Selamat Jalan Senyum...
Baiklah, saya akan catat kepergian Bapak Soeharto (Presiden RI Ke-2 [versi umum]). Akan saya ingat senyumnya...
Dan entahlah, ini kebetulan atau bukan. Hari Minggu (27 Januari 2008), beberapa koran memilih tulisan-tulisan bertema Soeharto untuk dimuat, padahal sekarang hari Minggu--dikenal sebagai hari lembar budaya dan buku (he2). Ada Jawa Pos yang memuat tulisan M Shoim Anwar. Ada Suara Pembaruan yang mempublikasi resensi buku tentang rezim Soeharto. Oiya, Koran Tempo juga menurunkan resensi buku soal "Rumah Penyiksaan" di era Soeharto (Orde Baru)...
Soeharto sakit sudah 24 hari sebelumnya...tapi mengapa, baru pada tanggal 27 Januari 2008, koran-koran itu menurunkan tulisan tentangnya di edisi Minggu? Percaya klenik? Ah, katanya itu syirik...tapi saya membahas soal itu untuk skripsi...Mungkin saja, ini kebetulan, sebuah salam perpisahan dari Pak Harto kepada pembaca koran Minggu...
Saya lalu ingat kata-kata Tagore, yang kira-kira begini bunyinya:
"Jika kau sudah tiada...Jangan cari nisanmu di pekuburan...Tapi carilah di hati orang-orang yang kamu tinggalkan dan mereka yang hidup setelah kamu"...
Baiklah, saya tidak akan membuat catatan panjang untuk Pak Harto...tiap kita berhak mengenang beliau dalam ragam gaya, cara dan karya...serta tentu saja rasa...
Saya ingat, saya tersenyum sebentar setelah menerima sandek ke telepon seluler saya pada Minggu siang sekira pukul 13.30 yang berisi kabar wafatnya Pak Harto...Saya senyum karena saya ingat ucapan Ibu saya soal orang yang menghadapi penyakit hebat dan berat hingga sulit dibuat sembuh secara cepat..."Lebih baik memang meninggal saja, daripada merepotkan keluarga...Tapi semua terserah Tuhan...Dia yang akan mengambil kita...Kita hanya berusaha semampu mungkin berusaha memperlambat panggilan itu..."
Woops...masih terlalu panjang...baiklah, habis...
Selamat Jalan Jenderal...Tenang saja, kau pasti kami kenang...
yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau
dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian
tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri
kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut
oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.
dibubuhkan denyya ketika 00.47 0 tanggapan
Karier menulis Khaled Hosseini benar-benar tak bisa dilepaskan dari Kite Runner. Berkat karya pertamanya itulah, ia menjadi duta besar keliling dari UNHCR (Ruang Baca Koran Tempo; 30 Mei 2007). Ia mengunjungi Afghanistan dan sejumlah negara yang sedang didera konflik. Atas pengalaman itulah, maka A Thousand Splendid Suns ditulis sangat serius oleh Hosseini. Selama di Afghanistan, ia mewawancarai sejumlah perempuan untuk dijadikan bahan dasar dalam mengarang novel keduanya.
Sekadar mengingat, Kite Runner terbit dalam terjemahan bahasa Indonesia pada tahun 2006 (oleh Penerbit Qanita). Artinya, ada jarak sekira 3 tahun sejak novel itu terbit dalam versi aslinya di Amerika Serikat. Sementara itu, A Thousand Splendid Suns terbit pertama kali pada 22 Mei 2007 di Eropa dan Amerika Serikat. Terjemahan dalam bahasa Indonesia terbit lima bulan kemudian, yaitu pada November 2007.
Boleh jadi, cepatnya novel kedua Hosseini beredar dalam bahasa Indonesia karena terpengaruh prestasi yang direngkuh oleh Kite Runner. Bahkan, pada sampul bagian belakang dari A Thousand Splendid Suns tertera torehan prestasi dari novel pertama Hosseini tersebut. Nampaknya, Penerbit Qanita masih belum terlalu yakin bahwa novel kedua Hosseini akan disambut baik oleh pembaca buku di Indonesia.
Semangat menulis yang dimiliki oleh Hosseini dalam A Thousand Splendid Suns benar-benar terpancar kuat. Ia mampu menghadirkan lukisan Afghanistan dengan nilai-nilai lokalitasnya. Maka dari itu, dalam novel ini, kata-kata khas yang digunakan oleh masyarakat Afghanistan untuk menyebut benda, tempat atau masakan sangat sering nampak.
Salah satu fungsi dari penerjemahan karya sastra asing ke bahasa Indonesia adalah sebagai wahana bertukar informasi kebudayaan. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah jika kata-kata khas lokalitas dalam karya sastra terjemahan dibubuhi semacam keterangan oleh penerjemah. Hal ini tidak terdapat dalam A Thousand Splendid Suns versi bahasa Indonesia. Begitu banyak kata dalam bahasa Afghanistan yang tidak diberi keterangan.
Ada dua kemungkinan terkait hal ini. Pertama, penerjemah sengaja membiarkan hal itu terjadi karena ingin memberikan nuansa asli yang dilukiskan oleh si penulis. Tetapi, alasan ini justru menjadi ganjil jika diajukan oleh penerjemah. Sebab nuansa dari karya sastra justru bisa dirasakan oleh pembaca tatkala ada kesepahaman makna pada tiap kata. Kedua, penerjemah memang malas mencari keterangan mengenai kata-kata berbahasa Afghanistan yang ada di novel ini.
Waktu lima bulan untuk menerjemahkan karya Hosseini tersebut, kiranya menunjukkan bahwa penerjemah tidak malas. Namun, terlihat sekali bahwa novel kedua Hosseini yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini hadir dengan semangat yang terlalu tergesa. Hingga penerjemah abai pada hal mendasar terkait karya sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
***
Publik Indonesia patut membentangkan tangan selebar-lebarnya untuk menyambut novel kedua Khaled Hosseini. Tentu saja bukan sekadar disebabkan bahwa Hosseini adalah lelaki asli Afghanistan, hingga memiliki kesamaan benua dan agama dengan mayoritas penduduk Indonesia. Lebih jauh, Hosseini mampu melukiskan pengorbanan seorang perempuan dengan tamsil yang sama dengan persepsi masyarakat Indonesia.
Seperti apa kasih seorang perempuan (ibu) diibaratkan oleh masyarakat Indonesia? Pada bait lagu kanak-kanak kita temukan jawabannya; “Kasih ibu kepada beta...hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Seperti itu jualah Hosseini melukiskan sosok tokoh utama dalam A Thousand Splendid Suns.
Khaled Hosseini mampu meracik dengan apik cerita tentang perempuan Afghanistan yang dikungkung oleh kekuasaan pada level masyarakat dan negara. Dengan cukup detail, Hosseini menggambarkan penderitaan kaum perempuan di bawah otoritas adat yang berlaku di Afghanistan. Namun, penggambaran itu jauh sekali dari nada pemberontakan—yang umum kita temui dalam karya sastra bergenre feminis. Hosseini mampu menghadirkan sebuah thick description melalui emosi yang diolah dengan baik pada tiap tokoh.
Ada dua tokoh perempuan dalam novel ini. Mariam adalah seorang anak yang selalu menerima perbedaan versi sejarah mengenai muasal diri dan ayahnya. Nana (ibu Mariam) adalah seorang pembantu dari keluarga besar Jalil Khan. Ia dihamili oleh Jalil dan kemudian lahirlah Mariam. Namun, karena Nana berasal dari kalangan miskin dan hina, keluarga Jalil tidak mau menerima kehadirannya. Walau adat di Afghanistan memperbolehkan lelaki mengumpulkan istrinya pada satu atap. Nana selalu membicarakan Jalil dalam nada negatif kepada Mariam.
Tetapi, Jalil Khan adalah ayah yang baik bagi Mariam. Ia tetap mengunjungi Mariam seminggu sekali. Kisah hidup Mariam berangsur pilu saat Jalil membawanya ke rumah keluarga besarnya. Mariam dipaksa menikah dengan Rasheed pada usia 15 tahun. Jalil yang selama ini mendapat kesan positif di mata Mariam sontak berubah. Kemudian Mariam harus menerima nasib laiknya kebanyakan perempuan Afghanistan. Rasheed menikah lagi dengan Laila.
Berbeda dengan Mariam, Laila adalah sosok perempuan terpelajar. Awalnya, Mariam tidak menyambut kehadiran Laila sebagai istri Rasheed. Namun, setelah anak pertama Laila lahir, hubungan mereka kian dekat. Mariam dan Laila dilukiskan oleh Hosseini sebagai dua matahari yang terus bersinar dalam kondisi mendung sekalipun.
Penderitaan kaum perempuan Afghanistan menemukan semacam oase pencerahan tatkala rezim komunis Uni Soviet mampu berkuasa di negeri itu. Sekolah-sekolah mulai menerima kaum perempuan. Burqa (penutup tubuh yang tebal dan menyeluruh) tak lagi harus digunakan saat perempuan berada di luar rumah. Namun, rezim komunis memerintah Afghanistan dengan tangan besi. Segi-segi lokalitas Afghanistan dibabat habis. Kaum kaya dimiskinkan dalam drama yang sungguh menyedihkan sebagaimana dituliskan oleh Hosseini.
Seiring keruntuhan Uni Soviet, Taliban memenangkan pertarungan dengan rezim komunis di Afghanistan. Namun masyarakat Afghanistan mengalami masa kelam yang sama mencekamnya seperti saat dikuasai oleh rezim komunis. Taliban menerapkan aturan yang sangat ketat.
Hosseini dengan sangat rapi merekam harapan-harapan masyarakat Afghanistan ketika masih berada dibawah kuasa rezim komunis dan Taliban berikut kekecewaan yang akhirnya mereka alami. Maka dari itu, novel ini lebih menekankan bahwa kesalahan suatu rezim muncul karena individu yang berada didalamnya bukan karena sumber ajaran yang digunakan oleh rezim itu untuk memerintah.
Hosseini dengan cukup melankolik menggambarkan perjuangan yang sederhana dari Mariam dan Laila untuk terus hidup walau badai masalah tak kunjung selesai mendera mereka. Pesan utama dari novel ini yaitu penderitaan yang dirasakan oleh kaum perempuan dibawah kungkungan rezim atau masyarakat yang tertutup adalah pula kejahatan terhadap kemanusiaan. Khaled Hosseini mampu menuliskan kisah Mariam dan Laila dengan gaya yang sangat filmis. Hingga pembaca bisa dipastikan tiada pernah bosan untuk menkmati novel ini dalam satu kali pembacaan tanpa henti.
Melihat alur kisah yang sungguh menawan dalam novel ini, kita bisa melihat bahwa Hosseini telah laik untuk menanggalkan prestasi yang diraihnya melalui Kite Runner. Lebih jauh, saya yakin bahwa karya kedua Hosseini dalam bahasa Indonesia ini akan naik cetak lagi pada tahun-tahun kedepan. Maka dari itu tak ada salahnya jika mulai sekarang, penerjemah novel ini mencari makna kata-kata dalam bahasa Afghanistan yang belum dibubuhkan keterangan sama sekali. Tentu saja agar pembaca dapat makin meresapi pesan kemanusiaan berlatar-kisah Afghanistan yang disampaikan Hosseini dalam buku ini.(*)
dibubuhkan denyya ketika 01.08 0 tanggapan
Bersuara Tidak Untuk Kekerasan
::dipublikasi di Harian Radar Jember (16/01/2008)
Pada 28 Januari 2007, Jember akan kedatangan seorang tamu yang cukup istimewa. Ia adalah Inu Kencana, sosok kontroversial terkait sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di Insitut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)—dulu STPDN. Ketika mayoritas staf pengajar di almamaternya mengunci mulut, Inu justru bersuara lantang soal perilaku kekerasan yang menyeruak di IPDN. Tak sedikit pujian disematkan kepadanya sebagai ‘peniup peluit’.
Namun, caci-maki juga kerap menghampiri Inu. Ia dinilai sebagai sosok yang hanya mencari sensasi untuk kepentingan pribadi. Setelah beberapa bukunya yang mengulas tuntas kekerasan di IPDN terbit, keyakinan negatif banyak pihak yang sentimen kepadanya pun makin menjadi-jadi. “Oalah..pengen nulis buku toh rupa-rupanya”, banyak yang berkomentar demikian. Padahal Inu telah menerbitkan sejumlah buku tentang administrasi pemerintahan di masa lampau. Bahkan, Inu pernah dikejar-kejar oleh anak didiknya di IPDN yang berjenis kelamin perempuan setelah ia menyiarkan bahwa di IPDN marak terjadi kasus abortus.
Kekerasan itu, mungkin, bagai cendawan di musim hujan. Bisa tumbuh di pelbagai tempat yang memberinya peluang. Media massa telah memberi kabar kepada kita; ada guru memukul muridnya, suami menyiram air raksa ke tubuh istrinya sampai seorang anak yang tega membunuh ibu kandungnya. Kekerasan mampu menerabas batas status ekonomi, tingkat pendidikan bahkan suku dan agama.
Maka dari itu, saya sering terkaget-kaget saat mendengarkan cerita beberapa perempuan yang menolak menikah karena takut mengalami KDRT. Kekerasan tidak hanya meninggalkan bekas fisik semata. Gegar pada sisi psikologis ternyata bersifat massal—tidak hanya dialami oleh korban kekerasan semata.
Saya juga sering mesem-mesem saat beberapa teman di luar negeri—yang saya kenal via online di internet—berkomentar miring tentang Islam dan Indonesia karena maraknya kasus terorisme. Saya tak mampu marah dalam menjawab komentar yang dikirim lewat e-mail itu. Biasanya, saya selalu menyitir aforisma milik penyair asal India Rabindranath Tagore: “Apabila engkau menutup pintumu bagi semua kesalahan, bagaimana kebenaran hendak masuk?”.
Kekerasan akan bersemi dengan subur pada kelompok yang serba tertutup. ‘Pihak luar’ dan ‘pihak dalam’ tidak bisa dengan mudah mengakses dan memberi informasi tentang segala hal yang berlangsung di dalam kelompok tersebut. Kesetaraan dan kebebasan dalam memperoleh informasi adalah kunci untuk membentuk masyarakat yang minim melakukan kekerasan.
Hal tersebut tentu saja disebabkan karena kekerasan pun memiliki pelbagai tafsir. Kita masih ingat betul ketika kasus kekerasan di IPDN mulai terdengar oleh publik, ada ‘pihak dalam’ dari kampus tersebut yang berkomentar bahwa hal itu adalah biasa. Alasannya, kekerasan diperlukan untuk melatih fisik dan disiplin para mahasiswa di IPDN. Namun Inu Kencana berada satu jalur dengan nalar publik di luar IPDN. Senior yang menerjang perut yunior adalah kekerasan dan tidak laik terjadi di kampus terhormat seperti IPDN.
Tapi, tidak seluruh mahasiswa IPDN melakukan kekerasan, toh? Demikian juga berlaku pada istri yang mengalami KDRT. Tidak semua laki-laki (baca: suami) berperilaku keras pada perempuan. Dan mayoritas umat Islam (juga rakyat Indonesia) menolak dengan tegas pelbagai bentuk terorisme.
Api tidak akan cepat padam jika dilawan dengan api. Hanya guyuran air yang sanggup menumpaskan nyala api. Kekerasan hanya akan mampu dihilangkan dengan kebebasan menyebarkan dan memperoleh informasi oleh ‘pihak dalam’ dan ‘pihak luar’ dari suatu kelompok. Inu Kencana tidak sendirian melawan praktik kekerasan di IPDN. Ia menulis buku dan berkomentar di media massa hingga publik pun dilibatkan dalam usahanya menghapus kekerasan di kampus terhormat yang ada di Jatinangor itu. Inu melakukan itu bukan karena ingin jadi pahlawan. Tapi karena ia memiliki keberanian untuk mengungkap kebobrokan almamaternya. Lebih jauh, kita bisa melihat perilaku Inu sebagai perwujudan rasa cinta kepada kampusnya. Cinta Inu Kencana bukanlah cinta buta yang membuatnya berdiam diri pada praktik kekerasan di IPDN.
Para istri yang sering disakiti suami—baik lahir maupun batin—jangan menutup mulut dengan alasan cinta kepada suami. Demikian pula para murid yang pernah dipukul oleh gurunya. Contohlah keberanian Inu Kencana menginformasikan perilaku tidak terhormat yang kerap berjalan di IPDN. Konon, kini kampus di Jalan Raya Sumedang-Jatinangor itu tengah berbenah diri. Inu Kencana sang peniup peluit itu nampaknya mampu merangsang perbaikan di IPDN.
Akhirnya, karena kekerasan tak bisa jauh dari silang tafsir yang beragam, maka masyarakat yang senantiasa berusaha menghapusnya haruslah menjadikan dialog sebagai dasar berinteraksi. Oleh karena itu, usaha menghapus kekerasan harus pula dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Hal tersebut tentu saja adalah rangka untuk mencapai kesetaraan dalam dialog. Masyarakat yang selalu memperbaiki diri dengan dialog adalah kumpulan individu yang bersuara “tidak” untuk kekerasan.(*)
dibubuhkan denyya ketika 15.01 0 tanggapan
dibubuhkan denyya ketika 14.50 0 tanggapan
dibubuhkan denyya ketika 18.05 0 tanggapan
Bandung Dalam Coretan Seorang Jurnalis
dibubuhkan denyya ketika 22.43 0 tanggapan
Yang irasional tak jarang tumpang-tindih dengan wilayah rasional dalam kehidupan ini. Perilaku yang lumrah kadang hanya berbeda ‘satu milimeter’ dengan kelakuan yang ganjil. Itulah pernak-pernik hidup yang senantiasa tidak berada di jalur serba lurus ini. Putu Wijaya, dalam pandangan saya, adalah sosok yang selalu mengusahakan terangkumnya rupa-rupa tanda kehidupan dalam karyanya. Kewajaran, keanehan, kegembiraan, kemurungan bisa muncul secara bergantian atau bersama-sama dalam tulisan Putu Wijaya.
Putu Wijaya menyebut karyanya sebagai teror mental. Pembaca dibuat seolah tidak aman melalui cerita yang tiba-tiba menukik kemudian secepat kilat mendatar kembali. Maka tak salah jika Ignas Kleden (2003:115) mengatakan bahwa Putu Wijaya memperlakukan pembaca sebagai orang dewasa yang harus dibangunkan dari tidur saat membaca karyanya. Putu Wijaya seolah memosisikan kita sebagai seorang korban yang telah lebam di wajahya, namun dengan heran bertanya; “Kapan saya dihantam?”.
Novel berjudul Nora ini diselesaikan Putu Wijaya pada 30 Januari 2004 di Indonesia. Sementara ia mulai menuliskannya ketika berada di Shugakuin, Kyoto, tahun 1992. Melihat rentang masa yang begitu panjang—sejak mulai menuliskan sampai selesai lalu diterbitkan—seharusnya buku ini hadir dengan minim kesalahan teknis. Faktanya, salah huruf atau kurang huruf pada kata masih sering nampak dalam buku ini.
Namun, melalui Nora, kiranya kita bisa melihat kesungguhan Putu Wijaya dalam menulis karya berbentuk tetralogi. Pada halaman depan buku ini tertera: Tetralogi Dangdut 1. Putu Wijaya tidak menjadikan karya sebagai industri yang bisa kehilangan nuansa. Penyematan rangkaian tiga kata itu bukan main-main. Artinya, Putu Wijaya telah menubuatkan bahwa Nora adalah sebuah karya yang akan saling sambung dengan beda nuansa di buku-buku berikutnya. Jadi, Putu bukan melempar sebuah karya, kemudian ketika animo pembaca terlihat pesat, barulah ia menyebut karyanya sebagai tetralogi. Oleh karena itu, laiklah jika publik patut menyambut Tetralogi Dangdut Putu Wijaya ini dengan semacam garansi tidak bakal kecewa.
Pembaca novel ini haruslah siap untuk—pinjam kata dalam bahasa Madura—caremet dengan ulah tiap tokoh didalamnya. Putu berhasil menggoyang pembaca dengan kisah yang berikhwal sepele namun menggemaskan.
Hanya karena tak sengaja melihat Mala sedang buang air kecil di halaman rumah, Nora menjadi pingsan beberapa hari dengan igauan yang aneh. Kemudian orangtua Nora memaksa Mala menikah dengan Nora. Mala tidak menolak secara langsung namun menyimpan gundah yang mendalam atas paksaan orangtua Nora tersebut. Berat hati Mala untuk membangun keluarga dengan Nora. Sebab ia adalah seorang redaktur sebuah media cetak ternama di ibu kota. Sementara Nora hanyalah gadis lugu yang tak terlalu cantik. Akhirnya Mala dan Nora menikah.
Gelombang lautan kehidupan bisa merubah sikap seseorang. Pelan-pelan Mala mencintai Nora secara sungguh. Namun saat itu pula, orangtua Nora meminta Mala membiayai pernikahan Nora dengan seseorang bernama Roni—keluarga jauh Nora dari kampung. Mala menolak dengan keras. Namun orangtua Nora seolah tak mengacuhkan penolakan itu.
Pembaca novel ini pasti caremet sebab susunan cerita yang dibangun oleh Putu Wijaya sungguh tidak masuk akal namun berhasil membangkitkan emosi kita. Secara umum, novel ini menghadirkan sebuah dunia dengan tingkat komunikasi yang minim. Dunia yang hanya diisi dengan prasangka. Hingga persahabatan, kehidupan kantor sampai percintaan bisa luluh-lantak dalam sekejap. Putu tidak bercerita tentang dunia kenyataan dalam novel ini. Ia justru mengusahakan terbangunnya sebuah dunia dengan sumber kisah-kisah dari dunia nyata.
Namun, selaiknya dongeng, kehidupan dalam buku ini membuat kita bisa percaya bahwa benar-benar terjadi di lingkungan keseharian Putu atau kita sendiri. Satu hal lain yang membuat kita wajib membaca buku ini; Putu Wijaya tetap konsisten menaburkan aforisma dalam halaman-halamannya. Kadang aforisma itu muncul dalam kemarahan, keakraban bahkan kegetiran. “Bukan kemerdekaan, tapi tanggung jawablah sebenarnya yang nikmat dan membahagiakan.” (hal.122), kalimat bijak ini justru menyeruak sehabis pertengkaran hebat antara Mala dan Nora di stasiun.
Novel ini mampu membuat kita sadar bahwa dibalik tiap kejadian dalam hidup ini ada pihak yang berperan sebagai dalang. Dengan lihai, Putu tidak memberi tahu dalang pada tiap adegan dalam novel ini. Pembaca diajak aktif untuk menduga dan memperkirakan sementara Putu hanya memberi petunjuk. Inilah kiranya ciri utama dari karya Putu Wijaya; selalu bersifat terbuka dan belum selesai penuh.
Akhirnya, siapkanlah diri untuk tiba-tiba tertawa, meringis atau bahkan menangis saat membaca novel Nora ini. Ya, Putu mampu menghadirkan gambaran kehidupan yang serba ‘tiba-tiba’ dalam novel ini. Bagai irama musik dangdut yang tiba-tiba mengajak kita bergoyang dengan henti yang bisa kapan saja; terserah kita.(*)
dibubuhkan denyya ketika 17.38 0 tanggapan
Ada di Suara Karya
Tiada sengaja, ketika jalan-jalan di dunia maya, saya bertemu dengan tulisan di salah satu jariangan situs media cetak: Suara Karya. Alhamdulillah, ada lagi tulisan yang nyangkut di media cetak, setelah lama vakum.
dibubuhkan denyya ketika 00.49 0 tanggapan
Coba-coba HAIKU
Mailing-list Apresiasi Sastra mengadakan hajatan unik untuk merayakan 3 tahun usianya. Komunitas pecinta sastra menggelar lomba HAIKU, ESAI/KRITIK SASTRA yang berkaitan dengan Jepang. Berbekal informasi dari Om TS PINANG tentang HAIKU dalam salah satu postingnya di milist tersebut, saya ikutan membuat HAIKU...Yah, namanya coba-coba. Inilah yang sebut sebagai HAIKU:
H(uj)a(n)iku
: pasangan negara
tanah basah
kumpul remah
resah
rintik lesap
bah merayap
gigir bersayap:
pengap!
sendu hujaniku
tergenang sukaku
beku.
Jember; Januari 2008
Siar Lapar
LAPAR berlayar
men(y)ebar kabar
MEMAKSA laksa
langkah tergesa
Mendiamkan gumam.
Tak acuhkan igauan.
Membobok tembok
HATI mati.
Jember; Januari 2008
dibubuhkan denyya ketika 16.31 0 tanggapan
Baiklah, saya simpan saja semua senja disini. Sungguhlah, saya paham
ia tak kunjung usai ditulis dalam puisi. Entahlah, walau saya
sangat mengerti bahwa matahari membawa cahayanya sendiri.
Selalulah, saya dibikin salah arah ketika mengadu resah.
Kaburlah mata saya—yang kiri dan kanan—saat melipat surat
sebelum dibaca sampai tamat. Punahlah segala tenang saat gundah
merajai arwah tak lekang. Langkah kian goyah. Patahlah tangan.
Tahniah tumpas. Baiklah, saya kian sulit menarah senja dan sejarah
Jember; 02/01/08
dibubuhkan denyya ketika 22.30 0 tanggapan
Saat Sebuah Perayaan
“tumpah-ruah di gigir jalan
lukisan panjang yang kosong.
entah apa yang dirayakan.
kenangan tak pernah berbohong.”
dan taman-taman adalah puncak setia penantian
tak lelah menunggu tarian lupa ribuan bayangan
bangku-bangku taman saksi pembunuhan kenangan
padahal kita dan dia telah lama saling meninggalkan
saat sebuah perayaan, kita sering
menawar kafarat
takut dan tergesa ingin lari dari larik kenangan
sarat kalut lalu langkah bertilas kehampaan
saat sebuah perayaan, kita senang
menjadi tak ingat
“tumpah-ruah di gigir jalan
lukisan panjang yang kosong.
entah apa yang dirayakan.
kenangan tak pernah berbohong.”
1-2 Januari 2008
dibubuhkan denyya ketika 22.26 0 tanggapan
Sajak Sepele Yang Memprovokasi
Ya, saya sudah kelelahan membaca sajak-sajak Subagyo Sastrowardoyo dalam Dan Kematian Makin Akrab (Grasindo;1995). Tentu saja, kelelahan itu adalah akronim dari “kenikmatan yang melelahkan”. Ya, nikmat sekali membaca sajak-sajak Subagyo dalam buku yang memuat kumpulan 100 sajak terbaiknya tersebut. Tiap kali membuka buku itu, mata dan tangan saya selalu tak pernah melewatkan halaman 100. Ada sajak yang sangat saya suka bersemayam di halaman itu. Sajak yang menyepelekan suatu yang besar namun sungguh memprovokasi—membuat emosi memuncak dan nalar berdecak.
Dunia Kini Tidak Peka, demikian judul sajak itu. Dalam sajak itu, Subagyo membawa misi melarang suatu kegiatan dilakukan oleh individu dengan cara menyepelekan tindakan itu. Kata-kata dalam sajak itu sederhana namun menancap sekali di hati. Subagyo Sastrowardoyo telah berhasi mengajak kita untuk berpikir ‘besar’ dengan sesuatu yang ‘sepele’ melalui sajak itu.
DUNIA KINI TIDAK PEKA
tak ada gunanya bunuh diri
memang
dunia kini tidak peka
sehari lamanya
orang menyayangkan nasibmu
dan melemparkan kesalahan:
kepada binimu
yang selalu bilang kau tak becus cari duit
kepada anakmu
yang malu bapanya hanya buruh kecil
kepada majikanmu
yang tidak menaikkan upah kerja
tapi hanya sehari:
lantas binimu mulai menjelekkan kamu lagi
sebagai laki tak bertanggungjawab
lantas anakmu di buku rapor menghapus namamu
yang mencemarkan kehormatan keluarga
lantas majikanmu bernapas lega
tidak perlu membayar gaji kepada satu tenaga
kuburmu di pinggir kampung
tinggal terlantar
sebab tak ada yang peduli
siapa kamu dulunya
bunuh dirimu sia-sia
memang
dunia kini tidak peka
[ditulis ulang dengan bentuk sesuai yang tertera di
Dan Kematian Makin Akrab (Grasindo:1995) halaman 100]
Bunuh diri adalah perilaku yang tidak sepele. Sejak manusia mulai berhimpun dan kata masyarakat lahir di bumi ini, bunuh diri mulai menjadi salah satu perilaku manusia. Kita bisa melacak dari sejumlah pemikiran ilmu sosial. Emile Durkheim menjadikan fenomena bunuh diri sebagai alat untuk menegakkan tradisi keilmuan Sosiologi. August Comte—yang dimaklumi sebagai pendiri Sosiologi dan wafat dengan cara bunuh diri tahun 1857—dipandang oleh Durkheim hanya memberikan batu pijakan bagi ilmu Sosiologi namun tidak menyediakan alat analisa yang memadai bagi terbangunnnya tradisi keilmuan Sosiologi di masa nanti. Bunuh diri yang terjadi di Eropa merupakan alat bagi Durkheim untuk membangun tradisi metodologi yang sampai saat ini masih tumbuh dan telah melahirkan beragam cabang, yaitu metodologi kuantitatif. Bahkan, melalui analisa tentang perilaku bunuh diri, Durkheim ingin mendongkel kuasa ilmu Psikologi yang lahir lebih awal ketimbang Sosiologi, hingga masyarakat kala itu sangat memuja analisa Psikologi untuk memahami persoalan masyarakat.
Begitulah, bunuh diri adalah persoalan besar dalam masyarakat manusia. Menurut analisa ilmu Psikologi, bunuh diri lebih menyangkut masalah individual. Seorang pelaku bunuh diri dianggap bermasalah jiwanya, tak ada kaitan yang tegas dengan kondisi masyarakat tempat individu itu bertaut. Durkheim datang dengan analisa yang menarik dalam Suicide. Bunuh diri adalah persoalan masyarakat. Tidak ada individu yang bermasalah dengan tanpa sama bermasalahnya lingkungan yang melingkupinya.
Sajak Subagyo Sastrowardoyo diatas mampu menggambarkan analisa secara sastrawi. Seseorang yang bunuh diri sangat dipengaruhi oleh kondisi tempatnya bermukim. Perilaku bunuh diri adalah ‘paksaan’ yang diberikan oleh masyarakat kepada individu. Dalam suasana modernitas yang menjadikan individualisme sebagai basisnya, perilaku bunuh diri sangat mungkin marak. Tak ada komunikasi antar individu dalam masyarakat. Persoalan yang dihadapi seseorang adalah murni persoalan dia, masyarakat tak ikut campur! Maka, walau tiap agama mendoktrinkan bahwa bunuh diri adalah perilaku yang negatif, individu tak akan mendengarkan itu. “Tuhan adalah masyarakat”, demikian kalimat yang terkenal dari Durkheim. Untuk konteks bunuh diri, kalimat itu mengena sekali. Masyarakat yang hidup sendiri-sendiri cenderung ‘menyuruh’ individu untuk bertahan dengan caranya sendiri atau mengakhiri hidupnya via bunuh diri.
Dunia Kini Tidak Peka sangat memperlihatkan betapa geram ia pada kondisi masyarakat yang individualis. Namun, Subagyo berhasil menyimpan kegeraman itu dalam rangkaian kata sederhana. Hingga setelah kita selesai membaca sajak itu, barulah sadar bahwa Subagyo memang benar-benar geram.
Bunuh diri sebagai perilaku yang besar dalam masyarakat manusia dilukiskan Subagyo sebagai perilaku yang sepele, tiada guna, bahkan tidak penting sama sekali. Disinilah, Subagyo memprovokasi kita untuk terus hidup dengan rentetan kalimat yang tidak memuja kehidupan sebagai suatu yang perlu dan indah untuk dijalani. Dia menghina pelaku bunuh diri dalam sajak itu.
Sajak Subagyo itu memberi daya hidup dengan cara menyepelekan. Inilah asyiknya mendapatkan nafas untuk terus hidup melalui puisi. Ia tidak menyediakan nafas buatan atau tabung oksigen namun memberikan udara sedikit demi sedikit kepada kita. Hidup memang indah. Bunuh diri pun demikian. Ada sebagian masyarakat yang diteliti oleh Durkheim yang menjadikan bunuh diri sebagai sebentuk perilaku terhormat. Aturan yang ada di masyarakat melalui hukum adat memberikan sebuah sikap kepada individu bahwa bunuh diri merupakan keharusan agar menjadi manusia terhormat. Misalnya saja, masyarakat Jepang dengan harakiri, masyarakat India yang memilki aturan khusus bagi kaum perempuan untuk masuk ke dalam api ketika suaminya meninggal lebih dulu daripada istri. Dalam babad masyarakat kita pun ada perilaku bunuh diri yang menjadi legenda dan tidak dipandang sebagai sikap konyol. Contohnya bunuh diri Dyah Pitaloka ketika terjadi Perang Bubat. Putri kerajaan Pasundan yang cantik itu membunuh diri sebab kecewa dengan perilaku Gadjah Mada dan tidak rela menikah dengan seorang raja yang telah membunuh ayahnya. Itu bunuh diri terhormat. Sebuah moda bunuh diri yang disebut oleh Durkheim sebagai altruistic suicide. Tapi itu dahulu kala, sudah lama sekali hal itu terjadi.
Ketika sistem kemasyarakatan masih paguyuban, saat masalah individu adalah pula persoalan masyarakat, bunuh diri mungkin saja sebuah tindak yang terhormat. Tapi, ketika individualisme menguat dan masyarakat tak lebih dari sekadar sekumpulan individu tanpa menjadikan empati sebagai basisnya, maka bunuh diri adalah konyol. Benarlah Subagyo, bunuh dirimu sia-sia / memang / dunia kini tidak peka.
Dunia Kini Tidak Peka juga mengajak kita untuk menerawang tiap persoalan yang datang secara arif, yaitu senantiasa menautkan tiga bagian waktu: kemarin-sekarang-besok. Tentu saja, dari berpikir mendalam dengan tiga batasan waktu yang kait-mengait tersebut, kita mampu mencercap makna bahwa hidup memang indah. Setelah lahir tugas manusia adalah mempertahankan hidup—entah hidup dirinya sendiri atau orang lain. Subagyo telah melakukan hal itu melalui Dunia Kini Tidak Peka. Sajak itu telah memprovokasi saya untuk terus hidup. Terimakasih, Eyang Bag.(*)
dibubuhkan denyya ketika 15.39 0 tanggapan