waktu senggang memiliki ‘daya ledak’ yang luarbiasa bagi kebudayaan manusia. Masyarakat Yunani Kuno telah mengenal waktu senggang yang direpresentasikan oleh kata skole. Momen itu digunakan untuk berdiskusi tentang kebenaran, merefleksikan peristiwa kehidupan dan kegiatan kontemplatif lainnya yang mengandung spiritualitas. Bahkan, karya-karya besar filsuf Yunani Kuno dikerjakan saat waktu senggang (hal.60).


Dengan pemahaman kebudayaan sebagaimana pernah dirumuskan oleh van Peursen, yakni “kebudayaan dilihat sebagai kata kerja; proses manusia membuat, melakukan transaksi-transformasi dan berubah tanpa titik akhir”, Simon mengajak pembaca untuk melihat kekuatan waktu senggang. Jadi waktu senggang tak laik jika dimaknai dan diisi dengan kemalasan. Sebaliknya, waktu senggang ialah momen untuk menyusun ‘strategi’ agar hidup manusia tak tersedot ke dalam kebudayaan yang hanya merayu dan memuaskan nafsu tapi hampa makna.


Waktu senggang bukanlah sikap dan tindakan yang terjadi karena pengaruh kekuasaan atau tekanan dari luar. Jika waktu senggang tetap dimaknai sebagai pemberian dari manajemen, maka ia tetaplah bagian dari rutinitas kerja. Padahal, kerja bagi masyarakat modern telah masuk dalam pemahaman satu dimensi; ‘kerja untuk kerja’. Begitu meruah kehilangan yang dialami oleh manusia modern akibat pendewaan pada pekerjaan. Kesempatan untuk berbagi dengan sesama, merenungkan kehidupan sampai memenuhi kebutuhan spiritual telah tereliminir secara tragis oleh totalitas pekerjaan.


Waktu senggang seharusnya merupakan momen yang tumbuh secara alamiah; bagai kebutuhan manusia untuk makan. Ia hadir sebagai perayaan yang merupakan perpaduan dari ketentraman (transquility), kontemplasi (contemplation) dan kesungguhan hidup (intensity of life). Artinya, waktu senggang adalah kesempatan bagi manusia untuk masuk-meninjau-memperbaiki ke dalam diri sendiri dan lingkungan. Sayangnya, hari ini, waktu senggang lebih dianggap manusia sebagai momen untuk lari menuju jebakan-jebakan nafsu belaka. Hingga sikap konsumerisme, hedonisme dan festival hampa makna kian karib di sekitar kita terkait waktu senggang.


Manusia memiliki akal-pikir hingga mampu merenungkan-melaksanakan yang terbaik menurutnya dalam pusaran perubahan kebudayaan yang tanpa henti. Maka, manusia bisa menjadi sandera atau agen kebudayaan secara aktif. Waktu senggang memungkinkan berjalannya proses seleksi dan kritisisasi ketika melakukan transaksi-transformasi kultural dengan kebudayaan diluar lingkungan kita. Lebih dari itu, waktu senggang juga merupakan momen yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi kreatifitas dan imajinasi. Tentu saja, hal tersebut akan berlangsung jika waktu senggang dihidupkan dengan perilaku kontemplatif dan reflektif ke dalam dan ke luar diri manusia.


Sekilas, pemikiran Simon ini memang utopis. Namun, jika manusia memiliki kecenderungan untuk bersikap destruktif hingga terbangun kebudayaan nekrofilia. Maka ia pun berkesempatan untuk menghidupkan kebudayaan biofilia, yakni kebudayaan yang senantiasa bertujuan menjaga kelangsungan hidup manusia dan dunia. Itulah sebabnya, saya kutipkan pernyataan Bung Karno di awal tulisan ini.


Kekuatan waktu senggang dalam hubungannya dengan kebudayaan memang tak bisa diremehkan. Inilah solusi sekaligus tantangan bagi masyarakat modern dalam membangun-hidupkan kebudayaan. Konflik, penggunaan narkotika, kerusakan lingkungan sampai melunturnya spiritualitas yang menubuh pada masyarakat modern sangat mungkin disebabkan oleh kebudayaan yang dibangun tanpa kematangan strategi. Manusia modern yang cenderung workaholic telah meremehkan kekuatan waktu senggang.


Proyek masyarakat-manusia modern akhirnya adalah menanggulangi proses dehumanisasi menjadi rehumanisasi, perilaku konsumer menjadi penghematan-produktif dan—yang terpenting:—seleksi kebudayaan. Jalan untuk melakukan itu semua telah dilapangkan dengan apik oleh Fransiskus Simon dalam buku ini. Sayang memang, intelektual kita ini harus pulang ke rumah Tuhan saat berusia 23 tahun.(*)

Seterusnya..




Jalan Bapak

(dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Minggu, 20 Juli 2008)

Rokok ketujuh yang saya isap belum habis. Obrolan tetap hangat, tidak dingin seperti kopi yang ada di hadapan saya. Itulah nikmatnya melakukan ”ritual” cangkruk.

Berbincang dengan tema dan waktu tanpa batas di sebuah warung kopi adalah suatu kebiasaan yang tak mungkin lewat dalam keseharianku. Ya, ada yang bilang cangkruk hanya membuang waktu.Bahkan, seorang dosen mengatakan bahwa cangkruk itu hanya dilakukan mereka yang malas dan masih bermental budak. ”O iya...juga mereka yang hidup tanpa tujuan,” lanjut dosen itu dalam sebuah kelas pada masa awal saya kuliah.

”Apa yang salah dengan cangkruk?” pikirku bertahun-tahun setelahnya. Aku dan teman-teman menjadi konsumen warung kecil yang pemiliknya adalah kaum papa. Kami tidak cangkrukdi kafe-kafe atau di gerai kopi asal luar negeri. Ketika cangkruk pun, obrolan kami seputar berita-berita di televisi yang kerap diisi keganjilan ulah para pemimpin di negeri ini.Saya sendiri kerap menjadikan cangkruk sebagai wahana mendengarkan curhat seorang teman yang sedang bermasalah.

Cangkruk kami tidak biasa dan sangat jauh dari hura-hura. Ya, cangkruk yang bertahun-tahun saya nikmati adalah bukti bahwa masyarakat kita masih belum sepenuhnya individual.Masih ada wahana untuk berbagi kisah.Yang paling tak terlupakan, cangkruk merupakan ajang untuk berdebat,mengasah,dan menambah ilmu. ”Lewat cangkruk, ide-ide besar sering bermula,” kata seorang temanku suatu ketika. Bahkan, di era Pak Harto dulu,kata temanku lagi, para aktivis berbagi ide dan merancang gerakan dari warung kopi.

***

Tiba-tiba mata saya menjadi dingin. Perlahan,ada yang mengalir berangsur beku dalam hati.Padahal,obrolan saat itu sedang panas-panasnya.Rokok saya yang ketujuh sekejap lepas dari jepitan telunjuk dan jari tengah.Dari arah barat warung tempat saya cangkruk, sebuah gerobak datang. Saya membaca tulisan Mi Ayam berwarna kuning Golkar. Setelah memarkir gerobak itu,pendorongnya lalu masuk warung, melepaskan topi dan tersenyum ramah pada hadirin yang ada di sana.

”Ya ampun,penjual mi ayam itu lagi,” batin saya berdesir. Ya, saya sangat sering melihat penjual mi ayam yang satu ini.Namun,saya tak pernah membeli dagangannya. Saya kurang begitu suka mi.Tidak mengenyangkan. Penjual mi ayam itu beredar di sekitar Jalan Jawa. Saat siang, dia sering mangkal di samping Warnet Maxima. Kalau sedang ada duit agak banyak, saya ke Maxima siang hari.

Tiap itu pula, saya pasti melihat penjual mi ayam dan gerobaknya. Entahlah, tiap kali melihatnya seolah ada yang mengiris-iris hati dengan es batu yang tipis dan tajam.Maka itu, kadang saya memutar arah saat pulang dari kampus untuk tidak bertemu dengannya. Padahal, Jalan Jawa adalah penghubung yang sangat dekat antara tempat indekos dan kampus.

Siang itu,sang penjual mi ayam ada di hadapan saya. Ingin rasanya keluar warung.Tapi posisi badan tidak memungkinkan– saya diapit dua teman yang sedang asyik berbicara. Selain itu,tak nyaman rasanya jika keluar warung saat ada orang yang baru datang. Saya putuskan untuk bertahan sekitar 10 menit lagi.Namun,putusan saya itu tak mewujud sama sekali.

Mata saya menatap lekat–walau tetap saya usahakan agar tidak kentara–ke wajah penjual mi ayam itu. Bibirnya yang agak tebal berada di bawah kumis yang sangat rimbun, tetapi tidak tertata rapi.Kulit yang cokelat tua sisa bakaran matahari,menjadi alas bagi garis-garis wajah yang kian tampak karena keriput. Dan satu lagi, matanya.Mata itu tak merekah,tanda deraan lelah yang seolah tanpa henti.

Lengkap sudah.Penjual mi ayam itu mirip sekali dengan bapak saya.Hanya, tubuhnya tidak gemuk dan rambutnya belum putih seluruhnya. Sejak pertama bertemu dengannya, saya makin percaya dengan teori–yang tak jelas sumbernya– bahwa ada 10 orang di dunia ini yang memiliki kemiripan wajah.

***

Jalan hidup bapak adalah lereng bukit batu yang terjal. Saya ingat betul, ketika itu saya masih duduk di kelas enam SD. Mama meminta saya untuk berangkat ke Jakarta seorang diri. ”Bapak kamu sakit,”kata ibu kepadaku waktu itu.

Setelah gonta-ganti bus dan satu kali naik feri di penyeberangan Bakauheni–Merak, saya tiba di RSCM.Di tempat itulah bapak terbaring lemah setelah dua hari sebelumnya jatuh dari sepeda motor, sebab ojek yang ditumpanginya tak berdaya menampung beban dari tubuh bapak ketika hendak menyeberangi rel.

Tak bisa lekang dari ingatan, saat itu adalah masa di mana saya mengetahui dengan pasti kalau bapak memiliki istri bukan hanya mama. Bapak membangun keluarga pula bersama tiga perempuan. Untuk pertama kalinya, saya bertatap muka dengan beberapa anak bapak. Hati siapa yang tak remuk redam kala itu?

Saya–yang saat itu masih bocah berusia 12 tahun– hanya mampu berair mata dalam hati. ”Itulah sebabnya, saya tidak pernah bisa langsung memperlihatkan rapor setelah dibagikan wali kelas.Dan ...ini juga yang menyebabkan bapak hanya pulang ke Metro dua pekan sekali,” renung saya tak pecah di mulut.

***

Entahlah, sekitar tiga tahun dari kejadian di RSCM itu, saya sempat benci dengan bapak. Namun ketika menimbang ulang, rasa bangga kepada bapak malah muncul di hati saya. ”Walau bapak punya empat istri,semua anaknya tidak ada yang tidak lulus SMU”,kata salah satu anak bapak saat saya berkunjung ke Jakarta di masa SMU.

Ia juga mengakui bahwa anakanak bapak yang berada di Tangerang, Depok, dan Rawasari sering bertemu jikaadaacarakhusus.”KeluargaDepok tuh yang paling sombong. Mentangmentang anaknya ada yang kerja di Garuda,”cibirnya kemudian. Terus saja saya merenung.Kenapa saya harus membenci bapak? Saya tidak pernah satu kali pun melihat bapak memukul mama. Bahkan berkata dengan kalimat kasar pun tidak.

Satu hal lagi, sebelas ”saudara kandung” saya memiliki panggilan yang sama untuk lelaki itu: Bapak.Sementara untuk istri bapak, tiap anak memiliki panggilan beragam. Saya panggil Mama, keluarga di Tangerang panggil Mami, keluarga di Depok panggil Bunda, sedangkan keluarga Rawasari panggil Ibu.

Seluruh anak bapak mengetahui bahwa istri bapak ada empat.Bapak tidak seperti para lelaki yang hobi ‘menyimpan’ perempuan, hingga saat sudah bosan maka ditinggalkan.Apa alasan saya,akhirnya,membenci bapak? Ketika merantau jauh dari mama dan bapak, saya makin tersadarkan bahwa saya memang harus bangga dengan bapak. Saya sering membayangkan betapa sulit kehidupan bapak dengan empat istrinya.

Kesulitan itu tentu saja dalam hal membagi keadilan, sesuatu yang saya pahami hanyalah milik Tuhan.Namun,saya juga percaya bahwa manusia hanya mampu sebatas mengusahakannya terwujud. Bohong jika saya mengatakan bahwa bapak telah adil kepada istri dan anak-anaknya. Namun, saya juga tahu bahwa bapak selalu berusaha memberi keadilan kepada kami.

Saya mengetahui bahwa semua istri bapak adalah perempuan yang bekerja di luar rumah.Jadi,penghasilan tiap keluarga berasal dari suami dan istri.Walau tentu saja, penghasilan yang berasal dari suami tak dapat diberikan utuh kepada satu keluarga. Tetap saja ada yang mengkhawatirkan saya dengan kondisi bapak. Seorang teman pernah bercerita bahwa lelaki yang bapaknya memiliki istri banyak, biasanya akan turut pula seperti itu.

”Yahh...Buah pasti jatuh tak jauh dari pohonnya, toh?”, kesimpulannya saat itu. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa kenakalan anak muda selalu didominasi mereka yang berasal dari keluarga broken home, yang penyebabnya tentu identik dengan ‘kenakalan’ suami. Jalan bapak berbeda dengan kebanyakan lelaki yang memiliki banyak istri.Ada tanggung jawab yang dengan keras coba diperlihatkan pada anakanaknya. Keterbukaan dan kepedulian adalah ciri yang berusaha dibangun bapak di hadapan anak-anaknya.

Setelah peristiwa di RSCM itu, bapak pernah mengajak saya berbincang soal kondisi dirinya. Ya,waktu itu saya masih marah dengan kenyataan hingga omongan bapak hanya masuk kuping tanpa menyangkut di otak. Untungnya, saya mampu berpikir agak jernih.Itulah sebabnya saya tidak terjerumus ke barang terlarang sebagai pelepasan emosi. Kenapa harus memakai narkoba karena mengetahui bapak punya istri selain ibu kita? Kenyataan tak bisa diubah.

Tiada yang harus disesali.Lagi pula, bapaklah yang melakukan poligami, bukan saya.Namun, harus ada yang diperbaiki.Saya tidak mau mengikuti jalan bapak. Jalan terjal itu hanya bisa ditempuh bapak. Saya tidak membencinya.Hanya,saya sudah berpikir serius bahwa saya tak akan bisa memiliki istri lebih dari satu.

Bapak mampu menghadirkan contoh yang baik melalui sesuatu yang dipandang miring oleh orang lain. Dan jika ada tiga amalan dari seorang manusia yang tak akan putus walau telah meninggal, saya akan menyambung amalan bapak pada dua bentuk saja.

Dengan beristri satu, saya akan menumpahkan seluruh perhatian kepada anak yang lahir dari istri saya, satu hal yang tak bisa dilakukan bapak. Saya mendapatkan ilmu memberi perhatian pada anak dari bapak.Dan saya,pasti punya cukup banyak waktu untuk mendoakan bapak dan mama.

***

”Sudah muter ke mana aja, Pak?” akhirnya saya bertanya kepada penjual mi ayam itu. ”Ah,sekitar sini aja,Dik.”
”Wah,kayanya sudah laris,Pak”
”Ah,belum...”
”Rumah sampean di mana,Pak?”
”Ini,di Jalan Sumatera Gang tiga”
”Oh..deket sini ya, Pak. Anaknya berapa,Pak?”
”Tiga...”

Mulut penjual mi ayam itu terlihat akan mengeluarkan kata-kata lagi.Saya buru-buru bertanya kembali, ”Kalau istri ada berapa,Pak?””Apa,Dik? Hahaha...Ya cuma satu.”

Obrolan kami terus berpacu dengan silang suara orang lain di warung itu. Ia bercerita tentang kampung asal sampai kisahnya datang ke kota ini pertama kali. Saya akhirnya memesan mi yang ada di gerobaknya. Selepas kejadian siang itu, saya selalu makan mi ayam kalau dompet agak tebal. Saya melahap mi sambil menatap penjualnya.Membayangkan wajah bapak dan jalan berliku yang telah dipilihnya untuk menapaki kehidupan.(*)

Seterusnya..

Buku Baru

Seterusnya..

Pulang Perang

—Seharusnya kau tak perlu pulang. Lebih baik disana. Ada yang lebih patut kau kerjakan.
+Awalnya aku pun berpikiran demikian. Tapi, aku tak kuasa lagi untuk bertahan disana. Pulang ke kampung walau nyawa taruhannya, tak masalah.
—Tengoklah, kau sendiri sudah paham soal buah yang sangat mungkin kau petik dari ulahmu. Untung saja kau sudah disini mengobrol dengan saya. Cobalah, sesekali kau ini berpikir pakai otak. Jangan hati saja kau ikuti terus!
+Kau tetap saja seperti dulu. Sok ceramah tapi tak berisi! Kalau tak pakai otak, mana mungkin aku bisa sampai dengan utuh! Kau urus saja....
—Apa? Urus apa? Kamu yang dari dulu susah diurus! Semakin tua, semakin tumpul otakmu untuk mengingat pesan bapak. Jangan mundur sebelum terdengar perintah untuk menarik serdadu! Begitu ‘kan kata bapak?! Kau ini selalu saja pekak badak! Kau paham ‘kan kalau pulang itu sama dengan mundur!
+Kau ini bodoh atau apa? Disana aku tak berperang! Aku tak tahan dengan kondisi disana. Terlalu banyak yang dikorbankan. Mataku sendiri yang melihat banyak orang menjadi budak apa saja sampai mengorbankan orang lain bukanlah persoalan besar. Mulutku tak bisa bicara. Kupendam semua dalam hati. Kau tahu, kini hatiku pun menjadi korban, sakit sekali rasanya.
—Ah, selama kerugian tak menghampirimu, maka kau bukan korban. Tak salah, akhirnya, kalau kau terus bertahan disana. Jawablah, kau bisa mencangkul? Menanam dan mengurus padi sampai panen? Kau sudi berkubang di lumpur saat matahari sedang terik? Hanya itu yang bisa dikerjakan disini. Siap kau? Sudahlah kembali saja kesana, mumpung baru sehari kau disini. Kau bisa pakai alasan urusan keluarga yang mendesak agar bisa hidup disana lagi. Berjuang menggapai mimpi keluargamu.
+Aku bisa belajar untuk turun ke sawah lagi. Lebih baik bergumul dengan tanah, air dan wereng di sawah ketimbang bergulat dengan orang-orang tak berperasaan disana. Kalau kita baik kepada alam, balasan serupa kita peroleh. Tapi, manusia tak demikian. Mataku berulang kali melihat buktinya. Semakin kau baik kepada orang lain, alih-alih dapat kebaikan pula malah kau ditendang oleh orang itu.
—Ya sudah! Kau bisa tendang balik orang itu. Bahkan kalau perlu bikin dia jatuh sampai tak bisa bangun. Mengapa itu kau ributkan?! Selama kau masih pakai otak, orang yang sangat licik bisa kau cekik. Hidup memang begitu adanya. Siapapun yang kuat, jadilah ia juara. Tanah tak akan melawan saat kau cangkuli kemudian kau tanami padi. Tanah itu benda mati! Dan hidupmu tak akan lebih baik jika kau terus-menerus bergaul dengan benda mati!
+Jika tak kau ijinkan aku menggarap sawah lagi, baiklah. Aku bawa uang untuk modal usaha disini. Aku bisa buka warung atau....
—Haa?! Hahaha...Kau tahu, sejak kita kecil sampai sekarang hanya ada satu warung di kampung ini. Ya milik Pak Warso itu. Lihatlah, tak kunjung kaya dia. Uangmu akan terbuang percuma jika usaha di disini. Buka warung makan atau toko apa saja, siapa yang mau beli? Orang-orang lebih senang belanja ke kecamatan. Itu pun sehabis panen saja saat mereka agak tebal dompet.
+Aku hanya ingin hidup tenang. Makan cukup setiap hari. Bisa bekerja walau uang yang kudapat sedikit. Aku sudah senang hidup seperti itu. Aku yakin bisa menunaikan inginku di kampung ini.
—Aku paham sekarang. Ini bukan masalah kau hidup disana atau disini. Tapi caramu menjalani keseharian saja. Selama kau tak ikut kotor di tempat yang buruk, bisalah kau tenang hidup disana atau disini. Jalani saja tugasmu. Kenyangkan perutmu. Kirimkan uang untuk anak-istri di kampung. Masa kau tetap tak bahagia hidup macam itu? Sawah warisan bapak hanya cukup untuk menghidupi keluargaku saja. Kalau kau menggarapnya pula, itu sama saja menyulitkan aku dan keluargamu sendiri. Kita bisa makin kekurangan.
+Ya sudah, kau saja yang hidup disana menggantikan aku. Sepertinya otakmu pas dengan cara hidup orang-orang disana. Kesana saja, buktikan sendiri semua ucapanku. Kau terapkan saja sendiri seluruh pemikiranmu itu.
—Bukan begitu. Aku sudah cukup hidup di kampung ini. Mengapa pula aku harus hidup disana? Maksud semua omonganku tadi agar kau bertahan disana. Kau terlalu sering memikirkan hal sepele hingga kebahagiaan tak bertandang kepadamu. Aku yakin sebentar lagi kau kian mapan. Anak-istrimu bolehlah diajak ikut hidup disana. Kemudian sekolahkan anak-anakmu agar mereka tak bernasib seperti kita. Engkau yang diminta bapak untuk kerja disana. Aku hanya ditugaskan menggarap sawah milik bapak. Masa itu belum adil bagimu?
+Ah, pintar sekali kau menyilatkan lidahmu sendiri untuk menghalangi niatku hidup tenang di kampung ini. Kau dengar ini; aku sudah putuskan untuk....
“Mas, ongkosnya”. Lamunan itu pecah. Ia keluarkan dua lembar lima puluh ribu dan diberikan ke kondektur bis. Melanjutkan atau menghentikan perjalanan, hanya dia yang mengerti.(*)
Seputaran Gumuk Kerang/0508

Seterusnya..


Bukan Dongeng Dari Tiongkok

(dipublikasi di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 29 Juni 2008)

Berbicara Tiongkok, bagi kita yang awam, mungkin akan teringat pada film. Lumrah saja karena salah satu ‘suguhan asing’ di kancah perfilman negeri ini adalah film Tiongkok. Atau bisa jadi, pikiran kita akan melayang pada tragedi 1965 yang terjadi di Indonesia. Nama Republik Rakyat Cina sering dikaitkan dengan peristiwa itu. Namun, siapkanlah diri dengan pikiran terbuka saat membaca 76 catatan Dahlan Iskan mengenai Tiongkok dalam buku ini.

Dahlan Iskan, harus diakui, bukanlah sosok yang menjadi ‘pemerhati’ Tiongkok karena keberhasilan negara tersebut akhir-akhir ini. Hal itu terlihat pada sikap dia dalam menyikapi perjanjian normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok yang ditandatangani pada 1989. Peristiwa itu berlangsung di salah satu ruang hotel Imperial di Tokyo; disela-sela acara pemakaman Kaisar Hirohito.

Sejak saat itu saya merasa terdorong untuk ikut mengisi dan memberi warna agar perjanjian tersebut tidak menjadi sekedar perjanjian kosong”, tulis Dahlan.

Benar saja, bersama harian Jawa Pos yang dipimpinnya, Dahlan mulai menggelar acara kesenian dari Tiongkok. Aral yang menghadang bukan kepalang. Maklumlah, menggelar kesenian bernuansa Tionghoa pada era Orde Baru bisa menimbulkan persoalan pelik bagi penyelenggara.

Tapi, keberanian Jawa Pos Grup meng-umum-kan kesenian masyarakat Tionghoa—yang sebelumnya hanya boleh digelar khusus dalam klenteng—merupakan langkah untuk mewujudkan normalisasi hubungan dalam skala lebih luas, yaitu antar masyarakat, bukan sekadar negara.

‘Kisah cinta’ Dahlan Iskan dengan Tiongkok tidak berhenti begitu saja ketika roh reformasi mulai menyelubungi negeri ini. Saat barongsai sudah sangat umum ditengah masyarakat (bahkan lazim dipertontonkan oleh stasiun televisi), Dahlan Iskan tak lagi sekadar menjadi ‘pemerhati’. Namun, dia pelan-pelan ‘menjalankan laku’ untuk menjadi—yang saya sebut sebagai—‘ahli Tiongkok’. Dia, tampaknya, tahu betul bahwa rekonsialiasi dengan Tiongkok seharusnya tidak hanya dalam bidang kebudayaan, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan.

Pada 8 catatan yang mengawali buku ini, Dahlan Iskan menceritakan pengalaman belajar Putonghua di Jiang Xi Shi Fan Da Xue (Jiang Xi Normal University), Nanchang. Walau telah berusia setengah abad saat memulai belajar Putonghua (‘bahasa nasional’ Tiongkok), dia tidak menyerah. Rumitnya belajar bahasa tersebut—orang Tiongkok sendiri pun kesulitan—membuat Dahlan Iskan memaknai agak berbeda hadist nabi: “Tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina”.

Dia menafsirkan bukan saja terkait dengan jarak; ilmu harus direngkuh meskipun jauh. Namun, “Tuntulah ilmu meski sulitnya amat sangat—seperti belajar bahasa Mandarin itu!” (hal:27). Bagi saya, tafsiran itu menujukkan totalitas Dahlan untuk menjadi “ahli Tiongkok”.

Membaca buku ini, kita akan diperlihatkan sebuah pemandangan Tiongkok yang berhias pertumbuhan dan perkembangan. Dan itu bukan dongeng.

Dahlan sudah bolak-balik ke Tiongkok dalam sepuluh tahun terakhir ini. Mekarnya ekonomi Tiongkok dia amati dari sangat dekat. Dia sampai paham betul suasana jalan tol yang kian tahun makin bertambah panjang menjulur hingga ke desa-desa.

Pembangunan jalan tol dimulai pada 1988 untuk menghubungkan Kota Senyang dengan Dalian sepanjang 400 km. Pada 2003, jalan tol di Tiongkok mencapai 30.000 km (hal:84-85). Pembangunan jalan tol yang ‘gila-gilaan’ itu dilakukan agar pemerataan ekonomi bisa tercapai.

Maka, benarlah, sejumlah ‘kesaksian’ dituturkan Dahlan terkait ampuhnya jalan tol dalam menopang peningkatan ekonomi Tiongkok. Begitu banyak daerah yang awalnya adalah desa terpencil, kini telah menjadi sentra rupa-rupa industri.

Selain itu, terowongan di bawah laut dan jembatan yang melintasi birunya air laut dibuat pula untuk mempermudah hubungan dengan Hongkong, Taiwan dan Makau. Jalur transportasi yang mewujud itu bukan bermodalkan ‘simsalabim’ tapi lewat matangnya rencana dan usaha yang perlahan tapi pasti.

Ketika tuntas memereteli catatan jurnalistik Dahlan Iskan dalam buku ini, saya berkesimpulan bahwa mempelajari Tiongkok adalah bergumul dengan keunikan. Walau telah mempercantik diri dengan modernisasi disana-sini, masyarakat Tiongkok tidak serta-merta menanggalkan baju leluhur mereka.

Perayaan Imlek tetap menjadi perhelatan yang luarbiasa meriah di negeri itu. Bahkan, pengobatan tradisional pun dikaji dan dikembangkan sama seriusnya dengan teknik modern di fakultas kedokteran.

Kedua, menatap Tiongkok bagai melihat sesosok raksasa yang seolah tidur, namun kini tengah bergeliat bangun. Kalau dulu Tiongkok menutupi diri dengan bambu komunisme, kini bambu itu tetap ada, tapi sebatas identitas saja.

Deng Xiaoping yang mulai membuka tirai bambu penutup Tiongkok. Perekonomian perlahan bangkit setelah pusat memberi ‘kekuasaan’ pada pemerintah daerah untuk menata diri masing-masing. Deng Xiaoping kabarnya sering memuji kota yang mampu mengembangkan perekonomian hingga persaingan antar kota pun tak terelakkan.

Saat raksasa bernama Tiongkok itu mulai semakin tegak, pemerintah pusat gencar melakukan pemerataan ekonomi ke daerah yang masih tertinggal. Melihat pertumbuhan ekonomi yang terus naik selama 25 tahun terakhir, pemerataan ekonomi kiranya bukan hal yang sulit untuk ditangani.

Pada tahun 2020, ada yang memprediksi bahwa raksasa Tiongkok itu tidak hanya tegak berdiri namun juga mengembangkan tangannya dengan gagah (hal:52). Maka, wajar jika Amerika Serikat mulai sedikit ketar-ketir. Hingga mayoritas masyarakat Tiongkok percaya bahwa kerjaan AS di Timur Tengah saat ini adalah usaha untuk menghambat kemajuan Tiongkok dari sisi energi (hal:55).

Akhirnya, buku ini bagai makanan yang bisa dikunyah semua orang. Untuk penyuka jalan-jalan, Dahlan menuliskan cara sukses berwisata di Tiongkok. Para pebisnis bisa melongok peluang membuka usaha di negeri itu. Para penulis akan mendapatkan teknik menulis agar enak dibaca. Aparat pemerintah pun rasanya rugi kalau tak memamah buku setebal 268 ini karena kesejahteran masyarakat Tiongkok masa kini, seperti ditulis Dahlan Iskan, sekali lagi, bukan sebuah dongeng.(*)

Seterusnya..


‘Kisah Baru’ Sherlock Holmes dan ‘Kekuasaan’ Pengarang

(dipublikasi di Jurnal Nasional edisi Minggu, 15 Juni 2008)
Sir Arthur Conan Doyle (1859-1930) boleh saja telah tiada. Namun tokoh rekaannya, Sherlock Holmes, melegenda hingga kini. Detektif yang akrab dengan cangklong dan kaca pembesar serta beralamat di 221B Baker Street, London, itu tetap menjadi ikon penting di jagat buku-buku aliran misteri kriminal. Kisah Holmes ternyata masih bisa dikulik lagi hingga belum khatam dalam 56 cerita pendek dan 4 novel yang telah dibesut oleh Conan Doyle.

Tracy Mack dan Michael Citrin membangkitkan kembali petualangan Holmes dalam buku setebal 316 halaman ini. Sebagai sebuah karya lanjutan, nampaknya Mack dan Citrin paham bahwa mereka harus hadir dengan ‘sesuatu yang baru’. Tentu saja agar tak dikira hanya mendompleng sisi legendaris sang detektif—yang sejatinya telah divonis oleh Conan Doyle hanya hidup antara tahun 1881-1904.

Bagi yang menyukai Dr. John Watson—sosok yang setia mengiringi Holmes saat menyelidiki suatu kasus—agaknya harus kecewa sebab ia bukan salah satu tokoh utama kisah Holmes di buku ini. Watson dilengserkan dari perannya sebagai pencatat kiprah Holmes dalam jagat detektif kriminal. Ia sekadar teman serumah Holmes—sederajat dengan Mrs. Hudson si pengurus rumah dan Billy si penyampai pesan.

Adalah Laskar Jalanan Baker Street—saya singkat Lajabas—yang menggantikan peran Watson dalam membantu secara penuh Holmes ketika menyelidiki kasus. Mereka merupakan sekelompok anak berumur dibawah lima belas tahun yang dipertemukan oleh kesamaan nasib: miskin. Hidup mereka bergantung dari mengemis, mengamen dan pekerjaan jalanan lainnya. Geng rekaan ini pernah disebut oleh Conan Doyle pada dua cerita pendek dan dua novel sebagai pihak yang juga menjadi ‘telinga dan mata Holmes’ saat menunaikan tugas sebagai detektif.

Patut diingat kembali bahwa Conan Doyle memosisikan Watson sebagai pihak yang seolah menulis petualangan Holmes. Hal inilah yang memantik ide awal bagi Mack dan Citrin untuk membangkitkan lagi Sherlock Holmes. Watson ‘dituduh’ telah sengaja melupakan kerja Lajabas dalam membantu Holmes saat penyelidikan. Tertulis dibagian Pendahulan: “Nah, kita tidak pernah tahu apakah Watson bermaksud mengangkat nama Holmes sendirian (dan menyebabkan namanya sendiri ikut terangkat)”. Maka “Semua sejarah membutuhkan koreksi, dan inilah saatnya Laskar Jalanan Baker Street tampil ke permukaan” (hal:21).

Watson—dalam buku ini—selalu digambarkan sebagai sosok yang penuh kekagetan, sinis terhadap keberadaan Lajabas dan nalar detektifnya tidak tajam walau telah bertahun-tahun mendampingi Holmes. Sementara Lajabas merupakan kelompok yang selalu bersemangat membantu Holmes. Apalagi, Holmes begitu percaya kepada Wiggins yang merupakan pemimpin Lajabas. Ditambah lagi dengan sosok Ozzie yang sangat paham soal penarikan kesimpulan secara deduktif ala Holmes. Buku ini bagai langkah pasti Lajabas dalam melibas peran Watson sebagai pendamping Holmes.

‘Sesuatu yang baru’ sebagaimana ditawarkan Mack dan Citrin dalam buku ini, menurut saya, hanya terkait dengan ‘kekuasaan si pengarang’. Conan Doyle mengutamakan Watson dan buku ini memberi porsi lebih pada Lajabas. Sementara latar kisah buku ini tetap pada era Victoria di Inggris. Hal ini berpotensial menenggelamkan kesohoran Holmes terkait lekuk teknik yang digunakannya ketika menelusuri lorong misteri suatu kasus.

Dalam buku yang diniatkan sebagai seri perdana dari petualangan Holmes versi Mack dan Citrin ini terdapat dua kasus kriminal yang saling terkait. Sebuah buku—bernama The Stuart Chronicle—milik kerajaan Inggris yang berabad umurnya telah raib. Holmes dijemput oleh Pangeran Wales untuk meninjau lokasi hilangnya buku itu sebagai langkah awal investigasi. Beberapa hari kemudian, sebuah pertunjukan sirkus kehilangan salah satu bintangnya. Walenda Bersaudara yang mempertontonkan kebolehan mereka dalam atraksi meniti tali terjatuh hingga wafat di tempat.

Holmes masih tetap jeli dalam menghubungkan fakta dari dua kejadian tersebut. Namun, lembaran buku ini lebih banyak bercerita tentang langkah Lajabas dalam memenuhi perintah Holmes untuk ikut serta menangani kasus. Mereka tunggang-langgang mencari informasi soal Walenda Bersaudara di lokasi sirkus Grand Barboza. Usaha keras Lajabas akhirnya berbuah petunjuk penting bagi Holmes. Sosok Orlando Vile muncul sebagai pihak yang mengajak Walenda Bersaudara untuk menggunakan keahlian mereka dalam pencurian The Stuart Chronicle.

Sebagaimana standar kisah Holmes, dua kasus tersebut berhasil diungkap. Penyergapan yang dilakukan Holmes dan Lajabas di dermaga saat Vile hendak menjual buku curiannya kepada Prof. Moriarty adalah ‘pintu pembuka’ akhir kisah buku ini. Vile tertangkap, namun Moriarty lolos membawa buku tersebut. Kemudian Moriarty memberikan buku itu kepada jasa pendokumentasian yang ada di daerah Oxford untuk digandakan.

Lagi-lagi Lajabas menjadi ‘penolong’ Holmes dalam menemukan The Stuart Chronicle. Kantor jasa penggandaan dokumen itu merupakan tempat kerja Ozzie saat tidak berkumpul dengan Lajabas. Buku itu berhasil direbut Holmes setelah melewati pertarungan yang menegangkan di kantor tersebut. Saya hanya membayangkan, kalau saja Moriarty tidak memberikan buku itu ke tempat Ozzie bekerja, mungkin benda berlapis emas dan permata itu tetap raib. Mack dan Citrin masih ‘kurang halus’ meramu hubungan tiap adegan dalam kisah Holmes di buku ini jadi tidak memberi kejutan yang menghentak bagi pembaca.

Walau demikian, buku ini tetap laik dibaca sebagai tombo kangen pada petualangan Holmes. Hanya saja, ‘teknik kerja’ Holmes sekadar diketahui saat ia bercerita bukan ketika ia bergerak hingga kurang dari lekuk yang memukau. Maklumlah, sebab yang bekerja ialah Lajabas. Terakhir—ini yang paling saya sesali—berulang kali dituturkan bahwa kerja Lajabas hanya sebatas mengharap upah dan merasa bangga karena membantu The Famous Sherlock Holmes.(*)

Seterusnya..


Menjangkau Universalitas Islam Via Rap
(dipublikasi di Jurnal Nasional edisi Minggu, 8 Juni 2008)
Jika Prancis selama ini dikenal sebagai “jantung kebudayaan Eropa” maka buku ini menelisik sisi lain dari negeri tempat bermulanya revolusi sosial itu. Régis Fayette Mikano tak sekadar mendedahkan kisah hidupnya dalam buku setebal 240 halaman ini. Namun, ia pun bicara soal kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kriminalitas dan tentu saja spiritualitas.

Régis berangkat ke Prancis sebab ikut ayahnya yang mendapatkan beasiswa kuliah dari pemerintah Kongo. Apa lacur, sang ayah kemudian malah pergi dengan wanita lain beberapa tahun setelah mereka bermukim di Prancis. Ibu Régis harus membesarkan empat orang anak dan menanggung hutang sebesar 50 ribu franc. Ditambah lagi, mereka harus hidup dalam lingkungan imigran yang penuh dengan kekerasan di selatan kota Strasbourg.

Cité, begitulah sebutan untuk pemukiman yang dibangun oleh pemerintah Prancis bagi para imigran—kebanyakan dari Afrika. Régis bermukim di distrik Neuhof; sebuah distrik dengan jumlah imigran terbesar di Strasbourg. Ia pun tak kuasa menolak pengaruh berupa perilaku buruk yang lazim berlangsung di cité. Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, Régis telah mencuri jemuran atau permen di sebuah toko dan memalak uang dari anak kecil yang berkulit putih.


Namun Régis adalah anak yang cerdas hingga ia mendapatkan keringanan biaya untuk mengenyam pendidikan di salah satu sekolah menengah ternama di Strasbourg. Tapi, kehidupan buruk yang telah lekat padanya sejak kecil tak mampu dilepaskan dengan mudah. Perilaku kriminal Régis makin meningkat pada masa ini; ia mulai menjual ganja dan menjadi pencopet di pusat kota Strasbourg dengan sasaran para wisatawan.

Hal ini dilakukan Régis sebab ekonomi keluarga terbelit kemiskinan. Pemerintah Prancis memang memberikan subsidi kepada para imigran, hanya saja jumlahnya cukup kecil. Sementara itu, bantuan dari lembaga kemasyarakatan tidak bisa diandalkan untuk bertahan hidup secara permanen. Menjual ganja dan mencopet adalah langkah yang dipilih oleh Régis agar tak meminta uang jajan kepada ibunya.

Kriminalitas yang diperbuat Régis kian meningkat setara dengan prestasi yang diraihnya di sekolah. Ia menjalani semacam ‘kehidupan ganda’. Yaitu menjadi penjual ganja dan pencopet yang sukses menjalankan aksi-aksinya sedangkan pada sisi lain Régis selalu menjadi murid terpintar di tiap tingkatan sekolah.

Hari demi hari, peta kriminalitas di cité kian rumit karena peredaran narkotika jenis heroin. Perebutan daerah kekuasaan setiap hari terjadi di cité dan ‘perilaku jantan’—seperti berkelahi satu lawan satu—telah luntur. Cité kian suram karena himpitan kemiskinan dan maraknya ketergantungan pada heroin. Melihat hal ini Régis kian terombang-ambing. Nalar intelektual yang kuat telah menyelematkannya dari pengaruh heroin, ia tak pernah mencoba barang itu. Tapi, ia pun memendam rasa prihatin akan nasib mayoritas temannya yang telah adiktif pada heroin.

Kehidupan cité juga memperkenalkan Régis pada musik yang diciptakan oleh kaum kulit hitam. Ia sering mendengar lantunan jazz dan musik tradisional Afrika. Namun, musik rap yang diperkenalkan oleh sepupunya justru memikat hati Régis.

Rap masuk ke Prancis berbarengan dengan musik aliran hip-hop. Régis bukanlah tipikal individu yang mudah terasuki ‘sesuatu’. Ia menelusuri musik rap sampai ke akar. Hingga ia pun menyadari bahwa musik yang lahir di ghetto (wilayah kulit hitam di Amerika Serikat) itu mengusung perlawanan atas sikap diskriminatif yang dilancarkan kaum kulit putih. Hal ini bertolak-belakang dengan mayoritas kaum muda di Prancis yang menyukai musik rap dan hip-hop hanya untuk ‘sekadar gaya’ (ikut-ikutan).

Tak dinyana, pergulatan dengan musik rap membawa Régis pada perjumpaan dengan Islam. Hal ini terjadi saat ia membaca sejarah kelompok rap awal yang lahir di AS. Kelompok rap di Negeri Paman Sam itu rata-rata didirikan oleh orang kulit hitam yang memeluk agama Islam.

Ia makin menyadari bahwa Islam ialah agama yang telah dianut oleh mayoritas penghuni cité. Namun, karena modernitas berbalut kriminalitas telah menyelubungi cité yang miskin, Islam lebih identik dengan generasi tua berikut sejarah dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya (hal.71). Maka, cahaya Islam tidak terlalu menampakkan diri dalam cité.

Setelah memeluk agama Islam, Régis berubah total. Tak hanya dunia narkotika yang ditinggalkannya, namun ia pun berhenti menyanyikan rap. Ia rajin mendakwahkan Islam ke seantero Prancis bersama sebuah kelompok tarekat. Akhirnya Régis menyadari bahwa tarekat yang diikutinya telah menjadikan Islam sebagai agama yang ofensif dan isolatif. Hal ini membuat hatinya gundah. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa mayoritas pengikut tarekat tersebut memeluk Islam hanya sebagai pelarian dari kekecewaan yang mereka cecap dalam alam modern. Jadi bukan suatu sikap pasrah setelah melakukan pencarian secara benar.

Alhasil, hidup Régis kian karut-marut; terpontang-panting pada dualisme. Antara memenuhi kebutuhan duniawi dan ibadah kepada Tuhan, aturan halal dan haram sampai berhenti atau meneruskan bermain musik rap. Pada suatu masa, ia pernah menjalani tiga kegiatan sekaligus: bermain musik rap, berdakwah dan menjual narkotika.

Tipikal Régis yang selalu mencari makna hidup tanpa lelah membuatnya dekat dengan ajaran Sidi Hamzah al-Qadiri al-Boutchichi. Ulama yang hidup di Maroko tersebut telah membuka mata Régis tentang Islam yang humanis dan berlandaskan pada cinta kasih nan universal. Jalan hidup dipilih Régis; mendakwahkan ajaran Islam lewat lagu-lagu rap gubahannya. Bahkan, ia pun menjadikan karyanya sebagai medium untuk menyuarakan kondisi cité kepada masyarakat lain. Melalui rap, Régis ingin mengusahakan terciptanya dunia yang memandang seseorang tanpa sikap diskriminatif.

Régis Fayette Mikano—yang telah mengubah namanya menjadi Abd al Malik—merupakan sosok pencari makna kehidupan yang tangguh. Ia menolak terjebak dalam suatu lingkaran yang hanya ingin menggelapkan dunia.(*)

Seterusnya..


Merajut Dialog Tanpa Amarah


(dipublikasi di Harian Seputar Indonesia, Minggu 25 Mei 2008)


Kita mungkin tak menyadari bahwa marah merupakan perilaku yang searti dengan peribahasa “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Bahkan, bisa jadi kita tak mahfum bahwa marah laiknya sebuah wabah penyakit yang bisa menyebar dengan cepat. Setidaknya, itulah dua persoalan yang dikemukakan oleh Carl Semmelroth dalam lembar-lembar awal buku ini.


Marah akan terjadi manakala perilaku orang lain tak sesuai dengan harapan kita. Awalnya, mungkin sekadar meluap dalam bentuk ucapan. Namun lambat-laun kemarahan kita akan mewujud melalui tindakan dengan alasan ‘memberi pelajaran’. Semmelroth mengatakan bahwa kemarahan—sejak pertama kali muncul dalam rasio kita—kepada orang lain memang bertujuan pada tindakan. Marah yang direfleksikan dalam bentuk selain tindakan bagai ‘tabungan’ untuk kemarahan yang lebih besar.


Buku ini sejatinya hanya membahas hubungan orangtua dan anak dalam keluarga. Semmelroth melihat bahwa perilaku marah akan diperkenalkan kepada individu pertama kali oleh anggota keluarga. Hal ini senada dengan analisa Emile Durkheim, yaitu keluarga merupakan media sosialisasi perdana bagi individu. Saat seorang anak sering dimarahi oleh orangtua, sesungguhnya si anak sedang ditularkan ‘penyakit akut’ yang akan membuatnya mudah marah kepada orang lain.


Keluarga memegang peran penting dalam membentuk anggota masyarakat yang sabar dan menjunjung tinggi jalur nir-kekerasan. Oleh karena itu, buku ini juga membawa pesan sosial yang lebih luas cakupannya.


Semmelroth menekankan perlunya pembiasaan diri bagi individu—yang dimulai dari keluarga—untuk melakukan konsensus secara bersama. Hal ini penting untuk menghindari kemarahan orangtua kepada anak. Aturan dalam keluarga haruslah dibentuk dengan jalan urun-rembug antara orangtua dan anak pada ‘satu meja’. Keluhan dan keinginan tiap pihak bisa diutarakan secara bebas dalam momen tersebut.


Lebih jauh, konsensus yang bersemangat egaliter dilakukan agar terbentuk interaksi yang harmonis. Keluarga seharusnya mengajarkan bahwa orangtua bukanlah penguasa bagi anak-anaknya. Interaksi nan egaliter dan terbuka niscaya memberi pengetahuan kepada anak-anak bahwa orangtua pun bisa salah. Kemudian, orangtua bisa memberi contoh kepada anak-anaknya dalam menghadapi kesalahan secara ‘ksatria’.


Orangtua yang pemarah akan membangun kesan ‘angker’ bagi anak-anaknya. Hingga komunikasi antara keduanya bisa terputus. Anak-anak pun tak nyaman dan mudah terjerumus ke dalam perilaku negatif di luar rumah.


Buku ini dilengkapi dengan halaman-halaman yang bisa kita tuliskan untuk mengukur perilaku kemarahan. Semmelroth benar-benar membuat buku terapi dimana pembaca adalah seorang terapis sekaligus pasien. Kemarahan hanya bisa dikurangi bahkan dihilangkan oleh individu yang secara sungguh-sungguh menjauhi perilaku negatif itu.


Semmelroth juga mengungkapkan bahwa ada pula marah yang bermuatan positif. Yaitu ketika seorang anak tidak mematuhi aturan yang dibuat bersama orangtua. Dalam buku ini, Semmelroth mengajari kita teknik memarahi anak yang tidak melukai jiwa dan raga. Malah, menurut saya, tips unik dari Semmelroth tersebut bisa membuat si anak tidak sadar jika sedang dimarahi. Sebuah langkah untuk marah yang menggelitik dan mendidik.


Melalui buku ini, Semmelroth seolah ingin menegaskan bahwa tiap manusia memiliki aura positif yang sebanding dengan aura negatif. Kemarahan yang terlampau sering diterima oleh individu hanya akan membangkitkan aura negatif dan membunuh aura positif dalam dirinya. Lebih jauh, saya melihat bahwa Semmleroth ingin menghadirkan kembali fungsi-fungsi utama dalam keluarga yang saat ini mulai meluntur sebagai akibat dari ‘sapuan badai modernisme’.


Jamak paham, kini orangtua juga sibuk diluar rumah karena harus memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun, tak selaiknya masalah pelik dalam pekerjaan dibawa orangtua saat berinteraksi dengan anak hingga marah seringkali menyeruak. Melalui buku ini pula, kita diperlihatkan cara menjadikan rumah sebagai wahana yang menyenangkan bagi orangtua dan anak.***

Seterusnya..

Dibalik Kasus Ibu Bunuh Lima Anaknya
[dipublikasi di Kolom Bedah Pustaka Harian Media Indonesia edisi Sabtu, 19 April 2008]

Siapa yang tak terenyuh saat diberitakan adanya pembunuhan anak oleh ibu kandung? Referensi pengetahuan kita yang bermuasal dari dongeng—misal kisah Malin Kundang—hanya menceritakan seorang ibu yang mengutuk anaknya. Itu pun karena si anak telah mendurhakai sang ibu. Maka, wajar jika Prof. Sartono Mukadis menulis pada bagian Pengantar buku ini (hal.16): “Rasanya kalau ada penulis datang menawarkan skenario mirip kasus Andrea Yates—tentu sebelum kasus ini terungkap—hampir pasti akan ditolak produser paling kaya sekalipun. Terlalu berlebihan...”

Buku ini adalah fakta dari kisah Andrea Yates yang membunuh kelima anaknya pada 20 Juni 2001 dalam waktu tak lebih dari satu jam. Kasus ini sempat menghebohkan seluruh pelosok Amerika Serikat. Suzanne O’Malley mendedahkan cerita seputar kasus Andrea dengan alur yang tidak monoton dan kalimat nun memikat dalam buku bertebal 432 halaman ini.

Banyak pihak, awalnya, menduga bahwa salah satu pendorong Andrea ‘menginterupsi’ hak hidup kelima buah hatinya—yang tertua berusia 7 tahun dan paling kecil baru genap 6 bulan—adalah penyakit kejiwaan (psikosis) bernama post-partum depression. Psikosis macam ini lazim diderita ibu yang baru melahirkan anaknya. Sejak tahun 400 SM, Hippocrates telah menyatakan bahwa kasus kriminal karena dorongan post-partum depression tak laik diberi hukuman oleh pengadilan (hal.414).

Namun, persoalan pelik membelit kasus Andrea. Galibnya, seorang ibu yang membunuh anak karena alasan post-partum depression akan mengungkapkan penyesalan yang mendalam sebab saat peristiwa berlangsung ia dalam keadaan tak sadar. Andrea justru mengakui secara sadar bahwa tindakannya adalah suatu kebenaran namun salah di mata hukum. Hal ini yang menjadikan Kejaksaan Harris County di Texas berkeyakinan bahwa Andrea tidak gila. Hingga laiklah digelar sebuah sidang untuk menentukan vonis bagi Andrea. Drama persidangan Andrea adalah kisah tentang pembelaan bagi ‘ketaksadaran’ dan tuntutan atas ‘kesadaran’ Andrea.

Persidangan kasus Andrea Yates dimulai pada 18 Februari 2002—bersamaan dengan keluarnya maklumat keras dari George W Bush untuk memerangi ‘Poros Setan’ (hal.223). Perlu diketahui, kasus Andrea disebut banyak pihak sebagai salah satu tragedi sosial terbesar yang terjadi di Amerika Serikat pada awal abad XXI. Peristiwa ‘penyerangan Menara Kembar WTC dan Pentagon’ pada 11/09/2001 sempat membuat proses penyidikan kasus Andrea tertunda (hal:190). Vonis hukuman mati adalah mosi yang diajukan Kejaksaan Harris County kepada Andrea. Sebelumnya, pada 30 Juli 2001, tim pengacara Andrea menyatakan pembelaan atas dasar kegilaan.

Judul asli buku ini: The Unspeakable Crime of Andrea Yates: “Are You There Alone?” sangatlah cocok menggambarkan isinya. Yakni cerita dari pelbagai sisi nan tak terlacak oleh banyak pihak terkait kasus Andrea. O’Malley telah menggumpalkan hasil investigasinya ke dalam sebuah kalimat “Are You There Alone?”. Kalimat tanya itu menunjukkan bahwa ada keluasan bahasan—bukan sekadar kasus psikologi—yang terkandung dalam analisa O’Malley.

Bahkan, penggunaan kalimat tanya itu bagai menunjukkan bahwa O’Malley secara radikal tidak percaya kalau Andrea melakukan pembunuhan itu 'seorang diri'. Inilah keunikan laporan investigasi yang dituliskan dengan kaidah jurnalisme sastrawi. Kandungan data dan fakta jelas menopang isi cerita, namun sisi estetika sastra turut menampakkan diri. Penerjemah buku ini, sangat disayangkan, telah mengubah ‘umbul orisinil’ buku ini menjadi sangat formal-akademis—bagai judul tugas akhir seorang mahasiswa fakultas psikologi. Walau harus diakui pula bahwa secara keseluruhan kualitas terjemahan isi buku ini sangatlah baik.

Andrea memang tak 'sendiri' melakukan pembunuhan itu. O’Malley menelisik sejarah kehidupan Andrea melalui wawancara dengan seratus orang lebih yang dibagi kedalam 20 area investigasi (hal.21-22). Catatan kehidupan Andrea merupakan kisah seorang penderita psikosis akut yang mudah berhalusinasi. Ia kurang mendapatkan perhatian—terutama pujian usai menyelesaikan suatu kegiatan—dari orangtua. Andrea tumbuh menjadi perempuan yang diduga kuat menderita skizofrenia.

17 Juni 1999 ialah awal malapetaka bagi kejiwaan Andrea ketika ia mencoba bunuh diri dengan menenggak lebih dari 40 butir Trazodone 50 miligram—obat penenang dosis tinggi. Ketika itu, Luke—anak ketiga Andrea—baru berusia 4 bulan (hal:77-78). Ia melakukan percobaan bunuh diri lagi pada 20 Juli 1999. Pendorongnya ialah keinginan untuk lepas dari penderitaan.
Andrea kemudian menjalani rehabilitasi mental dengan sejumlah psikiater berbeda yang selalu meresepkan beragam obat untuk kesembuhannya. Kondisi kejiwaan Andrea yang mudah berhalusinasi kian diperumit oleh isi khotbah dari Michael Woroniecki.

Penebusan manusia kepada Tuhan agar kelak di akherat mendapatkan surga adalah inti doktrin Woroniecki. Namun, “doktrin Woroniecki kacau-balau. Entah itu bagi pengamat awam maupun bagi orang-orang yang berusaha mengikuti Woroniecki selama bertahun-tahun”. Lebih jauh, “Walaupun tebusan diberikan kepada seluruh umat manusia sepanjang masa, jumlah orang yang selamat sepertinya hanya ada delapan orang: Woroniecki beserta istri dan anak-anaknya” (hal:181). Woroniecki sempat dikecam sebagai pihak yang menyebabkan kasus Andrea terjadi. Hanya saja, ia mengelak dengan mengatakan bahwa ia hanyalah penyampai pesan Tuhan dan keluarga Yates salah menginterpretasikannya.

Dengan menenggelamkan kelima anaknya sampai tak bernyawa ke dalam bath-up, Andrea berharap mereka tak tercemar dosa dunia hingga pasti masuk surga. Pengacara Andrea mengatakan ini adalah bagian dari halusinasi Andrea. Sementara Penuntut Umum berkeyakinan hal tersebut merupakan pembunuhan tingkat tinggi. O’Malley juga merekam terbelahnya opini publik AS dengan menyertakan pemberitaan media soal kasus Andrea dalam buku ini.

Melalui persidangan yang dramatis, Andrea akhirnya hanya dihukum penjara seumur hidup. Kematian tetaplah tragedi, namun yang terpenting adalah mengetahui sebab kematian itu terjadi. Buku yang ditulis O’Malley ini (dan kasus Andrea itu sendiri) mampu memancangkan pelbagai perubahan di AS, terutama pada ranah hukum, ilmu psikologi dan hak-hak kaum ibu.(*)

Seterusnya..

Sebuah Foto-Berita ...

Fotonya:

Dan beritanya:

Tujuh Penumpang. Model menunjukkan mobil Chevrolet Captiva Diesel 2.0L-VCDi saat peluncurannya, di Jakarta, Rabu (17/4). Kendaraan berkapasitas tujuh orang dan berbahan bakar diesel ini diluncurkan PT.General Motors Autoworld Indonesia dengan harga Rp289.500.000 untuk wilayah DKI Jakarta.
Fotografer: WIENDA PARWITASARI




Dari saya...
Tentu saja, saya bukan fotografer atau ahli terkait foto--apapun namanya itu. Saya cuma sedang jalan-jalan di dunia maya saja. Lantas bertemu dengan foto diatas. Lihatlah, betapa sebuah tulisan dan gambar bisa bertemu dengan dampak tafsir tertentu. Perhatikanlah dengan seksama dan sangat teliti. Adakah yang aneh dengan foto diatas--tentu saja setelah dikaitkan dengan beritanya? Simaklah dengan sangat dalam. Buatlah kesimpulan menurut pengalaman Anda dalam mencampur info dari gambar dan tulisan. Kemudian, mungkin, kesimpulan tafsir kita atas foto-berita itu bisa ketemu--entah dimana.


Catatan: Percayalah, foto dan tulisan diatas saya kutip utuh. Tak ada pemotongan atau gubahan sedikit pun dengan aslinya. Sebab saya bukan editor.

Seterusnya..

Sebuah Cerita Tentang...

[Entah dari siapa saya dengar cerita ini. Saya telah berusaha keras untuk mengingat sumbernya. Tapi nihil hasilnya. Jangan-jangan cerita ini bermuasal dari hati saya sendiri?]

Syahdan...
Seorang turis bernama Kuciumi Matamu berkunjung ke Indonesia. Ia melawat ke sebuah daerah. Ditemani seorang pemandu yang sangat licik, ia berkeliling di daerah itu. Pemandu itu licik? Ya, sebab namanya Licik Niandikau. Ia hanya mengajak si turis berkeliling ke tempat-tempat yang mudah dijangkau dan banyak makanan. Licik Niandikau selalu berkata bahwa tempat yang mereka kunjungi adalah tempat wisata yang mashyur di daerah tersebut, walau mereka hanya bertandang ke sebuah sawah. Sebab Kuciumi bukanlah penduduk asli daerah tersebut, maka percaya sajalah dia (seperti percayanya pembaca kisah ini kepada saya).

Maka ketika mereka rehat di sebuah rumah makan, Kuciumi sedang melihat-lihat brosur perjalanan wisata.
"Oooo...Ini nama apakah ini?", tanya Kuciumi sambil menunjuk kata 'Rafflesia Arnoldi' yang tertera di brousr.
"Ohhh...itu nama bunga langka, Nona Kuciumi", sahut Licik sambil menyeka makanan yang masih ada di sekitar mulutnya.
"Aaaa...saya mau lihat itu bunga. Gimana bisa caranya?"
"Wahhh, gampang saja...Usai makan ini, saya ajak Nona kesana", Licik menjawab setelah bersendawa dan menyeruput es alpukat. Ia telah kenyang bukan kepalang.
"Dari namanya saja sudah indah sekali. Pasti demikian bentuknya. Juga sangat harum ya?"
"Oh, iya tentu saja. Nanti Nona Kuciumi lihat sendiri. Bunga yang luar biasa"

Lalu mereka sampai jua di lokasi penangkaran bunga Rafflesia Arnoldi. Jarak antara rumah makan ke tempat itu, sebenarnya dekat saja. Tetapi Licik melewati jalan yang tak seharusnya. Ia berputar agar sampai disana satu jam setelah pergi dari rumah makan.
"Ohhh...Licik bau apa ini? Mana bunga yang harum dan langka itu?", Kuciumi berkata sambil menutup hidung.
"Wah, Nona...kita telah salah ambil waktu untuk melihat bunga itu", ucap Licik "Sekarang, bunga itu sedang sensitif. Jadi menyemprotkan bau tak sedap ini. Kapan-kapan kita kesini lagi. Yang penting, Nona Kuciumi pernah ke tempat bunga Rafflesia Arnoldi."

Akhirnya...
Janganlah kamu, wahai manusia, menjadi makhluk yang mudah terpesona hanya karena nama.

PS: Buat warga negara yang sedang sibuk oleh Pemilihan Gubernur di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan lainnya di seluruh kepulauan Nusantara.
"Memilih atau Tidak Memilih saat Pemilu tak pernah bisa dijadikan ukuran nasionalisme"

Seterusnya..

Kotakarjaket
“Setiap orang harus pergi agar mengerti arti pulang”. Aku ucapkan kembali larik dari salah satu puisi milik Isbedy Stiawan ZS saat kita sedang melewati jalan yang sepi. Seolah jalan itu tidur tadi malam. Ada kesegaran yang baru menggeliat bangkit di situ.
“Kamu ngomong apa tadi?”, tanyamu sambil memperlahankan laju sepeda motor.
“Ah, gak apa-apa. Cuma sedikit nyanyi aja, biar gak dingin.”
“Pasti puisi itu lagi. Ya, kita memang harus pergi. Tak baik berlama-lama disini.”
“Ya, mungkin saja. Tapi yakinlah, kepergian juga membuat kita kedatangan rindu.”

Aku sudah di dalam kendaraan besar yang berlari kencang saat pesan pendekmu masuk ke ponsel.
“Hati-hati di jalan. Ingat titipanku: Jaket!”
“Terimakasih tadi sudah mengantarku. Disebelahku ada gadis berjaket. Mau aku mintakan jaketnya untukmu?”, kuketik kata-kata itu dan segera kukirim kepadamu. Tidak kau balas. Padahal aku masih bertanya-tanya, jaket seperti apa yang kau idam-idamkan? Pembicaraan kita pada malam kemarin tak menuntaskan soal itu. “Pokoknya jaket yang nyaman, jangan terlalu tebal. Terserah warna apa.”, ucapmu saat itu. Adakah kenyamanan tiap orang sama? Atau seragamkah pemahaman per kepala tentang tebal dan tipis?
***
Aku tiba di kota yang menabukan keterkejutan, Takarja. Pongky menjemputku.
“Tadi baca tulisan di pintu terminal?”, ia bertanya sambil tetap konsentrasi pada kemudi mobil.
Mataku yang lekat melihat ramai jalanan segera menoleh kepadanya,
“Ora...Ada tulisan apa?”
“Selamat Datang Di Takarja. Jangan Gampang Kaget”, jawab Pongky kemudian tertawa. Bagiku, ia tetaplah pandai berpesan.

Berapa banyak orang yang telah mengutuk kota ini? Aku tak tahu. Kau pernah bersumpah tak akan sudi hidup di Takarja. Aku pun demikian. Seluruh suara seolah saling berebut minta didengar di sini. Kau dan aku sama tak menyukai kehidupan yang senantiasa hingar-bingar. Tapi kini, jalanan Takarja bagai membalikkan anggapan kita tentang kota ini menjadi sekadar tuduhan yang tak berbukti.

Jalanan yang kulewati bersama mobil Pongky seperti tak pernah lelah mengalirkan orang-orang dan benda mati yang nampak hidup. Suara-suara yang menghentak itu terasa nyaman bagi mereka. Aku coba menyelaminya; kalau ada kelelahan di kota ini, maka itu adalah milik seluruh manusia di jalanan Takarja yang pernah mampir di mataku. Tapi, toh mereka mampu menutupinya. Mereka seperti sudah lama berdamai dengan Takarja yang melelahkan. Baiklah, mungkin lebih tepatnya, mereka dipaksa untuk menerima kondisi Takarja. Dan mereka menikmati paksaan itu.
***
Radi telah keluar kamar sejak pukul empat, ketika aku mulai beranjak tidur karena semalam suntuk bincang dengannya. Tetap bertubuh ceking, Radi masih nampak seperti dulu; tak pernah lelah.
“Tidur dulu lah, Rad. Masa sih sudah mau kerja. Awakmu ora kesel tah?”, tanyaku saat Radi selesai mandi.
“Nang kene, sing ora kuwat, yo monggo minggir wae”
Pongky pun bekerja hari itu. Maka kuputuskan untuk putar-putar kota seorang diri. Pongky merekomendasikan angkutan yang cukup baru di Takarja. Namanya bus berjalur.
“Kalau naik itu aman, tenang aja”, ujar Pongky sebelum menutup pembicaraan kami via telepon.
“Weeyyy...”, aku berteriak kaget karena suara itu. Rekaman suara perempuan yang dibunyikan untuk memberitahu nama halte bus berjalur kepada penumpang. Kulihat beberapa orang tertawa kecil. Aha, aku telah lupa dengan pesan Pongky ketika menjemputku di terminal. Tapi apa salahnya dengan kekagetanku? Sejak tadi, di dalam kendaraan itu tiada suara manusia. Seluruh penumpang seolah merenungkan persoalan hidupnya sendiri. Mereka bagai lupa bahwa orang lain disampingnya bukanlah benda mati. Kata siapa tertawa itu lebih sulit daripada bercakap basa-basi? Baiklah, tertawa memang tetap sulit. Yang mudah ialah menertawakan orang lain.

Aku turun di Passer Bahroe, lokasi perbelanjaan yang sudah berdiri sejak Belanda memerintah di negeri ini. Passer Bahroe sudah milik Indonesia kini, pikirku sambil berkeliling disana. Oh, mataku menatap toko yang menjual macam-macam pakaian, kemudian masuk kesana.
“Mbak, saya orang baru di Takarja. Bisa kasih liat jaket yang cocok dipakai disini?”
“Oh, yang gimana ya, Mas...”, pegawai toko itu nampak bingung menatapku.
“Terserah. Yang penting cocok untuk pendatang seperti saya.”
“Aduh, yang lebih jelas gitu, Mas. Modelnya? Coraknya?”,
Terserah bukan kata yang tepat untuk dilafalkan, kini kau paham?
“Kata teman saya, di Takarja banyak yang jualan jaket yang cuma dipakai lima tahun sekali? Disini jual jaket macam itu?”
“Gak ada, Mas...”
Lalu aku tanyakan soal jaket yang bertuliskan “Jaket Ini Tak Akan Menghangatkanmu Kalau Kau Tak Berbicara Dengan Orang Disampingmu”. Pegawai toko itu menggelengkan kepalanya.

Ada jaket berwarna hitam. “Dunia = Bekerja” tertulis dengan tinta putih di bagian belakangnya. Aku pilih jaket itu sebagai tafsiran atas ‘terserah’-mu.

Hari telah menuju petang ketika aku keluar dari Passer Bahroe. Dari dalam bus yang kutumpangi, aku lihat antrian mobil kian panjang di jalanan Takarja.(*)
Bumi Parahyangan,
Sehari Paska-Ultah Yeye 2008

Seterusnya..

Villa Merah, Sampai Petang



Di Jawa Barat lagi, Jatinangor tepatnya. Maka saya berkirim pesan pendek via telepon seluler ke orang itu, Pidi Baiq. Saya pikir, pesan teks akan berbalas serupa, nyata tidak. Pidi langsung menelpon.
“Deni, kamu langsung aja kemari, ke tempat saya. Tahu Gedung Sate ‘kan?”
“Aduh gak tahu, Pak Haji”
“Kamu sekarang dimana ini?”
“Di Jatinangor, di depan Jatos”
“Oh, itu sih punya temen saya... Udah, kamu ke Gedung Sate aja.”
“Saya gak tahu jalannya, Pak Haji”
“Tanya aja sama orang-orang...Semua pada tahu itu Gedung Sate”
“Iyalah kalo gitu...”
“Kamu ke Gedung Sate ya, udah ke situ aja. Tunggu disitu. Ntar kontak saya lagi...Tenang aja, di situ daerah kekuasaan saya.”
“Hehehe...Oke, ntar saya hubungi lagi, Pak Haji.”
Karena hari sudah berangsur sore, maka saya batalkan bertemu dengan Pidi. Kebetulan, Yeye ingin melihat hasil tes yang dilakukannya di Jakarta untuk jadi karyawan Bank Mandiri. Jadi pada keesokan harinya, kami sama-sama punya kegiatan untuk keluar dari Jatinangor.

Yeye sedang siap-siap rupanya. Hari sudah masuk siang sekali, kira-kira pukul 13.00. Salat Jumat telah usai sedari tadi.
“Ntar sendiri aja ya ketemu Pidi”, kata Yeye sambil masukin buku Drunken Monster ke dalam tasnya.
“Loh, mendingan bareng aja. Paling juga gak terlalu jauh ke Bank Mandiri. Liat aja deh di peta.”
Yeye punya peta Kota Bandung yang alangkah lengkapnya. Sampai nama-nama jalan juga tersedia.
“Berdua ajalah...’kan pengumuman juga jam lima sore gitu.”, saya berucap sambil kunci pintu.
“Iya juga sih. Ini ntar nyampe Bandung paling jam setengah 3 gitu.”
“Makanya ikut aja ketemu Pidi. Emang kenapa gitu gak mau ketemu dia?”
“Takut dikerjain. Baca aja bukunya. Ceritanya waktu ngerjain orang aja sampe gitu banget.”
“Hehehehe, Gak mungkin lah, tenang aja.”, saya berkata demikian dengan muncul suatu perasaan yang sama dengan Yeye. Bagaimana kalau kami dikerjain? Saya ingat cerita Pidi yang menyiramkan air minum ke celana Noor Awaludin Gani saat orang Malaysia itu sedang tertidur, menginap di rumah Pidi (Drunken Monster, hal. 157).

Di dalam bis Damri yang membawa kami ke Bandung, pikiran saya masih ragu untuk bertemu Pidi. Saya berharap dia sibuk. Jadi dia tak bisa menemui kami. Jadi pertemuan itu akan singkat saja. Yaitu sekadar tegur sapa semata dan pemenuhan janji saja. Pidi berjanji memberikan kaos C59 yang bertema buku Drunken Monster kepada saya. Ia telah pula menyanggupi untuk membawakan empat kaos yang sama karena empat teman saya di Jember memesan pula. Ditambah lagi dengan tanda tangan pada buku Drunken Monster milik Yeye dan saya. Saya berharap pertemuan kami akan seperti itu saja. Karena apa? Karena saya mulai terpengaruh ketakutan yang sama dengan Yeye.


Saya menatap ke bangunan di sepanjang jalan yang menyalurkan bis ke Kota Bandung. Bis Damri telah selesai melewati Jalan Tol yang saya selalu lupa namanya. Saya coba ingat-ingat, apa saja yang berubah. Terakhir ke kota ini sekitar bulan November 2007.
“Loh, ini dulu gak ada ‘kan?”, saya bertanya ke Yeye sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan besar berwarna merah marun pada bagian dinding. Semacam mall untuk barang elektronik agaknya.
“Gak ah, dari dulu juga ada. Tapi bukan itu namanya. Namanya apa gitu. Pertokoan biasa gitu lah.”, Yeye menjawab sambil lanjut bertanya ke kondektur bis yang berjalan di samping tempat duduk kami; “Pak, ini lewat Jalan Ciliwung?”. “Ya, Neng. Bentar lagi juga lewat Jalan Ciliwung.”
Oh, semakin dekat saja rupanya dengan tempat yang dijanjikan Pidi sebagai lokasi kami bertemu.
Oke. Sy lg di ciliwung 23 Bdg. Daerah cilaki. Daerah PUSDAI. Daerah gedungsate”, tulis Pidi dalam pesan pendek. Sebelumnya saya menyampaikan bahwa saya sedang di dalam bis Damri mau ke Bandung.

Akhirnya saya dan Yeye turun bis. Bergandengan tangan berdua menyusuri Jalan Ciliwung.
“Ih, itu nomer 27...”, saya berkata sambil tunjuk sebuah rumah.
“Ya, berarti sekitar sini aja dong”
Mata Yeye dan saya tengok-longok kanan dan kiri. Selepas suatu tikungan, mata saya tertumbuk pada sebuah bangunan agak tua namun ramai orang di halamannya. Merah tua pula warna dinding pada bangunan itu. Pohon-pohon berdiri gagah di halaman bangunan itu. Ada beberapa tempat untuk duduk yang memiliki payung besar, galib kita jumpai pada rumah makan yang menyediakan meja di luar ruangan. Itulah Villa Merah. Sebuah tempat yang pernah disebut oleh Pidi saat saya chatting bersamanya sekira bulan Februari 2008.

“Permisi, Pak Pidi Baiq ada?”, saya sudah melewati pagar dan berjalan ke arah pintu kemudian bersuara kalimat tanya tersebut kepada tiga orang yang sedang duduk ngobrol di pelataran rumah itu. Tiga orang itu nampaknya masih SMU; dua lelaki dan satu perempuan. “Oh, gak tau ya...Coba tanya sama yang disitu aja. Itu kawan-kawannya Pidi”, si perempuan menjawab sambil tunjuk kumpulan lelaki yang sedang ngobrol di tempat duduk dengan payung besar. Saya ambil langkah menuju kesana. Kumpulan lelaki yang agaknya telah kuliah itu pun tak tahu pasti keadaan Pidi dimana, hanya saja saya diminta untuk menunggu. Saya kembali ke pelataran rumah itu dan duduk bersama Yeye di bagian agak depan dari pintu. Saya ambil telepon seluler dari kantong celana, kemudian pencet-pencet keypad-nya agar bisa mengirim text massage ke nomor telepon seluler milik Pidi. Ia membalas dengan cepatnya, saya kembali diminta menunggu, kali ini oleh Pidi sendiri. Ia sedang di bengkel mobil katanya.

Saya mencuri pandang ke dalam rumah yang jendelanya besar itu. Ada semacam meja resepsionis yang dijaga oleh dua orang perempuan—kalau tak keliru, salah satunya berjilbab. Dua lelaki dan satu perempuan yang nampaknya masih SMU itu ada disamping kami. Mereka berbincang dalam suasana senang. Saya coba curi-curi dengar yang mereka obrolkan. Namun sulit juga. Logat mereka agak susah saya cerna. Mungkin karena mereka mencampur-adukkan bahasa Indonesia dan Sunda dalam logat yang sangat Sunda. Aha, itu ada orang naik sepeda motor berboncengan. Mata saya memang kadang mengarah ke jalan yang ada didepan rumah. Dua orang yang bersepeda motor itu hampir melewati pagar, saya sudah mengira dengan sangat yakin bahwa yang berada di belakang pastilah Pidi Baiq. Saya pernah menonton rekaman launching buku Drunken Monster di blog multiply milik Tita. Sepeda motor terus berjalan pelan dan parkir di bagian samping rumah. Saya melihat Pidi memperhatikan kami. Dia senyum dengan girang kemudian melangkah ke tempat kami berdiri, sementara orang yang memboncengnya telah pergi dengan sepeda motor seorang diri.

“Hai...Hai...”, Pidi bersuara setengah teriak kepada kami.
“Deni, Pak Haji”, saya menyodorkan tangan untuk salaman dengan dia.
Saya memperkenalkan Yeye hampir berbarengan dengan Pidi yang berkata “Ini?” sambil mengarahkan tangan dan pandangan ke arah Yeye.
“Oh gitu...Aduh, kita ngobrol dimana ya, Den”, kata Pidi yang menenteng plastik besar berwarna abu-abu sambil jalan mondar-mandir mengarah ke halaman.
“Rame nih...disini”, lanjutnya
“Terserah Pak Haji ajalah”, saya berkata sambil mengikutinya. Tentu saja tidak mondar-mandir seperti dia. Saya dan Yeye agak diam sejenak sambil mengikuti perintahnya saja, namanya juga tamu; biarlah tuan rumah yang repot ;).
Pidi berjalan ke arah kumpulan lelaki yang nampak telah kuliah tadi, dia berkata; “Ini temen-temen saya. Tapi kamu gak usah kenal lah...”. Kumpulan lelaki itu tertawa saja. Saya pun demikian. Yeye menganggukkan kepala kepada teman-teman Pidi hampir berbarengan dengan saya. Kami mengikuti Pidi yang berjalan ke belakang rumah. Ada semacam kantin kecil sekali berdiam disitu.
“Nah disini aja”, Pidi bersuara setelah berhenti di depan pintu kantin itu.
“Deni, kamu pesen apa? Pesen aja...Disini mah bebas”
“Ya, Pak Haji. Terserah aja.”
“Hmm...apa ya...Kamu merokok ya Deni, berarti pesen kopi aja, mau ya?”
“Ya lah, Pak Haji”
“Si itu, siapa namanya...pesen apa?”
Suasana kantin yang saya tak tahu sebelumnya mendadak heboh oleh Pidi. Dia hingar-bingar sekali. Ia menyapa orang-orang yang nampaknya sebagai pegawai kantin disitu.
“Duh, euy banyak duitnya...Ini Den yang banyak duitnya...Saya mah ‘gak”, ucapan Pidi disambut senyum-senyum kecil orang yang sedang menghitung uang di meja kantin.
“Katanya baru muncul di Empat Mata, Pak Haji”, saya memulai percakapan setelah duduk di kursi kantin itu. Pidi seolah tak mau menjawab dengan lugas. Dia senyum-senyum saja.
“Iya, disuruh nyanyi...”, jawab Pidi akhirnya.
Lalu beberapa orang pegawai kantin itu bersuara dalam bahasa Sunda. Dan saya lagi-lagi tak paham dengan ucapan mereka yang dibarengi tawa renyah itu. Saya hanya menangkap bahwa Pidi dan beberapa pegawai kantin itu akrabnya sangat. Kami tak lama duduk di kantin itu.
“Ayo kesitu aja. Kayaknya udah kosong”, Pidi mengajak kami keluar kantin menuju tempat dengan meja melingkar yang berpayung besar. Posisinya ada di samping rumah dekat semacam lahan parkir dengan beberapa motor berjejer tidak rapi.

Kami duduk disana. Pidi mengeluarkan keahliannya: bicara kesana-sini. Orang Jawa bilang ngobrol ngalor-ngidul. Namun bagi Orang Madura, itu dinamakan acaca kedejeh-kalaok.
“Ada pengajian disini, Den. Tiap malem Kamis”, Pidi berucap.
“Iya gitu, Pak Haji?”, saya seolah tak percaya.
“Iya, biasalah pengajian yang tak bermanfaat. Yang dateng banyak. Suka-suka aja. Tukang becak juga biasa dateng. Yang ngisi saya.”
“Hehehehe”
“Eh beneran. Temanya macem-macem. Yaa...yang tak berguna gitulah. Kayak...misalnya Panas Bumi dan Nasehat-Nasehat Pidi Baiq”
“Hahahahaha....Terus...”
“Ya, orang-orang pada ngumpul semua. Kadang saya gak dateng. Hahahahaha...bebaslah pokoknya”
Pidi pun berkisah tentang beberapa pemikiran yang dia tuliskan saat di Belanda. Pemikiran yang coba menghubungkan filsafat barat dan filsafat timur (kepercayaan berbasis religi dan kebudayaan). “Kalau kita merenung secara dalam, maka tak sulit juga memahami pemikiran Sunan Kalijaga”, Pidi mulai berteori tentang sebuah karya. Baginya, yang terpenting adalah seseorang harus benar-benar menyatu dengan karya yang dibuatnya. Saya ingat, saat chatting, Pidi pernah bilang bahwa dia selalu berpedoman untuk Manunggaling Kawulo Karya. Mungkin inilah yang dipahaminya sebagai ‘menyatu dengan karya’.
“Maka setiap orang harus serius untuk apa saja yang dikerjakannya”, kata Pidi sambil dilanjutkan;
“Saya tuh kasian ya, orang-orang selalu ingin bekerja, maka mereka seolah sengsara. Kenapa sih ‘gak bersenang-senang saja. Ya, bersenang-senang dengan sesuatu yang mereka kerjakan. Agar tidak tersiksa. Bayangin kalo kita ngeliat orang-orang waktu pulang kerja. Mereka naek motor, terus macet. Aduh mukanya udah kayak apa aja di jalan. Seharusnya mereka bersenang-senang”.
Saya hanya angguk-angguk kepala dan Yeye yang senyum-senyum denger Pidi bersuara.
“Tadi malem apa gitu pengajian disini?”
“Malem Jum’at”, jawab Pidi dengan pasti.
“Berarti Kamis malam, Pak Haji?”
“Ya...Eh, Iya...Gitulah...”

Obrolan kami makin tak tentu ragamnya. Pidi tanya ke Yeye soal kuliah. “Oh, Fikom Unpad, ya...Itu si Iyang juga dari sana. Banyak temen-temen saya di Fikom Unpad.”, kata Pidi. Kemudian, Pidi menceritakan soal dunia komik yang ditekuninya kepada kami.
“Komik itu ya, juga Fikom loh. Saya mikir ini waktu di Belanda. Komik itu pasti singkatan yang punya kepanjangan. Pasti itu. Tapi saya cari kok gak ada. Jangan-jangan kepanjangannya adalah Communication Graphic. Ya beneran ini. Komik juga merupakan teknik berkomunikasi. Hanya saja dengan gambar. Kalo mau buat komik yang bagus harus bisa Fikom juga ‘kan”. Dalam hati saya, “Aduh, Pak Haji kok sembarangan? ‘Kan harusnya Ilmu Komunikasi bukan Fikom”. Namun ini uniknya Pidi Baiq, bicara yang (terkesan) sembarangan itu justru kita mengerti maksudnya. Banyak orang yang sudah dengan sangat rapi bicara dalam bahasa-bahasa ilmiah (yang tentu tak sembarangan) malah sulit dipahami maunya apa.

Obrolan itu ditemani dengan tiga gelas kopi. Yeye ditawari jus tapi malah milih kopi. Kelihatan sekali dia Orang Lampung. Propinsi penghasil kopi terlaris dan terkenal (saya tidak bilang terenak).
“Ini semua anak-anak SMA, Pak Haji?”, saya bertanya soal peserta bimbel di Villa Merah.
“Ya, semuanya. Kelas II dan III SMA”
“Ada berapa yang ikut bimbel disini?”
Pidi diam sejenak, mengernyitkan dahi, “Hmmm...Seribu orang”
“Mulai jam berapa gitu bimbelnya?”
“Jam 2 siang sampe jam 6. Tapi kalo disini sih ada orang terus. 24 jam, Den.”
Saya memperhatikan lekat-lekat tiap sudut Villa Merah yang bisa saya lihat dari posisi kami duduk berbincang. Pidi bicara soal membangun komunitas yang ternyata malah menjadi pekerjaan kalau bisa disebut begitu. “Kebanyakan orang ‘kan cari pekerjaan untuk bisa dapat uang. Nah, ternyata dari membangun komunitas itu juga bisa dapet uang. Tapi yang kita cari bukan itu ‘kan awalnya. Kita membangun komunitas itu untuk bersenang-senang gitulah. Jadi banyak pekerjaan sebenarnya yang bisa kita buat. Tentu saja kalau kita mau berkarya. Nah itulah yang utama. Membangun komunitas untuk berkarya.”, Pidi bicara panjang sekali memang. Nampaknya ia suka begitu. Saya pun memang senang mendengarkan orang bicara panjang. Semakin orang bicara panjang, semakin banyak ilmu yang bisa saya serap. Oh, Pidi Baiq maafkan daku ini, telah mencuri pemikiranmu. Semoga Pak Haji tak marah dikemudian hari.

Saya sudah tak berkonsentrasi lagi dengan obrolan kami. Lebih asyik memperhatikan peserta bimbel yang telah keluar dari ruangan. Jumlah mereka memang banyak. Nampaknya itu waktu mereka rehat. Sebab sebelum halaman rumah ramai oleh anak-anak SMA itu, ada dentang bel yang nyaring sekali. Bel yang kiranya dibunyikan via listrik itu tepat berada di tembok dihadapan tempat kami mengobrol. Maka saya bisa melihat bel berwarna merah itu menempel disana. Saya berpikir, itukah bel yang biasa dipakai untuk alarm tanda kebakaran? Bunyinya keras sekali seperti saat sebuah gedung mengalami peledakan, mirip dengan yang saya lihat di film-film. Aduh, alangkah uniknya Villa Merah itu. Suara Pidi yang bercerita menggebu soal banyak hal telah saya anggap sebagai embun pagi. Menyegarkan namun tak begitu saya perhatikan. Sekali lagi, karena saya lebih tertarik mengamati para siswa SMA yang riang diantara kami. Sebelum lebih jauh menelisik siswa SMA itu, saya minta buku Drunken Monster ke Yeye. Pidi sedang lengah tak bicara karena dia sibuk menyapa orang-orang yang ada di halaman Villa Merah.
“Eh, buku itu”, Pidi berkata seolah malu-malu melihat karyanya.
“Iya, Pak Haji. Ini minta tanda tangan dong...”, kata saya.
“Boleh”
“Tapi gak ada pulpen nih”, saya berkata lagi. Yeye juga dari tadi sebelumnya sudah mengobrol sana-sini dengan Pidi.
“Oh gitu...”, Pidi kemudian memanggil orang berbaju rapi dengan rambut klimis yang saya tidak tahu namanya. Pidi minta pulpen kepada dia. Datanglah pulpen kepada Pidi Baiq itu secepat angkot yang berhenti karena lambaian tangan calon penumpang.
“Disini aja Pak Haji kasih tanda tangannya”, saya berkata sambil menyodorkan buku Drunken Monster yang sudah saya buka pada halaman 9 atau tepat pada halaman ‘Ucapan Terimakasih’.
“Oke”, Pidi mengambil buku itu. Nampak berpikir sejenak. Lalu ia mulai menulis dengan pulpen pinjaman di halaman buku itu. Pertama ia tulis namanya dalam huruf Arab yang gundul.
“Nah ini kalau kalian jadi nikah, tulis ini di undangannya...hehehehe”, kata Pidi sambil menuliskan frase “dari dua jadi satu” dibawah “Kepada Deni ♥ Yeyey”.
“Apa itu Pak Haji?”, saya bertanya soal yang dituliskan Pidi. Sebelum dia menjawab, saya cepat berseloroh, “Oh, beli dua dapat satu, ya?”. Padahal saya sudah bisa baca dengan jelas tulisan itu.
“Bukan Den. Dari dua jadi satu”, jelas Pidi. “Beli dua dapat satu. Ah ada-ada aja, kamu”, timpal Pidi dengan senyum tersungging.
“Hehehehe....” saya tertawa kecil. Kelak, bercandaan saya inilah yang bikin saya dan Yeye membahas agak panjang dalam angkot ketika pulang ke Jatinangor. Jadi menyesal juga bilang “Beli dua dapat satu”.

Pidi berkisah lagi. Ceritanya kian rupa-rupa. Saya tetap asyik memperhatikan siswa SMA yang ada di Villa Merah. Mereka riang sekali. Ada yang ke kantin. Tertawa keras sambil berbincang senang. Adakah mereka mendapatkan hal ini di sekolah? Saya pernah bimbel ketika masa SMA dahulu. Namun suasana ketika istirahat tidak seperti ini. Kaku. Sebab saat di ruangan pun otak saya diperas oleh mentor yang mengajar bimbel. Maka saya dan teman-teman di bimbel dahulu sering bercanda yang cenderung melecehkan saat waktu istirahat tiba. Jadi tidak asyik. Misalnya saja, menggoda teman perempuan yang kami anggap cantik, kasih suit-suit kepada dia sampai akhirnya dia marah. Lantas kami tertawa. Hati senang sementara si perempuan merasa jadi pecundang: Korban pelecehan. Ah, masa lalu. Tak ada yang seperti itu di Villa Merah saat saya memperhatikan siswa SMA yang mondar-mandir di halaman. Mereka tenang walau riang. Tawa pun lepas. Siswa dan siswi campur-baur. Ada lagi yang unik. Beberapa siswa nampak dengan ikhlas dipandu oleh beberapa orang dewasa untuk menggores-gores kertas kosong warna putih. Mereka seperti diajari menggambar lewat proses privat, secara khusus. Pidi pernah cerita kepada saya, kalau siswa SMA yang ada Villa Merah itu adalah mereka yang bercita-cita untuk kuliah di FSRD ITB. Oh, itu saya dengar Pidi cerita soal Bu Rosi.
“Kalau istri saya tak suka saya nasehati, maka saya akan tengadahkan tangan”
“Ngapain?”, Yeye tanya.
“Saya bilang, Tuhan lihatlah saya sudah menasehatinya. Jadi biar dia takut sekalian. Saya ‘kan tidak pernah marah. Jadi kalau istri tidak senang dengan nasehat saya, biarlah saya laporkan kepada yang lebih berhak”, jelas Pidi.
“Hahahaha...”, saya hampir terpingkal karena keras tertawa. Lucu? Ya tentu saja. Tetapi tengoklah gaya bercanda Pidi. Inilah yang saya sebut sebagai ‘tertawa sarat makna’ (Kolom Bedah Pustaka Media Indonesia, 23/02/2008). Saya lalu mulai menyelidiki proses kreatif Pidi dalam menuliskan cerita-cerita di Drunken Monster.
“Itu semua yang di buku beneran kejadiannya, Pak Haji?”.
“Iya dong. Jadi saya nerapin langsung ide yang saya punya. Kalo gak gitu, gimana saya bisa tahu reaksi orang-orang itu. ‘Kan harus dilihat secara langsung.”, ungkap Pidi ringan saja. “Ya, ada juga sih yang beberapa gagal. Misalnya, pernah ya waktu itu saya mau bercandain seorang ibu di angkot. Kayaknya sih dia lagi punya masalah gitu. Jadi dia langsung marah ke saya. Pake bilang ‘Awas ya kamu, anak saya karate’. Kalo yang kayak gitu gagal, Den.”
“Hehehehe”, pikir saya dalam hati: gagal pun masih tetap lucu juga.
“Sebenarnya, kita harus tahu dulu gimana yang bener. Gimana yang seharusnya. Jadi ketika kita bercanda bukan hanya kita yang puas. Orang yang dibercandain pun juga mendapat sesuatu.”, jelas Pidi tanpa saya tanya.
“Ya , Pak Haji. Di buku itu juga ada tips membangun keluarga bahagia, tanpa harus bikin pembaca seolah jadi murid.”, tambah saya.
“Hehehehe...Ya gitulah.”
Ya memang begitu Pidi. Seseorang yang dalam permenungan saya telah sangat serius dalam bercanda dan berkarya. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang dianggap sepele akan ditekuni sampai menemukan gayanya sendiri, ‘gaya yang sangat Pidi’. Bercanda yang tak sekadar bikin kita tertawa. Bercanda dengan nilai-nilai yang mengandung sisi serius yang mendalam.

Hari kian senja. Pukul lima kurang seperempat sore. Yeye minta ijin untuk shalat ashar. Anak-anak SMA sudah masuk ke ruang belajarnya lagi. Sebab bel tanda kembali beraktifitas di ruangan telah berbunyi sedari tadi entah pukul berapa. Jadi halaman Villa Merah sepi kembali. Kantin nampaknya telah bersiap untuk menutup diri. Saya berdua saja dengan Pidi; masih tetap di tempat kami bincang-senang. Beberapa orang baru datang di Villa Merah. Seorang menghampiri tempat kami ngobrol dan berdiri sambil menyapa Pidi. Pidi menjelaskan kalau orang itu adalah pengurus partai. Si orang itu menolak penjelasan Pidi. Saya hanya senyum-senyum.
“Mas, saya mau bikin partai nih rencananya. Namanya Partai Besar Rakyat Lapar. Ya, itu namanya. PBRL, gitu.”, Pidi berkata disambut tawa kecil dari orang itu.
“Disini banyak, Den, orang partai yang maen kesini. Mereka tertawa disini bersama-sama”, kata Pidi setelah orang itu pergi dari hadapan kami.
“Kemaren di Empat Mata ngapain aja, Pak Haji? Kebetulan saya gak nonton”, saya coba mengulik kemunculan Pidi di acara yang dipandu oleh Tukul.
Pidi kasih jawaban yang sangat menyentuh hati saya tentang alasan yang menyebabkan dia mau muncul di acara tersebut. Tetapi saya tak usah tulis disini jawaban dari Pidi itu. Pokoknya sebuah jawaban yang diluar dugaan saya. Setelah itu, Pidi kasih nasehat yang bikin saya makin kagum dengan dia. Sebuah nasehat yang berhubungan erat dengan alasan kehadirannya di Empat Mata. Ditambah lagi dengan nasehat tentang cara bertahan hidup di Indonesia. Seorang teman Pidi datang ikut nimbrung bersama kami. Pidi bincang-bincang dengan dia. Saya mendengarkan saja obrolan mereka. Lalu Yeye datang. Ia telah selesai shalat. Mukanya terlihat cerah, mungkin karena baru saja wudhu. Yeye duduk kembali di bangku yang sempat ditinggalkannya tadi.
“Udah?”, saya berkata sambil pandang Yeye.
“Eh, iya...Terserah aja”, jawab Yeye.
“Pak Haji, udah dulu. Kita mau pulang dulu aja.”, saya berucap berbarengan dengan mengarahkan mata ke Pidi.
“Oh gitu, okelah. Kapan-kapan disambung lagi. Itu kaos lima biji. Satu bonus buat kamu. Itu bukan punya saya soalnya. Tadi ambil di Mizan.”
Saya ambil uang dan serahkan ke Pidi. Teman-teman saya di Jember agaknya bisa tersenyum bahagia karena titipan mereka sudah saya dapatkan.
Saya tanya gimana cara ke Jalan Surapati sebab Bank Mandiri ada disana. Pidi kasih penjelasan. Kami jabatan tangan. Obrolan diselesaikan. Saya kasih Assalamu’alaikum ke Pidi. “Mari Pak Haji” adalah kalimat yang meluncur terakhir dari mulut saya. Yeye menundukkan kepala sambil senyum. Yeye dan saya berjalan keluar dari Villa Merah. Kami disambut Jalan Ciliwung lagi kemudian bergerak ke jalan yang lebih ramai, Jalan yang saya lupa namanya. Kami berhentikan angkot. Tanya sebentar apakah angkot ini ke Bank Mandiri. Supir bilang iya, tapi jalan sedikit soalnya angkot dia tidak lewat persis di depan Bank Mandiri. Baiklah tak mengapa kalau begitu, wahai supir yang baik hatinya.

Di angkot saya ingat-ingat lagi beberapa bagian obrolan dengan Pidi. Saya ingat soal dia bilang tentang keteguhan berkarya dan membuat sesuatu yang unik. Saya cerna lagi nasehat dia tentang menjalani hidup dengan riang-bahagia. Terimakasih Pak Haji. Saat itu saya berpikir, sebaiknya dia bikin buku dengan judul: “Canda Berbalut Nasehat Pidi Baiq”. Agaknya bagus kalau benar-benar jadi buku semacam itu. Sudahlah, Pidi berkarya dengan caranya. Kita pun akan berkarya dengan gaya kita. Tapi Pidi menginspirasi siapa saja, tentu saja mereka yang paham betul bahwa dalam humor atau bercanda ada makna yang harus disingkap. Agar humor jadi tak garing. Kesimpulan saya tetap setelah bertemu Pidi: dia benar-benar menyatu dengan karyanya.

Lalu kami tiba di Bank Mandiri. Ada nama Yeye di daftar pengumuman peserta tes yang lolos ke tahap 3. Ya sudahlah. Yeye berbahagia. Saya demikian pula adanya. Dan dia harus ke Jakarta untuk ikut tes lagi. Kemudian kami mencari cara untuk pulang. Bis Damri jurusan Dipatiukur-Jatinangor telah tiada karena hari sudah sangat petang hampir malam. Pukul 18.00 kata Yeye setelah saya bertanya, “Jam berapa?”. Kami naik angkot lagi, kini yang menuju Gedebage. Kemudian naik dua angkot lagi, sampailah Yeye dan saya di Jatinangor. Alhamdulillah dengan selamat.(*)


Jatinangor, 29 Maret-1 April 2008
***Ini adalah karangan pertama saya setelah dua minggu terakhir. Saya harus belajar lagi merangkai kata dalam berkalimat karena dua minggu ini saya lewati tanpa mengetik satu karangan pun.

Seterusnya..