Tahun Baru, Waktu dan Lupa
Pergilah ke pasar; adakah disana barang yang tak bisa ditawar? Kalau kita bicara pasar-super (super-market) atau pasar-berlebih-lebihan (hyper-market) tentu saja barang yang dijual sudah ditengeri dengan stiker harga. Menawar harga di pasar macam itu sia-sia sungguh. Di Indonesia ini, apa yang gagal untuk bisa ditawar? Hukum, pendidikan, politik, sampai percintaan pun; yakinlah bisa ditawar.
Masyarakat yang minim menikmati kepastian, kecerdasan, kebersamaan sampai kehangatan; hakulyakin akan berpenyakit dua saja: kaget dan lupa. Hidup seolah senantiasa “tiba-tiba”; cepat sekali berlalu bagai kilat yang muncrat dari langit. Tak ada yang bisa dicercap dari hari ini hingga berimbas pada buramnya penerawangan hari esok. Justru yang banyak menyeruak adalah perilaku menawar waktu. Sebagaimana sering muncul dalam kalimat-kalimat berawalan; “Kalau saja...”, “Coba...”, hingga “Ingin rasanya kembali...”.
Kalau ditimbang ulang, sebenarnya, super-market dan hyper-market itu tidak memasang harga yang tak bisa ditawar. Pasar jenis itu menjual barang dengan harga yang sedikit lebih murah dari toko kelontong. Mereka telah memperkirakan berapa besar harga yang mungkin ditawar oleh konsumen. Dengan hitungan bisnis-ekonomis yang tepat, tentu saja, tiada mereka merugi. Alhasil, waktulah yang benar-benar tak tertawar.
Harga waktu tetap, tak berubah. Kita memberinya nama detik, menit, hari, minggu sampai tahun. Manusia hanya mampu melakukan analisa pra-peristiwa yang disebut proyeksi. Atau analisa ketika suatu kejadian telah terjadi, yaitu evaluasi (kata halus dari penyesalan). Tetapi, dua bentuk perilaku itu tidaklah mampu menawar waktu.
Manusia dan waktu berpacu, tentu saja yang keluar sebagai pemenang adalah waktu. Kata Rendra dalam salah satu sajaknya; “Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma / Kita menjadi goyah dan bongkok / karena usia nampaknya lebih kuat dari kita / tapi bukan karena kita telah terkalahkan”. Dus, proyeksi dan evaluasi mungkin adalah senjata manusia menawar waktu.
Tapi, kini, ketika dunia terbuka luas hingga batas-batas kian mudah diterabas, proyeksi dan evaluasi makin sulit kita temui di masyarakat. Kekuatan manusia tidak lagi diarahkan untuk menawar waktu tapi membunuhnya. Manusia “menolak menjadi koma” bukan dengan proses yang mencoba bersahabat dengan waktu.
Uang adalah kekuatan yang digunakan manusia untuk membunuh, mencincang dan menyekaratkan waktu. Suap, ijazah palsu, politik uang sampai cinta matre sedikit contoh dari proses manusia kini yang ingin membunuh waktu. Tapi, sekali lagi, waktu tak pernah bisa dikalahkan sungguh.
Ilmu pengetahuan memberi pengajaran dan waktu menyediakan peringatan kepada manusia. Keduanya berkeinginan agar sikap bijak menyembul dalam masyarakat manusia. Masyarakat yang menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan akan mudah terserang rasa kaget yang luar biasa. Sementara yang kian bermusuhan dengan waktu niscaya mengidap penyakit lupa kronis.
Kita lebih senang merayakan tahun baru. Padahal adanya pergantian tahun dalam kalender masehi berfungsi sebagai peringatan. Ajang melakukan evaluasi dari yang sudah berlangsung pada tahun yang ditinggalkan. Wahana merencanakan yang ingin kita wujudkan dalam tahun mendatang. Momen pergantian tahun seharusnya adalah tempat bagi kita untuk menjauhi sikap kaget dan lupa.
Dengan merayakan hadirnya tahun baru, sejatinya kita telah mengaku tersungkur oleh waktu tanpa pernah melakukan usaha untuk bersahabat atau mengalahkannya. Perayaan cenderung bersifat dangkal, seremonial dan mengukuhkan sifat kaget serta lupa dalam diri kita. Kalau kita percaya bahwa kehidupan adalah proses, maka sungguh perayaan tahun baru adalah jenis perilaku yang manusia lakukan untuk membunuh dan meniadakan proses itu.
Saya selalu membayangkan, andai tiap malam tahun baru justru identik dengan sepi. Tiap keluarga berkumpul di rumah. Mengukur capaian yang telah dilakukan dan memaparkan rencana yang ingin direngkuh dalam suasana penuh kehangatan.
Tapi tiap malam tahun baru, mayoritas kita justru senang berpesta di jalanan. Padahal, seperti kata Radhar Panca Dahana, mereka yang sering berpesta memang dekat dengan lupa. Saya tak tahu, malam tahun baru ini berapa orang yang memilih merenung di rumah saja. Tapi, saya tak pernah lupa, bahwa tiap malam pergantian tahun jalan-jalan selalu ramai; disesaki orang-orang yang ingin melupakan dan membunuh waktu.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar