Dangdut Kata-Kata Ala Putu Wijaya
::dipublikasi di Media Indonesia (Sabtu; 12 Januari 2008)
Kalau kehidupan ditamsilkan sebagai lautan, maka yakinlah ombaknya tak akan pernah tuntas menggoyang perahu kita. Tiba-tiba perahu oleng ke kiri atau miring ke arah kanan. Namun tak selamanya kondisi perahu yang mabuk karena ombak itu bikin kita mual dan muak. Perahu yang digoyang ombak itu kadang menghadirkan gelak tawa dan kian menghidupkan nyawa kita.
Yang irasional tak jarang tumpang-tindih dengan wilayah rasional dalam kehidupan ini. Perilaku yang lumrah kadang hanya berbeda ‘satu milimeter’ dengan kelakuan yang ganjil. Itulah pernak-pernik hidup yang senantiasa tidak berada di jalur serba lurus ini. Putu Wijaya, dalam pandangan saya, adalah sosok yang selalu mengusahakan terangkumnya rupa-rupa tanda kehidupan dalam karyanya. Kewajaran, keanehan, kegembiraan, kemurungan bisa muncul secara bergantian atau bersama-sama dalam tulisan Putu Wijaya.
Putu Wijaya menyebut karyanya sebagai teror mental. Pembaca dibuat seolah tidak aman melalui cerita yang tiba-tiba menukik kemudian secepat kilat mendatar kembali. Maka tak salah jika Ignas Kleden (2003:115) mengatakan bahwa Putu Wijaya memperlakukan pembaca sebagai orang dewasa yang harus dibangunkan dari tidur saat membaca karyanya. Putu Wijaya seolah memosisikan kita sebagai seorang korban yang telah lebam di wajahya, namun dengan heran bertanya; “Kapan saya dihantam?”.
Novel berjudul Nora ini diselesaikan Putu Wijaya pada 30 Januari 2004 di Indonesia. Sementara ia mulai menuliskannya ketika berada di Shugakuin, Kyoto, tahun 1992. Melihat rentang masa yang begitu panjang—sejak mulai menuliskan sampai selesai lalu diterbitkan—seharusnya buku ini hadir dengan minim kesalahan teknis. Faktanya, salah huruf atau kurang huruf pada kata masih sering nampak dalam buku ini.
Namun, melalui Nora, kiranya kita bisa melihat kesungguhan Putu Wijaya dalam menulis karya berbentuk tetralogi. Pada halaman depan buku ini tertera: Tetralogi Dangdut 1. Putu Wijaya tidak menjadikan karya sebagai industri yang bisa kehilangan nuansa. Penyematan rangkaian tiga kata itu bukan main-main. Artinya, Putu Wijaya telah menubuatkan bahwa Nora adalah sebuah karya yang akan saling sambung dengan beda nuansa di buku-buku berikutnya. Jadi, Putu bukan melempar sebuah karya, kemudian ketika animo pembaca terlihat pesat, barulah ia menyebut karyanya sebagai tetralogi. Oleh karena itu, laiklah jika publik patut menyambut Tetralogi Dangdut Putu Wijaya ini dengan semacam garansi tidak bakal kecewa.
Pembaca novel ini haruslah siap untuk—pinjam kata dalam bahasa Madura—caremet dengan ulah tiap tokoh didalamnya. Putu berhasil menggoyang pembaca dengan kisah yang berikhwal sepele namun menggemaskan.
Hanya karena tak sengaja melihat Mala sedang buang air kecil di halaman rumah, Nora menjadi pingsan beberapa hari dengan igauan yang aneh. Kemudian orangtua Nora memaksa Mala menikah dengan Nora. Mala tidak menolak secara langsung namun menyimpan gundah yang mendalam atas paksaan orangtua Nora tersebut. Berat hati Mala untuk membangun keluarga dengan Nora. Sebab ia adalah seorang redaktur sebuah media cetak ternama di ibu kota. Sementara Nora hanyalah gadis lugu yang tak terlalu cantik. Akhirnya Mala dan Nora menikah.
Gelombang lautan kehidupan bisa merubah sikap seseorang. Pelan-pelan Mala mencintai Nora secara sungguh. Namun saat itu pula, orangtua Nora meminta Mala membiayai pernikahan Nora dengan seseorang bernama Roni—keluarga jauh Nora dari kampung. Mala menolak dengan keras. Namun orangtua Nora seolah tak mengacuhkan penolakan itu.
Pembaca novel ini pasti caremet sebab susunan cerita yang dibangun oleh Putu Wijaya sungguh tidak masuk akal namun berhasil membangkitkan emosi kita. Secara umum, novel ini menghadirkan sebuah dunia dengan tingkat komunikasi yang minim. Dunia yang hanya diisi dengan prasangka. Hingga persahabatan, kehidupan kantor sampai percintaan bisa luluh-lantak dalam sekejap. Putu tidak bercerita tentang dunia kenyataan dalam novel ini. Ia justru mengusahakan terbangunnya sebuah dunia dengan sumber kisah-kisah dari dunia nyata.
Namun, selaiknya dongeng, kehidupan dalam buku ini membuat kita bisa percaya bahwa benar-benar terjadi di lingkungan keseharian Putu atau kita sendiri. Satu hal lain yang membuat kita wajib membaca buku ini; Putu Wijaya tetap konsisten menaburkan aforisma dalam halaman-halamannya. Kadang aforisma itu muncul dalam kemarahan, keakraban bahkan kegetiran. “Bukan kemerdekaan, tapi tanggung jawablah sebenarnya yang nikmat dan membahagiakan.” (hal.122), kalimat bijak ini justru menyeruak sehabis pertengkaran hebat antara Mala dan Nora di stasiun.
Novel ini mampu membuat kita sadar bahwa dibalik tiap kejadian dalam hidup ini ada pihak yang berperan sebagai dalang. Dengan lihai, Putu tidak memberi tahu dalang pada tiap adegan dalam novel ini. Pembaca diajak aktif untuk menduga dan memperkirakan sementara Putu hanya memberi petunjuk. Inilah kiranya ciri utama dari karya Putu Wijaya; selalu bersifat terbuka dan belum selesai penuh.
Akhirnya, siapkanlah diri untuk tiba-tiba tertawa, meringis atau bahkan menangis saat membaca novel Nora ini. Ya, Putu mampu menghadirkan gambaran kehidupan yang serba ‘tiba-tiba’ dalam novel ini. Bagai irama musik dangdut yang tiba-tiba mengajak kita bergoyang dengan henti yang bisa kapan saja; terserah kita.(*)
Yang irasional tak jarang tumpang-tindih dengan wilayah rasional dalam kehidupan ini. Perilaku yang lumrah kadang hanya berbeda ‘satu milimeter’ dengan kelakuan yang ganjil. Itulah pernak-pernik hidup yang senantiasa tidak berada di jalur serba lurus ini. Putu Wijaya, dalam pandangan saya, adalah sosok yang selalu mengusahakan terangkumnya rupa-rupa tanda kehidupan dalam karyanya. Kewajaran, keanehan, kegembiraan, kemurungan bisa muncul secara bergantian atau bersama-sama dalam tulisan Putu Wijaya.
Putu Wijaya menyebut karyanya sebagai teror mental. Pembaca dibuat seolah tidak aman melalui cerita yang tiba-tiba menukik kemudian secepat kilat mendatar kembali. Maka tak salah jika Ignas Kleden (2003:115) mengatakan bahwa Putu Wijaya memperlakukan pembaca sebagai orang dewasa yang harus dibangunkan dari tidur saat membaca karyanya. Putu Wijaya seolah memosisikan kita sebagai seorang korban yang telah lebam di wajahya, namun dengan heran bertanya; “Kapan saya dihantam?”.
Novel berjudul Nora ini diselesaikan Putu Wijaya pada 30 Januari 2004 di Indonesia. Sementara ia mulai menuliskannya ketika berada di Shugakuin, Kyoto, tahun 1992. Melihat rentang masa yang begitu panjang—sejak mulai menuliskan sampai selesai lalu diterbitkan—seharusnya buku ini hadir dengan minim kesalahan teknis. Faktanya, salah huruf atau kurang huruf pada kata masih sering nampak dalam buku ini.
Namun, melalui Nora, kiranya kita bisa melihat kesungguhan Putu Wijaya dalam menulis karya berbentuk tetralogi. Pada halaman depan buku ini tertera: Tetralogi Dangdut 1. Putu Wijaya tidak menjadikan karya sebagai industri yang bisa kehilangan nuansa. Penyematan rangkaian tiga kata itu bukan main-main. Artinya, Putu Wijaya telah menubuatkan bahwa Nora adalah sebuah karya yang akan saling sambung dengan beda nuansa di buku-buku berikutnya. Jadi, Putu bukan melempar sebuah karya, kemudian ketika animo pembaca terlihat pesat, barulah ia menyebut karyanya sebagai tetralogi. Oleh karena itu, laiklah jika publik patut menyambut Tetralogi Dangdut Putu Wijaya ini dengan semacam garansi tidak bakal kecewa.
Pembaca novel ini haruslah siap untuk—pinjam kata dalam bahasa Madura—caremet dengan ulah tiap tokoh didalamnya. Putu berhasil menggoyang pembaca dengan kisah yang berikhwal sepele namun menggemaskan.
Hanya karena tak sengaja melihat Mala sedang buang air kecil di halaman rumah, Nora menjadi pingsan beberapa hari dengan igauan yang aneh. Kemudian orangtua Nora memaksa Mala menikah dengan Nora. Mala tidak menolak secara langsung namun menyimpan gundah yang mendalam atas paksaan orangtua Nora tersebut. Berat hati Mala untuk membangun keluarga dengan Nora. Sebab ia adalah seorang redaktur sebuah media cetak ternama di ibu kota. Sementara Nora hanyalah gadis lugu yang tak terlalu cantik. Akhirnya Mala dan Nora menikah.
Gelombang lautan kehidupan bisa merubah sikap seseorang. Pelan-pelan Mala mencintai Nora secara sungguh. Namun saat itu pula, orangtua Nora meminta Mala membiayai pernikahan Nora dengan seseorang bernama Roni—keluarga jauh Nora dari kampung. Mala menolak dengan keras. Namun orangtua Nora seolah tak mengacuhkan penolakan itu.
Pembaca novel ini pasti caremet sebab susunan cerita yang dibangun oleh Putu Wijaya sungguh tidak masuk akal namun berhasil membangkitkan emosi kita. Secara umum, novel ini menghadirkan sebuah dunia dengan tingkat komunikasi yang minim. Dunia yang hanya diisi dengan prasangka. Hingga persahabatan, kehidupan kantor sampai percintaan bisa luluh-lantak dalam sekejap. Putu tidak bercerita tentang dunia kenyataan dalam novel ini. Ia justru mengusahakan terbangunnya sebuah dunia dengan sumber kisah-kisah dari dunia nyata.
Namun, selaiknya dongeng, kehidupan dalam buku ini membuat kita bisa percaya bahwa benar-benar terjadi di lingkungan keseharian Putu atau kita sendiri. Satu hal lain yang membuat kita wajib membaca buku ini; Putu Wijaya tetap konsisten menaburkan aforisma dalam halaman-halamannya. Kadang aforisma itu muncul dalam kemarahan, keakraban bahkan kegetiran. “Bukan kemerdekaan, tapi tanggung jawablah sebenarnya yang nikmat dan membahagiakan.” (hal.122), kalimat bijak ini justru menyeruak sehabis pertengkaran hebat antara Mala dan Nora di stasiun.
Novel ini mampu membuat kita sadar bahwa dibalik tiap kejadian dalam hidup ini ada pihak yang berperan sebagai dalang. Dengan lihai, Putu tidak memberi tahu dalang pada tiap adegan dalam novel ini. Pembaca diajak aktif untuk menduga dan memperkirakan sementara Putu hanya memberi petunjuk. Inilah kiranya ciri utama dari karya Putu Wijaya; selalu bersifat terbuka dan belum selesai penuh.
Akhirnya, siapkanlah diri untuk tiba-tiba tertawa, meringis atau bahkan menangis saat membaca novel Nora ini. Ya, Putu mampu menghadirkan gambaran kehidupan yang serba ‘tiba-tiba’ dalam novel ini. Bagai irama musik dangdut yang tiba-tiba mengajak kita bergoyang dengan henti yang bisa kapan saja; terserah kita.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar