Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Cerita Inspiratif Dari N Mursidi
[Saat berjalan-jalan di jejaring internet, saya membaca kisah dibawah ini. Setelah minta ijin kepada penulisnya, saya pasang kisah tersebut di blog ini. Tentu saja, karena kisah yang ditulis oleh N Mursidi ini sangat inspiratif. Judul asli kisah tersebut adalah "Honor Haram Sebuah Tulisan".]
SEBULAN lalu, tepatnya tanggal 12 Desember 2007 aku mendapatkan kabar mengejutkan dari rumah. Sebuah sms aku terima dari kakakku, yang mengabarkan bahwa aku mendapat kiriman wesel yang dialamatkan ke rumah untuk honor sebuah cerpenku yang telah dimuat --beberapa bulan lalu-- di koran Minggu Republika.
Sontak, aku terkejut, kaget dan nyaris tidak percaya. Setidaknya, ada tiga alasan yang membuatku tak percaya. Pertama, sejak aku hijrah ke Jakarta tiga tahun yang lalu, aku tak pernah mendapat wesel atau transfer untuk honor cerpenku yang dimuat di Republika. Sebab setiap kali ada cerpenku yang dimuat di Republika, esok harinya atau beberapa hari kemudian aku langsung mengambil ke kantor Republika -karena jika tak diambil langsung, honor lama ditransfer. Jadi, tak mungkin kalau honor untuk cerpenku dikirimkan oleh bagian keuangan Republika ke alamat rumah karena honor cerpen-cerpenku sudah aku ambil semua.Kedua, selama sebelas tahun aku menulis ke beberapa media --entah itu cerpen, resensi buku, opini atau esai sastra-- aku tidak pernah mencantumkan alamat untuk identitasku dengan memakai alamat rumah (Lasem, Rembang, Jateng) melainkan alamat Yogyakarta, karena aku dulu kuliah di Yogyakarta dan setelah aku hijrah ke Jakarta tiga tahun lalu, aku pindahkan ke alamat Jakarta. Jadi, bagaimana mungkin bagian keuangan Republika kemudian mengirimkan wesel untuk honor cerpenku itu ke rumah? Jelas, itu mustahil!
Ketiga, aku mengira kakakku iseng belaka saat mengirim sms itu, untuk sekadar menyindirku. Karena pada bulan Desember itu aku memang belum mengirim uang buat ibuku di rumah. Padahal, aku sudah berjanji akan mengirim uang satu juta untuk menutupi utang-utang ibuku yang harus aku bayar (yang belum lunas juga meski sudah aku cicil sejak aku kerja di Jakarta tiga tahun lalu) dengan harapan agar utang tersebut bisa segera lunas.
Tetapi aku segera menepis keraguanku itu. Pasalnya, aku yakin kakakku tak mungkin berbuat jahat untuk sekadar membohongiku. Apalagi, selama ini aku tidak pernah menemui kakakku berani berhohong kepadaku, untuk urusan uang yang kukirim buat ibu ke rumah. Toh, ia (yang sejatinya) sebagai kakak tertua dan punya tanggung jawab besar untuk membantu ibu, justru tak pernah membantu untuk melunasi utang ibuku karena kakakku memang masih menganggur dan terkena penyakit yang membuatnya tak bisa berbuat banyak untuk bisa mencari uang.
Tetapi bagaimana jika kakakku benar-benar bohong dan iseng menggodaku tentang kiriman wesel dari koran Republika itu?
Honor Haram
Sebersit pertanyaan itulah, yang kemudian menggerakkanku untuk segera memencet nomor hp kakak-ku. Tidak lama kemudian, suara kakakku dari seberang terdengar. Tak perlu basa-basi, aku segera melontarkan pertanyaan, "Apa benar aku telah mendapat wesel dari koran Republika?"
"Justru itulah yang ingin kutanyakan padamu! Pasalnya, selama ini kau tak pernah sekali pun mendapatkan wesel untuk honor cerpenmu yang dikirim ke rumah?""Sampai kapan pun hal itu jelas tak akan terjadi. Karena jika dikirim pun pasti akan ditransfer lewat rekeningku, atau kalau diweselkan pasti akan dikirim ke alamat kots-ku di Jakarta," jelasku.
"Tetapi kali ini hal itu benar-benar terjadi. Dan wesel tersebut kini berada dalam genggamanku," bantah kakakku tak mau kalah.
"Bagaimana mungkin honor tersebut bisa dikirim ke rumah?"
"Aku yang seharusnya bertanya padamu bagaimana hal ini bisa terjadi?"
"Ok! Biar nanti aku hubungi bagian keuangan Republika tetapi sekarang aku butuh keterangan untuk tanggal pemuatan cerpenku itu."
"Hanya ada keterangan untuk honor cerpenmu 7 Juli 2007."
Telepon kukutup. Sejurus kemudian, aku segera melacak cerpen-cerpenku yang pernah dimuat di harian Republika. Anehnya, setelah aku lacak, ternyata tanggal 7 Juli 2007 itu jatuh hari Sabtu. Jadi tak mungkin honor yang dikirim ke rumah itu adalah honor untuk cerpenku karena pemuatan cerpen hanya di hari Minggu saja. Di sisi lain, honor untuk cerpenku yang dimuat di Republika juga sudah kuambil semua ke kantor redaksi.
Akhirnya, aku berkesimpulan jika honor itu adalah "honor haram" untuk sebuah tulisan(ku).
Ujian dari Tuhan
Tak ingin mendapatkan honor haram, karena honor-honor cerpenku sudah dibayar semua oleh koran Republika, maka aku mengirim sms ke pak Tito (bagian keuangan di Republika yang selalu memberiku surat pengantar pencairan honor). Dalam sms itu, kuceritakan bahwa aku sudah menerima semua honor cerpenku yang dimuat di koran Republika, tapi kenapa tiba-tiba dibayar lagi lewat wesel dan anehnya dikirim ke alamat rumah?
Tak lama kemudian pak Tito membalas sms-ku bahwa honor untuk cerpenku ternyata dikirim ulang. Jadi aku mendapatkan honor ganda untuk sebuah tulisan cerpen. Dengan meminta maaf, pak Tito memintaku untuk mengembalikan honor itu dan aku tidak keberatan untuk mengembalikannya. Maka, aku segera mengirim sms pada kakakku untuk mengembalikan wesel tersebut.
Sehabis mengirim sms, aku hanya tercenung. Kenapa honor untuk cerpen itu bisa dikirim lagi? Kenapa koran Republika mengirim honor melalui wesel ke alamat rumah bukan ke alamatku Jakarta? Ada apakah di balik kejanggalan wesel yang dikirim ke rumah tersebut?
Terus terang, aku tak punya jawaban pasti. Tetapi, aku tak memungkiri kalau honor itu adalah satu ujian dari Allah untuk "menguji" kejujuranku. Dan itu terjadi saat aku sedang tidak punya uang padahal sudah terlanjur berjanji pada ibuku untuk mengirim uang. Tetapi, aku yakin suatu hari nanti Allah akan mengganti honor haram itu dengan honor yang halal. Aku juga yakin, Allah akan mengganti honor cerpenku (yang cuma Rp 400.000) itu dengan "honor halal" yang berlipat dan bahkan bisa jadi datangnya juga tak kusangka-sangka. Karena, aku tak memiliki keraguan bahwa Allah itu Maha Kaya dan Maha Pemurah.
Seminggu kemudian, apa yang kuyakini ternyata menjadi kenyataan. Aku hanya terhenyak kaget saat menjumpai dua tulisan-ku tiba-tiba muncul di media massa. Lebih aneh lagi, dua tulisanku itu nyaris tidak pernah kuprediksi akan dimuat karena memang sudah lama tidak ada kabar (untuk pemuatan kedua tulisan tersebut). Sungguh, di luar dugaanku!***
Ciputat, 11 Januari 2008

Tidak ada komentar: