Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

‘Berkenalan’ Lagi Dengan Chairil Anwar
:: dipublikasi di Harian Surya (Minggu; 30/09/2007)

Judul Buku : Chairil Anwar; Sebuah Pertemuan

Rasanya, orang Indonesia—yang hanya menempuh pendidikan dasar sekalipun—pernah mendengar nama ini: Chairil Anwar. Hanya mendengar, sebab perkenalan butuh ruang yang lebih luas. Lewat buku ini, Arief Budiman menuturkan Chairil Anwar melampaui sebuah perkenalan dan pertemuan, yaitu penyelaman. Yang istimewa dalam buku ini adalah; Arief Budiman meletakkan Chairil Anwar sebagai pribadi yang tak terlalu istimewa. Membaca buku ini, kita akan tersadar bahwa menulis puisi dan menjadi penyair adalah suratan tangan tiap manusia. Segala hal yang membalut kehidupan Chairil, juga kita temui dalam keseharian hidup ini. Satu hal, Chairil Anwar menjadi sangat terkenal karena usahanya. Dan buku ini—juga pelbagai tulisan lain tentang dirinya—adalah ganjaran yang setimpal atas usahanya tersebut.

Chairil berjasa besar dalam memperbaharui seni-kesusastraan kita, utamanya puisi. Melalui sebuah buku tahun 1968, HB Jassin menyebutnya sebagai “Pelopor Angkatan 1945”. Usaha Chairil yang teramat berharga adalah menyiarkan kepada kita bahwa puisi adalah milik semua orang. Puisi tak harus selalu menceritakan “yang besar”, “yang sakral” dan “yang agung”. Jiwa kita dan segala riak-gejolak yang menyerempetnya adalah sumber ide yang hakiki.

Buku ini hadir sebagai perwujudan lintas disiplin; didalamnya ada kajian sastra, psikologi dan filsafat. Semua kajian itu saling membahu-bantu untuk menjelaskan beragam sisi kehidupan yang selalu dicari jawabnya oleh manusia. Chairil Anwar dan karyanya adalah representasi kejiwaan kita pula; demikian kira-kira sapaan Arief Budiman kepada pembaca buku ini.
Penyair yang lahir di Medan, 26 Juli 1922, ini ternyata merupakan sosok yang selalu mencari tentang makna kehidupan secara individual.

Dalam sebuah esai berjudul “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”; menurut Arief Budiman, Chairil Anwar seolah memaklumatkan bahwa ia telah siap ditelaah dari pelbagai sisi mengenai sajak yang ditulisnya. Kata Chairil; “Untuk dapat memahami karya seni, utamanya puisi, maka kita harus menangkap ‘pokok’-nya terlebih dahulu, jangan hanya menilai dengan ‘perkakas bahasa’ saja” (hal:46). Chairil menjadi bernilai, pada akhirnya, karena ia mampu menggambarkan kejiwaan manusia dalam karyanya. Ia tak lagi menyoal pakem puisi sebagaimana ‘diagung-agungkan’ oleh para penyair Pujangga Baru.

Chairil adalah pribadi yang ‘retak’, namun adakah diantara kita yang tidak retak secara kepribadian? Manusia, melalui keretakan dalam pribadinya, berusaha mencari segala kemungkinan yang bisa dilalui dalam hidup ini (hal:57-59). Chairil meretakkan kepribadiannya dengan mula-mula bertanya tentang kematian dalam puisi yang pertamakali ditulisnya, Nisan (Oktober 1942). Ia mempersoalkan neneknya yang ridha menghadapi kematian (hal:19-20). Dan ia menggugat kematian yang begitu angkuh melaksanakan tugasnya: “Tak kutahu setinggi itu diatas debu/dan duka mahatuan bertahta”.

Chairil mempersoalkan hidup dan menuliskannya dalam puisi. Hingga ia pun menatap kehidupan sebagai sebuah misteri. Segala yang kita lakukan seolah sia-sia sebab kematian bisa datang menyambar kapan saja—tak tentu tempat dan waktu. Maka pada Desember 1942 ia menuliskan lagi sebuah puisi berjudul Penghidupan : Lautan maha dalam/mukul dentur selama/nguji pematang kita/hingga hancur remuk redam/Kurnia Bahagia/kecil setumpuk/sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

Tahun-tahun awal Chairil menulis puisi adalah momentum pencarian kemerdekaan sebagai pribadi. Maka ia mempersoalkan pula ikatan dalam pelbagai bentuknya—keluarga, agama dan tentu saja: Tuhan. Ia tidak membunuh diri walau begitu pesimis dengan hidup. Ia memilih jadi laiknya Ahasveros; hidup mengembara. Tentu saja dibarengi dengan makin sulit kehidupan yang dijalaninya. Chairil jatuh miskin ketika memilih pergi dari Medan untuk ikut ibunya karena sang bapak menikah lagi. Ia pun hidup menggelandang di Jakarta setelah ibunya makin sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sejumlah puisi yang ditulis pada awal masa kepenyairannya memperlihatkan betapa intens ia mengkhidmati hidup dan dunia sekelilingnya. Jika nada pemberontakan selalu saja nampak dalam puisi Chairil, tentu saja karena pada masa-masa itu (tahun 1942), negeri kita tengah sangat bergejolak. Kedudukan Belanda mulai diujung kehancuran dan Jepang makin mendekat nusantara. Ada kesempatan untuk Indonesia menjadi merdeka. Chairil berada di Batavia dan secara intens pula melihat hal itu. Inilah bentuk pengaruh lingkungan pada diri manusia. Pandangan ini tidak termaktub untuk diulas dengan baik oleh Arief Budiman.

Walau begitu, Arief Budiman juga mengajukan data mengenai hidup Chairil yang cukup komprehensif untuk menganalisa karyanya. Ada pengakuan Sjamsulridwan yang cenderung positif bagi penilaian kita atas jatidiri Chairil. Menurut pengakuannya, Chairil adalah sosok yang pemberani, keras, tidak mau mengalah, agak tinggi hati walau tetap saja gaul dan memiliki rasa ingin tahu yang luarbiasa besar. Bahkan, “...kalau ia sudah membaca buku maka buku itu dibacanya dari malam sampai menjelang pagi.”, sebagaimana dikutip Arief dari pengakuan HB Jassin (hal:119).

Sementara sisi negatif Chairil diambil dari pengakuan Soeharto—sahabat Chairil sejak kecil yang kemudian berpisah dan kembali bertemu di Jakarta. Soeharto adalah seorang pelukis. Jika Sjamsulridwan mengatakan bahwa Chairil adalah sosok yang brilian secara prestasi di sekolah, maka Soeharto mengatakan sebaliknya. Chairil Anwar terbilang memiliki otak pas-pasan. Prestasinya tidak terlalu baik, Chairil memang menonjol pengetahuannya tentang sastra. Namun ia, masih menurut Soeharto, tidak pernah menulis karya sastra semasa di bangku sekolah. Soeharto mengakui bahwa dua hari setelah Chairil meninggal di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta), ada petugas rumah sakit datang kepadanya dan meminta agar “mayat Chairil segera diurus” (hal:123).

Saya tidak paham dengan maksud Arief Budiman mengambil data negatif tentang Chairil ini. Apakah sekadar sebagai pembanding, atau memang berniat menelusuri sosok Chairil secara intens? Persoalan mendasar adalah kisah tentang bagian wafatnya Chairil. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketika Chairil sudah tidak sadar dengan panas yang tinggi, HB Jassin berada di sisinya. Maka saya pun sempat membaca bahwa salah satu kata terakhir yang diucapkan Chairil adalah “Tuhan...Tuhan”. Bahkan, bagaimana mungkin mayat Chairil baru diurus dua hari setelah ia wafat, sedangkan banyak seniman yang berada di sisinya ketika dijemput sang maut. Lebih jauh, ada beberapa sketsa lukisan—dipublikasi dalam edisi khusus Horison untuk mengenang Chairil Anwar—yang menggambarkan penguburan Chairil di TPU Karet sehari sesudah ia wafat. Chairil wafat sore hari 28 April 1949.

Kealpaan—untuk tidak disebut sebagai kesalahan—mengambil data sejarah seseorang, bisa berakibat pada taraf penghayatan sebuah karya sastra. Seperti, misalnya, bagaimanakah peran teman-teman Chairil di Jakarta dalam membentuk kepribadiannya. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana pengaruh atensi manusia sekitarnya dalam sejumlah karya Chairil Anwar.
Arief Budiman dengan cukup baik menganalisa sejumlah puisi Chairil bertema agama dan Tuhan (hal:49-54). Menyitir pendapat Paul Tillich mengenai agama dan religiusitas, Arief Budiman nampaknya begitu dalam menyelami pribadi Chairil. Bagi Paul Tillich, seorang yang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup ini melampaui batas-batas lahiriah. Chairil Anwar memilih untuk menolak menyerah pada agama. Hal ini tersirat dan tersurat dalam puisi Di Mesjid (1943).

Sebuah puisinya bertema agama dan Tuhan yang terkenal tentu saja Doa (13 November 1943). Melalui puisi ini, Arief Budiman menyatakan bahwa Chairil sudah menyerah; ia tidak lagi menyoalkan agama. Sebab tanpa Tuhan, Chairil akan “remuk dan hilang bentuk”. ‘Binatang jalang’ itu sudah “mengetuk di pintu Tuhan” dan “tidak bisa berpaling”. Tetapi, nampaknya Arief Budiman lupa bahwa ada anotasi pada puisi tersebut, yaitu “kepada pemeluk teguh”.
Anotasi itu, menunjukkan bahwa Chairil belum menyerah untuk terus mempersoalkan agama dan Tuhan. Kita tahu bahwa satu hari sebelumnya (12 November 1943), ia menulis puisi yang menunjukkan kekaguman pada Isa. Puisi Doa bukan ditujukan untuk dirinya. Chairil masih terbawa rasa kagum pada sosok Isa—seorang pemeluk teguh. Ia seolah masih ingin membuat karya yang mendokumentasikan sebuah kekaguman pada semua pemeluk agama yang teguh kepada Tuhan. Itulah makna anotasi dalam puisi Doa.

Buku Arief Budiman ini adalah bentuk bukti dari tesis Chairil tentang puisi. Chairil pernah berkata bahwa “Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia”. Ia menghasilkan karya yang bisa kita pahami secara beragam laiknya isi dunia. Sebuah kearifan ditunjukkan oleh Arif Budiman di awal buku ini tentang otentisitas pengamatan antara karya dan pembaca. Seribu orang yang membaca karya Chairil Anwar, niscaya akan muncul lebih dari seribu tafsir. Inilah kiranya hakekat kemanusiaan yang ditawarkan oleh Chairil melalui karyanya dan Arief Budiman melalui analisanya.

Tidak ada komentar: