Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.


Duka Perempuan Afghanistan
::dipublikasi di Harian Seputar Indonesia (Minggu; 20 Januari 2008)

A Thousand Splendid Suns adalah novel kedua yang ditulis Khaled Hosseini. Internis (dokter ahli penyakit dalam) kelahiran Afghanistan yang kini menetap di Amerika Serikat tersebut pertama kali menerbitkan novel berjudul Kite Runner (2003). Sejumlah prestasi ditorehkan oleh novel pertamanya; terjual lebih dari 8 juta kopi di seluruh dunia, diterjemahkan ke dalam 42 bahasa dan lebih dari 2 tahun bertengger di daftar New York Times bestseller. Atas alasan itulah kiranya, Penerbit Qanita kembali menerbitkan terjemahan novel kedua karya Hosseini.

Karier menulis Khaled Hosseini benar-benar tak bisa dilepaskan dari Kite Runner. Berkat karya pertamanya itulah, ia menjadi duta besar keliling dari UNHCR (Ruang Baca Koran Tempo; 30 Mei 2007). Ia mengunjungi Afghanistan dan sejumlah negara yang sedang didera konflik. Atas pengalaman itulah, maka A Thousand Splendid Suns ditulis sangat serius oleh Hosseini. Selama di Afghanistan, ia mewawancarai sejumlah perempuan untuk dijadikan bahan dasar dalam mengarang novel keduanya.

Sekadar mengingat, Kite Runner terbit dalam terjemahan bahasa Indonesia pada tahun 2006 (oleh Penerbit Qanita). Artinya, ada jarak sekira 3 tahun sejak novel itu terbit dalam versi aslinya di Amerika Serikat. Sementara itu, A Thousand Splendid Suns terbit pertama kali pada 22 Mei 2007 di Eropa dan Amerika Serikat. Terjemahan dalam bahasa Indonesia terbit lima bulan kemudian, yaitu pada November 2007.

Boleh jadi, cepatnya novel kedua Hosseini beredar dalam bahasa Indonesia karena terpengaruh prestasi yang direngkuh oleh Kite Runner. Bahkan, pada sampul bagian belakang dari A Thousand Splendid Suns tertera torehan prestasi dari novel pertama Hosseini tersebut. Nampaknya, Penerbit Qanita masih belum terlalu yakin bahwa novel kedua Hosseini akan disambut baik oleh pembaca buku di Indonesia.

Semangat menulis yang dimiliki oleh Hosseini dalam A Thousand Splendid Suns benar-benar terpancar kuat. Ia mampu menghadirkan lukisan Afghanistan dengan nilai-nilai lokalitasnya. Maka dari itu, dalam novel ini, kata-kata khas yang digunakan oleh masyarakat Afghanistan untuk menyebut benda, tempat atau masakan sangat sering nampak.

Salah satu fungsi dari penerjemahan karya sastra asing ke bahasa Indonesia adalah sebagai wahana bertukar informasi kebudayaan. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah jika kata-kata khas lokalitas dalam karya sastra terjemahan dibubuhi semacam keterangan oleh penerjemah. Hal ini tidak terdapat dalam A Thousand Splendid Suns versi bahasa Indonesia. Begitu banyak kata dalam bahasa Afghanistan yang tidak diberi keterangan.

Ada dua kemungkinan terkait hal ini. Pertama, penerjemah sengaja membiarkan hal itu terjadi karena ingin memberikan nuansa asli yang dilukiskan oleh si penulis. Tetapi, alasan ini justru menjadi ganjil jika diajukan oleh penerjemah. Sebab nuansa dari karya sastra justru bisa dirasakan oleh pembaca tatkala ada kesepahaman makna pada tiap kata. Kedua, penerjemah memang malas mencari keterangan mengenai kata-kata berbahasa Afghanistan yang ada di novel ini.

Waktu lima bulan untuk menerjemahkan karya Hosseini tersebut, kiranya menunjukkan bahwa penerjemah tidak malas. Namun, terlihat sekali bahwa novel kedua Hosseini yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini hadir dengan semangat yang terlalu tergesa. Hingga penerjemah abai pada hal mendasar terkait karya sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

***

Publik Indonesia patut membentangkan tangan selebar-lebarnya untuk menyambut novel kedua Khaled Hosseini. Tentu saja bukan sekadar disebabkan bahwa Hosseini adalah lelaki asli Afghanistan, hingga memiliki kesamaan benua dan agama dengan mayoritas penduduk Indonesia. Lebih jauh, Hosseini mampu melukiskan pengorbanan seorang perempuan dengan tamsil yang sama dengan persepsi masyarakat Indonesia.

Seperti apa kasih seorang perempuan (ibu) diibaratkan oleh masyarakat Indonesia? Pada bait lagu kanak-kanak kita temukan jawabannya; “Kasih ibu kepada beta...hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Seperti itu jualah Hosseini melukiskan sosok tokoh utama dalam A Thousand Splendid Suns.

Khaled Hosseini mampu meracik dengan apik cerita tentang perempuan Afghanistan yang dikungkung oleh kekuasaan pada level masyarakat dan negara. Dengan cukup detail, Hosseini menggambarkan penderitaan kaum perempuan di bawah otoritas adat yang berlaku di Afghanistan. Namun, penggambaran itu jauh sekali dari nada pemberontakan—yang umum kita temui dalam karya sastra bergenre feminis. Hosseini mampu menghadirkan sebuah thick description melalui emosi yang diolah dengan baik pada tiap tokoh.

Ada dua tokoh perempuan dalam novel ini. Mariam adalah seorang anak yang selalu menerima perbedaan versi sejarah mengenai muasal diri dan ayahnya. Nana (ibu Mariam) adalah seorang pembantu dari keluarga besar Jalil Khan. Ia dihamili oleh Jalil dan kemudian lahirlah Mariam. Namun, karena Nana berasal dari kalangan miskin dan hina, keluarga Jalil tidak mau menerima kehadirannya. Walau adat di Afghanistan memperbolehkan lelaki mengumpulkan istrinya pada satu atap. Nana selalu membicarakan Jalil dalam nada negatif kepada Mariam.

Tetapi, Jalil Khan adalah ayah yang baik bagi Mariam. Ia tetap mengunjungi Mariam seminggu sekali. Kisah hidup Mariam berangsur pilu saat Jalil membawanya ke rumah keluarga besarnya. Mariam dipaksa menikah dengan Rasheed pada usia 15 tahun. Jalil yang selama ini mendapat kesan positif di mata Mariam sontak berubah. Kemudian Mariam harus menerima nasib laiknya kebanyakan perempuan Afghanistan. Rasheed menikah lagi dengan Laila.

Berbeda dengan Mariam, Laila adalah sosok perempuan terpelajar. Awalnya, Mariam tidak menyambut kehadiran Laila sebagai istri Rasheed. Namun, setelah anak pertama Laila lahir, hubungan mereka kian dekat. Mariam dan Laila dilukiskan oleh Hosseini sebagai dua matahari yang terus bersinar dalam kondisi mendung sekalipun.

Penderitaan kaum perempuan Afghanistan menemukan semacam oase pencerahan tatkala rezim komunis Uni Soviet mampu berkuasa di negeri itu. Sekolah-sekolah mulai menerima kaum perempuan. Burqa (penutup tubuh yang tebal dan menyeluruh) tak lagi harus digunakan saat perempuan berada di luar rumah. Namun, rezim komunis memerintah Afghanistan dengan tangan besi. Segi-segi lokalitas Afghanistan dibabat habis. Kaum kaya dimiskinkan dalam drama yang sungguh menyedihkan sebagaimana dituliskan oleh Hosseini.

Seiring keruntuhan Uni Soviet, Taliban memenangkan pertarungan dengan rezim komunis di Afghanistan. Namun masyarakat Afghanistan mengalami masa kelam yang sama mencekamnya seperti saat dikuasai oleh rezim komunis. Taliban menerapkan aturan yang sangat ketat.

Hosseini dengan sangat rapi merekam harapan-harapan masyarakat Afghanistan ketika masih berada dibawah kuasa rezim komunis dan Taliban berikut kekecewaan yang akhirnya mereka alami. Maka dari itu, novel ini lebih menekankan bahwa kesalahan suatu rezim muncul karena individu yang berada didalamnya bukan karena sumber ajaran yang digunakan oleh rezim itu untuk memerintah.

Hosseini dengan cukup melankolik menggambarkan perjuangan yang sederhana dari Mariam dan Laila untuk terus hidup walau badai masalah tak kunjung selesai mendera mereka. Pesan utama dari novel ini yaitu penderitaan yang dirasakan oleh kaum perempuan dibawah kungkungan rezim atau masyarakat yang tertutup adalah pula kejahatan terhadap kemanusiaan. Khaled Hosseini mampu menuliskan kisah Mariam dan Laila dengan gaya yang sangat filmis. Hingga pembaca bisa dipastikan tiada pernah bosan untuk menkmati novel ini dalam satu kali pembacaan tanpa henti.

Melihat alur kisah yang sungguh menawan dalam novel ini, kita bisa melihat bahwa Hosseini telah laik untuk menanggalkan prestasi yang diraihnya melalui Kite Runner. Lebih jauh, saya yakin bahwa karya kedua Hosseini dalam bahasa Indonesia ini akan naik cetak lagi pada tahun-tahun kedepan. Maka dari itu tak ada salahnya jika mulai sekarang, penerjemah novel ini mencari makna kata-kata dalam bahasa Afghanistan yang belum dibubuhkan keterangan sama sekali. Tentu saja agar pembaca dapat makin meresapi pesan kemanusiaan berlatar-kisah Afghanistan yang disampaikan Hosseini dalam buku ini.(*)

Tidak ada komentar: