Ada di Radar Jember
***Saya harus pasang tulisan ini di ruang maya. Bukan apa-apa, hanya sebagai ungkapan terimakasih kepada Harian Radar Jember yang telah kembali menggiatkan kerja tulis-menulis di Kota Suwar-Suwir. Dan tentu saja, ini kali pertama, tulisan saya dipublikasi mendapat imbalan sebuah buku. Saya makin yakin, ada keterikatan kuat antara buku, membaca dan menulis.***
Jalan Jawa
Cak Subar, pemilik salah satu warung cangkruk tertua di daerah Sumber Sari, berkata kepada saya; “Dulu Jalan Jawa itu tidak ada”. “Kalau mau ke Alun-alun, maka harus memutar dulu lewat Mastrip atau Geladak Kembar”, imbuh lelaki yang mewarisi warungnya dari sang ibu (Mak Tika). Anak sulung dari Mak No—pemilik warung di Jalan Bangka--, Cak Kacung, pun berkata serupa kepada saya di waktu yang lain. Kepada para ‘orangtua’ yang saya kenal di Jember ini, saya memang sering bertanya tentang kisah yang tertimbun dalam suatu gedung, seruas jalan sampai sesosok manusia yang menjadi legenda di tanah Tawang Alun ini. Sebab saya adalah perantau. Dan kewajiban perantau adalah menggali akar suatu pohon agar dapat tumbuh sebagai ranting dari batang yang sama.
Jalan Jawa berada dalam mazhab pembangunan khas Orde Baru—yang konon menganut modernisasi. Sebagaimana diterangkan oleh sejumlah teoritisi, maka modernisasi dianggap sebagai era ketika manusia mampu melahirkan artefak jutaan kali lebih banyak dari era sebelumnya. Artefak itu dalam kamus modernisasi adalah teknologi. Ihwalnya, tentu saja, teknologi berfungsi memudahkan pekerjaan manusia. Seperti Jalan Jawa—mengikuti tuturan Cak Subar diatas—yang membuat masyarakat Sumber Sari tak harus berjalan jauh hanya untuk makan nasi goreng di Alun-alun.
Tetapi modernisasi—yang merupakan anak kandung dari terbitnya Abad Pencerahan di Eropa—tak henti-henti dikeluhkan oleh banyak pihak. Modernisasi justru membuat masyarakat tercerabut dari pohon asal mereka. Pun demikian dengan teknologi yang beralih dari fungsi awalnya. Manusia kini justru menjadi budak, bukan tuan dari teknologi. Jalan Jawa, sedikit banyak, telah menampakkan hal itu.
Sekira 6 tahun lalu, Jalan Jawa—bagi saya—adalah jalan yang ramping. Sungguh mudah menemui tanah lapang berumput di pinggirannya. Kini Jalan Jawa bagai kelebihan muatan—gemuk oleh sejumlah bangunan baru. Tanah lapang hanya bisa saya kenang, 6 tahun sungguh(kah) cepat (?).
Jalan bukan sekadar merujuk pada kata yang terkait dengan sarana teknologi-transportasi. Namun ia juga mengandung unsur ekonomis, politis, kultural yang saling berkelindan. Dan bagi saya, Jalan Jawa adalah Jalan Perantau. Di jalan itu, para perantau saling memandang/menyapa dalam bingkai ekonomis dan politis serta bertukar baju kultur secara perlahan.
Bagi PKL, jalan memilki fungsi ekonomis yang luarbiasa pentingnya. Jalanan adalah sumber kebulan asap di dapur. Sebab tak ada sawah untuk digarap atau hewan untuk diternakkan. Jalan adalah tempat bersuara-aspirasi, itu bagi mahasiswa—walau bukti dari hal ini kian tak nampak di Jalan Jawa. Jalan ialah pula pentas bergaya bagi mereka yang memiliki kendaraan bermesin motor.
Seorang bijak pernah berkata kepada saya; “Kalau mendapat sesuatu dari jalan, maka akan kembali kesana lagi”. Sungguhkah jalan benar-benar keras hingga tak mengenal kompromi seperti tersirat dari pernyataan tersebut? Mungkin benar. Tetapi, ranah ekonomis, politis dan lainnya adalah bentukan manusia. Hingga tak menutup pintu bagi tafsir hati nurani bernama toleransi.
Kita harus berkompromi pada keberadaan PKL di sekitar Jalan Jawa. Sebab PKL—meminjam judul lagu Iwan Fals—adalah Bunga Trotoar yang kita yakin akan menjaga kebersihan dan keharuman tempatnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Para PKL itu pun telah berjasa memperkenalkan budaya cangkruk kepada para perantau yang hilir-mudik di Jalan Jawa.
Pada Jalan Jawa yang kian padat, saya sulit menyeberang dari sisi satu ke tepi lainnya. Kendaraan bermotor itu sungguh menguasai manusia yang menungganginya. Seolah luntur budaya tepa-selira, saling memberi kesempatan pada yang lain dan pemeo “lambat asal selamat” jika sudah di Jalan Jawa.
Saya tak pernah melihat sebuah kendaraan bermotor berhenti sejenak secara spontan ketika ada seseorang ingin menyeberang di Jalan Jawa. Harus ada instrumen yang menghentikan kendaraan itu—macam zebra-cross. Sayangnya, instrumen untuk menyeberang itu amat jarang kita temui di sesaknya Jalan Jawa—hanya ada satu zebra-cross di jalan sepanjang itu.
Jalan Jawa mengabarkan berita penting kepada kita: keberagaman. Dan Jalan Jawa sejak awal berfungsi memudahkan kegiatan kita bukannya memutus tali kemanusiaan antar-pribadi sebab guliran yang maha-dahsyat dari modernisasi. Pun bukan pula kian mencabut kearifan tradisional yang sejak lama dibentuk oleh leluhur di Tanah Jember ini.
Sebuah jembatan tertidur tenang pada Jalan Jawa,. Jika direnungi mendalam, jembatan itu adalah simbol dari keharusan membina komunikasi dalam keberagaman lalu-lalang disana. Sayang, jembatan itu juga bisa kita tafsirkan lain. Tak ada titimangsa dari pembuatan atau peresmian yang bisa dilihat oleh para perantau tertera pada jembatan itu. Inikah bukti bahwa modernisasi—sebab cirinya yang melulu fisik—senantiasa memendam dalam-dalam sifat toleransi dan sisi historis dari suatu lokus (daerah)? Saya tak bisa pastikan. Hanya saja—sebab manusia berhati-nurani—saya yakin, kita bisa kembali belajar membina toleransi dalam keberagaman dan mengembangkan nilai-nilai historis warisan leluhur mulai dari Jalan Jawa. Kita berhak dan wajib melakukan semua itu.(*)
***Dipublikasi di Harian Radar Jember (06/12/2007) dengan judul Jalan Jawa dan Warung Cangkrukan. Naga-naganya pengubahan judul yang dilakukan redaksi membuat keseksian tulisan ini jadi berkurang.***
Jalan Jawa berada dalam mazhab pembangunan khas Orde Baru—yang konon menganut modernisasi. Sebagaimana diterangkan oleh sejumlah teoritisi, maka modernisasi dianggap sebagai era ketika manusia mampu melahirkan artefak jutaan kali lebih banyak dari era sebelumnya. Artefak itu dalam kamus modernisasi adalah teknologi. Ihwalnya, tentu saja, teknologi berfungsi memudahkan pekerjaan manusia. Seperti Jalan Jawa—mengikuti tuturan Cak Subar diatas—yang membuat masyarakat Sumber Sari tak harus berjalan jauh hanya untuk makan nasi goreng di Alun-alun.
Tetapi modernisasi—yang merupakan anak kandung dari terbitnya Abad Pencerahan di Eropa—tak henti-henti dikeluhkan oleh banyak pihak. Modernisasi justru membuat masyarakat tercerabut dari pohon asal mereka. Pun demikian dengan teknologi yang beralih dari fungsi awalnya. Manusia kini justru menjadi budak, bukan tuan dari teknologi. Jalan Jawa, sedikit banyak, telah menampakkan hal itu.
Sekira 6 tahun lalu, Jalan Jawa—bagi saya—adalah jalan yang ramping. Sungguh mudah menemui tanah lapang berumput di pinggirannya. Kini Jalan Jawa bagai kelebihan muatan—gemuk oleh sejumlah bangunan baru. Tanah lapang hanya bisa saya kenang, 6 tahun sungguh(kah) cepat (?).
Jalan bukan sekadar merujuk pada kata yang terkait dengan sarana teknologi-transportasi. Namun ia juga mengandung unsur ekonomis, politis, kultural yang saling berkelindan. Dan bagi saya, Jalan Jawa adalah Jalan Perantau. Di jalan itu, para perantau saling memandang/menyapa dalam bingkai ekonomis dan politis serta bertukar baju kultur secara perlahan.
Bagi PKL, jalan memilki fungsi ekonomis yang luarbiasa pentingnya. Jalanan adalah sumber kebulan asap di dapur. Sebab tak ada sawah untuk digarap atau hewan untuk diternakkan. Jalan adalah tempat bersuara-aspirasi, itu bagi mahasiswa—walau bukti dari hal ini kian tak nampak di Jalan Jawa. Jalan ialah pula pentas bergaya bagi mereka yang memiliki kendaraan bermesin motor.
Seorang bijak pernah berkata kepada saya; “Kalau mendapat sesuatu dari jalan, maka akan kembali kesana lagi”. Sungguhkah jalan benar-benar keras hingga tak mengenal kompromi seperti tersirat dari pernyataan tersebut? Mungkin benar. Tetapi, ranah ekonomis, politis dan lainnya adalah bentukan manusia. Hingga tak menutup pintu bagi tafsir hati nurani bernama toleransi.
Kita harus berkompromi pada keberadaan PKL di sekitar Jalan Jawa. Sebab PKL—meminjam judul lagu Iwan Fals—adalah Bunga Trotoar yang kita yakin akan menjaga kebersihan dan keharuman tempatnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Para PKL itu pun telah berjasa memperkenalkan budaya cangkruk kepada para perantau yang hilir-mudik di Jalan Jawa.
Pada Jalan Jawa yang kian padat, saya sulit menyeberang dari sisi satu ke tepi lainnya. Kendaraan bermotor itu sungguh menguasai manusia yang menungganginya. Seolah luntur budaya tepa-selira, saling memberi kesempatan pada yang lain dan pemeo “lambat asal selamat” jika sudah di Jalan Jawa.
Saya tak pernah melihat sebuah kendaraan bermotor berhenti sejenak secara spontan ketika ada seseorang ingin menyeberang di Jalan Jawa. Harus ada instrumen yang menghentikan kendaraan itu—macam zebra-cross. Sayangnya, instrumen untuk menyeberang itu amat jarang kita temui di sesaknya Jalan Jawa—hanya ada satu zebra-cross di jalan sepanjang itu.
Jalan Jawa mengabarkan berita penting kepada kita: keberagaman. Dan Jalan Jawa sejak awal berfungsi memudahkan kegiatan kita bukannya memutus tali kemanusiaan antar-pribadi sebab guliran yang maha-dahsyat dari modernisasi. Pun bukan pula kian mencabut kearifan tradisional yang sejak lama dibentuk oleh leluhur di Tanah Jember ini.
Sebuah jembatan tertidur tenang pada Jalan Jawa,. Jika direnungi mendalam, jembatan itu adalah simbol dari keharusan membina komunikasi dalam keberagaman lalu-lalang disana. Sayang, jembatan itu juga bisa kita tafsirkan lain. Tak ada titimangsa dari pembuatan atau peresmian yang bisa dilihat oleh para perantau tertera pada jembatan itu. Inikah bukti bahwa modernisasi—sebab cirinya yang melulu fisik—senantiasa memendam dalam-dalam sifat toleransi dan sisi historis dari suatu lokus (daerah)? Saya tak bisa pastikan. Hanya saja—sebab manusia berhati-nurani—saya yakin, kita bisa kembali belajar membina toleransi dalam keberagaman dan mengembangkan nilai-nilai historis warisan leluhur mulai dari Jalan Jawa. Kita berhak dan wajib melakukan semua itu.(*)
***Dipublikasi di Harian Radar Jember (06/12/2007) dengan judul Jalan Jawa dan Warung Cangkrukan. Naga-naganya pengubahan judul yang dilakukan redaksi membuat keseksian tulisan ini jadi berkurang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar