Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Sajak Sepele Yang Memprovokasi

Ya, saya sudah kelelahan membaca sajak-sajak Subagyo Sastrowardoyo dalam Dan Kematian Makin Akrab (Grasindo;1995). Tentu saja, kelelahan itu adalah akronim dari “kenikmatan yang melelahkan”. Ya, nikmat sekali membaca sajak-sajak Subagyo dalam buku yang memuat kumpulan 100 sajak terbaiknya tersebut. Tiap kali membuka buku itu, mata dan tangan saya selalu tak pernah melewatkan halaman 100. Ada sajak yang sangat saya suka bersemayam di halaman itu. Sajak yang menyepelekan suatu yang besar namun sungguh memprovokasi—membuat emosi memuncak dan nalar berdecak.

Dunia Kini Tidak Peka, demikian judul sajak itu. Dalam sajak itu, Subagyo membawa misi melarang suatu kegiatan dilakukan oleh individu dengan cara menyepelekan tindakan itu. Kata-kata dalam sajak itu sederhana namun menancap sekali di hati. Subagyo Sastrowardoyo telah berhasi mengajak kita untuk berpikir ‘besar’ dengan sesuatu yang ‘sepele’ melalui sajak itu.

DUNIA KINI TIDAK PEKA

tak ada gunanya bunuh diri
memang
dunia kini tidak peka

sehari lamanya
orang menyayangkan nasibmu
dan melemparkan kesalahan:
kepada binimu
yang selalu bilang kau tak becus cari duit
kepada anakmu
yang malu bapanya hanya buruh kecil
kepada majikanmu
yang tidak menaikkan upah kerja

tapi hanya sehari:
lantas binimu mulai menjelekkan kamu lagi
sebagai laki tak bertanggungjawab
lantas anakmu di buku rapor menghapus namamu
yang mencemarkan kehormatan keluarga
lantas majikanmu bernapas lega
tidak perlu membayar gaji kepada satu tenaga

kuburmu di pinggir kampung
tinggal terlantar
sebab tak ada yang peduli
siapa kamu dulunya

bunuh dirimu sia-sia
memang
dunia kini tidak peka

[ditulis ulang dengan bentuk sesuai yang tertera di
Dan Kematian Makin Akrab (Grasindo:1995) halaman 100]

Bunuh diri adalah perilaku yang tidak sepele. Sejak manusia mulai berhimpun dan kata masyarakat lahir di bumi ini, bunuh diri mulai menjadi salah satu perilaku manusia. Kita bisa melacak dari sejumlah pemikiran ilmu sosial. Emile Durkheim menjadikan fenomena bunuh diri sebagai alat untuk menegakkan tradisi keilmuan Sosiologi. August Comte—yang dimaklumi sebagai pendiri Sosiologi dan wafat dengan cara bunuh diri tahun 1857—dipandang oleh Durkheim hanya memberikan batu pijakan bagi ilmu Sosiologi namun tidak menyediakan alat analisa yang memadai bagi terbangunnnya tradisi keilmuan Sosiologi di masa nanti. Bunuh diri yang terjadi di Eropa merupakan alat bagi Durkheim untuk membangun tradisi metodologi yang sampai saat ini masih tumbuh dan telah melahirkan beragam cabang, yaitu metodologi kuantitatif. Bahkan, melalui analisa tentang perilaku bunuh diri, Durkheim ingin mendongkel kuasa ilmu Psikologi yang lahir lebih awal ketimbang Sosiologi, hingga masyarakat kala itu sangat memuja analisa Psikologi untuk memahami persoalan masyarakat.

Begitulah, bunuh diri adalah persoalan besar dalam masyarakat manusia. Menurut analisa ilmu Psikologi, bunuh diri lebih menyangkut masalah individual. Seorang pelaku bunuh diri dianggap bermasalah jiwanya, tak ada kaitan yang tegas dengan kondisi masyarakat tempat individu itu bertaut. Durkheim datang dengan analisa yang menarik dalam Suicide. Bunuh diri adalah persoalan masyarakat. Tidak ada individu yang bermasalah dengan tanpa sama bermasalahnya lingkungan yang melingkupinya.

Sajak Subagyo Sastrowardoyo diatas mampu menggambarkan analisa secara sastrawi. Seseorang yang bunuh diri sangat dipengaruhi oleh kondisi tempatnya bermukim. Perilaku bunuh diri adalah ‘paksaan’ yang diberikan oleh masyarakat kepada individu. Dalam suasana modernitas yang menjadikan individualisme sebagai basisnya, perilaku bunuh diri sangat mungkin marak. Tak ada komunikasi antar individu dalam masyarakat. Persoalan yang dihadapi seseorang adalah murni persoalan dia, masyarakat tak ikut campur! Maka, walau tiap agama mendoktrinkan bahwa bunuh diri adalah perilaku yang negatif, individu tak akan mendengarkan itu. “Tuhan adalah masyarakat”, demikian kalimat yang terkenal dari Durkheim. Untuk konteks bunuh diri, kalimat itu mengena sekali. Masyarakat yang hidup sendiri-sendiri cenderung ‘menyuruh’ individu untuk bertahan dengan caranya sendiri atau mengakhiri hidupnya via bunuh diri.

Dunia Kini Tidak Peka sangat memperlihatkan betapa geram ia pada kondisi masyarakat yang individualis. Namun, Subagyo berhasil menyimpan kegeraman itu dalam rangkaian kata sederhana. Hingga setelah kita selesai membaca sajak itu, barulah sadar bahwa Subagyo memang benar-benar geram.

Bunuh diri sebagai perilaku yang besar dalam masyarakat manusia dilukiskan Subagyo sebagai perilaku yang sepele, tiada guna, bahkan tidak penting sama sekali. Disinilah, Subagyo memprovokasi kita untuk terus hidup dengan rentetan kalimat yang tidak memuja kehidupan sebagai suatu yang perlu dan indah untuk dijalani. Dia menghina pelaku bunuh diri dalam sajak itu.

Sajak Subagyo itu memberi daya hidup dengan cara menyepelekan. Inilah asyiknya mendapatkan nafas untuk terus hidup melalui puisi. Ia tidak menyediakan nafas buatan atau tabung oksigen namun memberikan udara sedikit demi sedikit kepada kita. Hidup memang indah. Bunuh diri pun demikian. Ada sebagian masyarakat yang diteliti oleh Durkheim yang menjadikan bunuh diri sebagai sebentuk perilaku terhormat. Aturan yang ada di masyarakat melalui hukum adat memberikan sebuah sikap kepada individu bahwa bunuh diri merupakan keharusan agar menjadi manusia terhormat. Misalnya saja, masyarakat Jepang dengan harakiri, masyarakat India yang memilki aturan khusus bagi kaum perempuan untuk masuk ke dalam api ketika suaminya meninggal lebih dulu daripada istri. Dalam babad masyarakat kita pun ada perilaku bunuh diri yang menjadi legenda dan tidak dipandang sebagai sikap konyol. Contohnya bunuh diri Dyah Pitaloka ketika terjadi Perang Bubat. Putri kerajaan Pasundan yang cantik itu membunuh diri sebab kecewa dengan perilaku Gadjah Mada dan tidak rela menikah dengan seorang raja yang telah membunuh ayahnya. Itu bunuh diri terhormat. Sebuah moda bunuh diri yang disebut oleh Durkheim sebagai altruistic suicide. Tapi itu dahulu kala, sudah lama sekali hal itu terjadi.

Ketika sistem kemasyarakatan masih paguyuban, saat masalah individu adalah pula persoalan masyarakat, bunuh diri mungkin saja sebuah tindak yang terhormat. Tapi, ketika individualisme menguat dan masyarakat tak lebih dari sekadar sekumpulan individu tanpa menjadikan empati sebagai basisnya, maka bunuh diri adalah konyol. Benarlah Subagyo, bunuh dirimu sia-sia / memang / dunia kini tidak peka.

Dunia Kini Tidak Peka juga mengajak kita untuk menerawang tiap persoalan yang datang secara arif, yaitu senantiasa menautkan tiga bagian waktu: kemarin-sekarang-besok. Tentu saja, dari berpikir mendalam dengan tiga batasan waktu yang kait-mengait tersebut, kita mampu mencercap makna bahwa hidup memang indah. Setelah lahir tugas manusia adalah mempertahankan hidup—entah hidup dirinya sendiri atau orang lain. Subagyo telah melakukan hal itu melalui Dunia Kini Tidak Peka. Sajak itu telah memprovokasi saya untuk terus hidup. Terimakasih, Eyang Bag.(*)

Tidak ada komentar: