Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Bersuara Tidak Untuk Kekerasan
::dipublikasi di Harian Radar Jember (16/01/2008)

Pada 28 Januari 2007, Jember akan kedatangan seorang tamu yang cukup istimewa. Ia adalah Inu Kencana, sosok kontroversial terkait sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di Insitut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)—dulu STPDN. Ketika mayoritas staf pengajar di almamaternya mengunci mulut, Inu justru bersuara lantang soal perilaku kekerasan yang menyeruak di IPDN. Tak sedikit pujian disematkan kepadanya sebagai ‘peniup peluit’.

Namun, caci-maki juga kerap menghampiri Inu. Ia dinilai sebagai sosok yang hanya mencari sensasi untuk kepentingan pribadi. Setelah beberapa bukunya yang mengulas tuntas kekerasan di IPDN terbit, keyakinan negatif banyak pihak yang sentimen kepadanya pun makin menjadi-jadi. “Oalah..pengen nulis buku toh rupa-rupanya”, banyak yang berkomentar demikian. Padahal Inu telah menerbitkan sejumlah buku tentang administrasi pemerintahan di masa lampau. Bahkan, Inu pernah dikejar-kejar oleh anak didiknya di IPDN yang berjenis kelamin perempuan setelah ia menyiarkan bahwa di IPDN marak terjadi kasus abortus.

Kekerasan itu, mungkin, bagai cendawan di musim hujan. Bisa tumbuh di pelbagai tempat yang memberinya peluang. Media massa telah memberi kabar kepada kita; ada guru memukul muridnya, suami menyiram air raksa ke tubuh istrinya sampai seorang anak yang tega membunuh ibu kandungnya. Kekerasan mampu menerabas batas status ekonomi, tingkat pendidikan bahkan suku dan agama.

Maka dari itu, saya sering terkaget-kaget saat mendengarkan cerita beberapa perempuan yang menolak menikah karena takut mengalami KDRT. Kekerasan tidak hanya meninggalkan bekas fisik semata. Gegar pada sisi psikologis ternyata bersifat massal—tidak hanya dialami oleh korban kekerasan semata.

Saya juga sering mesem-mesem saat beberapa teman di luar negeri—yang saya kenal via online di internet—berkomentar miring tentang Islam dan Indonesia karena maraknya kasus terorisme. Saya tak mampu marah dalam menjawab komentar yang dikirim lewat e-mail itu. Biasanya, saya selalu menyitir aforisma milik penyair asal India Rabindranath Tagore: “Apabila engkau menutup pintumu bagi semua kesalahan, bagaimana kebenaran hendak masuk?”.

Kekerasan akan bersemi dengan subur pada kelompok yang serba tertutup. ‘Pihak luar’ dan ‘pihak dalam’ tidak bisa dengan mudah mengakses dan memberi informasi tentang segala hal yang berlangsung di dalam kelompok tersebut. Kesetaraan dan kebebasan dalam memperoleh informasi adalah kunci untuk membentuk masyarakat yang minim melakukan kekerasan.

Hal tersebut tentu saja disebabkan karena kekerasan pun memiliki pelbagai tafsir. Kita masih ingat betul ketika kasus kekerasan di IPDN mulai terdengar oleh publik, ada ‘pihak dalam’ dari kampus tersebut yang berkomentar bahwa hal itu adalah biasa. Alasannya, kekerasan diperlukan untuk melatih fisik dan disiplin para mahasiswa di IPDN. Namun Inu Kencana berada satu jalur dengan nalar publik di luar IPDN. Senior yang menerjang perut yunior adalah kekerasan dan tidak laik terjadi di kampus terhormat seperti IPDN.

Tapi, tidak seluruh mahasiswa IPDN melakukan kekerasan, toh? Demikian juga berlaku pada istri yang mengalami KDRT. Tidak semua laki-laki (baca: suami) berperilaku keras pada perempuan. Dan mayoritas umat Islam (juga rakyat Indonesia) menolak dengan tegas pelbagai bentuk terorisme.

Api tidak akan cepat padam jika dilawan dengan api. Hanya guyuran air yang sanggup menumpaskan nyala api. Kekerasan hanya akan mampu dihilangkan dengan kebebasan menyebarkan dan memperoleh informasi oleh ‘pihak dalam’ dan ‘pihak luar’ dari suatu kelompok. Inu Kencana tidak sendirian melawan praktik kekerasan di IPDN. Ia menulis buku dan berkomentar di media massa hingga publik pun dilibatkan dalam usahanya menghapus kekerasan di kampus terhormat yang ada di Jatinangor itu. Inu melakukan itu bukan karena ingin jadi pahlawan. Tapi karena ia memiliki keberanian untuk mengungkap kebobrokan almamaternya. Lebih jauh, kita bisa melihat perilaku Inu sebagai perwujudan rasa cinta kepada kampusnya. Cinta Inu Kencana bukanlah cinta buta yang membuatnya berdiam diri pada praktik kekerasan di IPDN.

Para istri yang sering disakiti suami—baik lahir maupun batin—jangan menutup mulut dengan alasan cinta kepada suami. Demikian pula para murid yang pernah dipukul oleh gurunya. Contohlah keberanian Inu Kencana menginformasikan perilaku tidak terhormat yang kerap berjalan di IPDN. Konon, kini kampus di Jalan Raya Sumedang-Jatinangor itu tengah berbenah diri. Inu Kencana sang peniup peluit itu nampaknya mampu merangsang perbaikan di IPDN.

Akhirnya, karena kekerasan tak bisa jauh dari silang tafsir yang beragam, maka masyarakat yang senantiasa berusaha menghapusnya haruslah menjadikan dialog sebagai dasar berinteraksi. Oleh karena itu, usaha menghapus kekerasan harus pula dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Hal tersebut tentu saja adalah rangka untuk mencapai kesetaraan dalam dialog. Masyarakat yang selalu memperbaiki diri dengan dialog adalah kumpulan individu yang bersuara “tidak” untuk kekerasan.(*)

Tidak ada komentar: