Hak Bertanya
::dipublikasi di Harian Radar Jember 19/12/2007
Ada yang unik. Guru Sosiologi saya saat di SMU memiliki aturan yang harus ditaati oleh seluruh murid. Beliau tidak akan bersuara dan memulai pelajaran jika diantara kami belum ada yang bertanya. Awalnya, kami pikir beliau hanya bercanda.
Ada yang unik. Guru Sosiologi saya saat di SMU memiliki aturan yang harus ditaati oleh seluruh murid. Beliau tidak akan bersuara dan memulai pelajaran jika diantara kami belum ada yang bertanya. Awalnya, kami pikir beliau hanya bercanda.
Dua hari setelah aturan itu dimaklumatkan, kami harus belajar Sosiologi lagi. Beliau masuk kelas, duduk kemudian membuka-buka buku; seolah tak ada murid dihadapannya. Kelas hening kira-kira lima menit lamanya. Kami saling bersitatap, seolah sama paham: “Aturan itu bukan gurauan!”. Seorang teman tiba-tiba mengacungkan jari, setelah itu berkata, “Pak, saya mau tanya”. Guru saya langsung mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk; “Silakan”, sambutnya. “Bapak tidur jam berapa tadi malam?”, ucap teman saya dengan suara agak terbata-bata. Tawa kecil kemudian terdengar diantara kami.
Ada yang aneh. Bukan amarah yang menyeruak dari Guru Sosiologi itu. Beliau menjawab dengan tenang ‘pertanyaan konyol’ tersebut. Sampai kelas 3 SMU, mata pelajaran Sosiologi diasuh oleh beliau. Saat acara kelulusan, saya tanyakan kepada beliau sebab dibuat aturan seperti itu. “Biasakanlah bertanya, sebab perilaku itu yang mengubah dunia”, jawab beliau. “Bertanyalah apa saja kepada siapapun. Kalau kau sebenarnya sudah paham suatu hal, maka pertanyaanmu adalah usaha untuk makin meneguhkan pemahaman itu. Den, kau harus ingat, manusia adalah wadah dari salah dan lupa.”, pesan Guru Sosiologi itu membekas sekali di hati.
Ucapan beliau tidak klise sama sekali. Beliau sangat konsisten dengan aturan yang dibuatnya. Pelajaran Sosiologi yang menyenangkan itu selalu diawali dengan pertanyaan dari murid kepada sang guru. Mulai dari pertanyaan serius; “Pranata sosial itu apa, Pak?”, “Apakah yang dimaksud dengan masyarakat modern?” sampai pada ‘pertanyaan konyol’; seperti “Bapak makan apa pagi ini”, “Bapak terlihat di pasar kemarin, belanja apa Pak?”. Beliau selalu menjawab dua jenis pertanyaan itu, sungguh, dengan kadar keseriusan yang sama. Hingga kami sangat menyayangi beliau sepenuh hati. Maka tak aneh, ketika pulang kampung pada Oktober tahun ini, saya mendapat kabar bahwa Guru Sosiologi itu terpilih sebagai Guru Terbaik Tingkat Propinsi tahun 2007 dan berhak atas tiket ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.
Dengan adanya aturan itu, Guru Sosiologi saya tidak pernah berpesan agar kami membaca buku saat di rumah. Sebab kami pasti melakukan hal tersebut agar memiliki pertanyaan sebagai kunci untuk membuka pelajaran. Setelah saya renungkan, pertanyaan yang saya sebut ‘konyol’ sebenarnya tidak demikian. Pertanyaan tersebut sangat manusiawi. Melalui pertanyaan itu, kami tidak menganggap beliau sekadar Guru saja. Tetapi individu yang juga memiliki kegiatan diluar sekolah. Memandang beliau ‘apa adanya’ sebagai manusia. Guru dan murid bukan status yang mencegah hubungan dekat dan hangat berlangsung diantara kami.
Saya tidak pernah mendengar beliau berkata “Ada pertanyaan?”, seusai menjelaskan. Kami terbiasa berinisiatif mengacungkan jari untuk bertanya ketika beliau terlihat akan berhenti menjelaskan. Semua terjadi karena adanya aturan itu.
Ada dua bentuk warisan lisan leluhur yang terkait dengan bertanya. Peribahasa “malu bertanya sesat di jalan” dan pepatah “sudah gaharu cendana pula”. Pada peribahasa tersebut kita temukan unsur positif yaitu bertanya sebagai proses untuk memudahkan urusan. Sementara energi negatif kita rasakan pada pepatah diatas yang sering diartikan sebagai “sudah tahu, bertanya pula”. Pada pepatah ini, bertanya dimaknai sebagai cara mengejek orang lain. Nampaknya, Guru Sosiologi saya itu menganut pemaknaan bertanya pada peribahasa diatas saja.
Sungguh, bertanya adalah perilaku yang mengubah dunia. Sebab segala inovasi yang berjalan di dunia ini, selalu diawali dengan proses tersebut. “Mengapa apel jatuh ke bawah?” adalah pertanyaan Isaac Newton saat akan menemukan teori gravitasi yang terkenal itu.
Saya agak aneh, Jepang luluh-lantak beberapa hari sebelum Bung Karno dan Bung Hatta membacakan Proklamasi di Jakarta, namun kini Negeri Sakura itu adalah ‘Macan Asia sebenar-benarnya’. Keanehan itu terhapus tatkala saya mengetahui bahwa yang dilakukan Kaisar Jepang setelah Yokohama dan Nagasaki dijatuhi bom atom adalah bertanya, yaitu “Berapa jumlah guru yang tersisa?”. Tak ada yang negatif, akhirnya, dari perilaku bertanya. Maka, hak yang bisa dilakukan setiap individu adalah ‘hak bertanya’.
Suatu malam, saya kecewa. Pada halaman 382 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III Cetakan keempat tahun 2005 diterakan makna ‘hak bertanya’. Yaitu “hak anggota DPR, baik perseorangan maupun bersama-sama, untuk mengajukan pertanyaan kepada presiden atau pemerintah”. Kamus yang diterbitkan oleh Balai Pustaka—dan dijadikan pegangan wajib dalam institusi pendidikan kita—itu sungguh sempit memberi makna pada ‘hak bertanya’. Jika sudah begini, seolah bertanya bukanlah hak yang menempel langsung kepada manusia sejak lahir ke dunia.
Bertanya adalah perilaku positif sebab membuka tabir misteri yang menyelubungi dunia ini atau memperbaharui pengetahuan kita atas sesuatu. Kalau ada pertanyaan yang disebut basa-basi itu tetap saja positif. Interaksi antar manusia tanpa basa-basi akan berlangsung hambar bahkan menjauh dari kekariban.
Hak bertanya adalah rahmat langsung dari Tuhan kepada seluruh manusia. Dengan bertanya, otak berpikir dan tangan bekerja untuk mencari jawaban. Akhirnya, sudahkah Anda bertanya hari ini? Jikalau saya yang mendapatkan pertanyaan itu, maka jawabannya adalah: “Saya baru saja melakukannya”.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar