Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Press Release:
Ruwatan Budaya: untuk korban kekerasan dan ketidakadilan

Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan pelupaan
(Milan Kundera, The Book of laughter and forgetting)

Apa yang tersisa dari kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh sang Tiran -- ketika sikap kritis dilarang, kebebasan dibungkam dan kebenaran diputarbalikkan— di masa lalu? Pada kondisi semacam ini sejarah atau historiografi pun menjadi tak lebih sebagai dongeng fiktif yang mendedahkan kepahlawan penguasa dan penghinadinaan bagi para korban. Mereka yang sudah mati masih tetap dihinakan, mereka yang masih hidup tetap dipariakan. Apa yang tersisa dari warisan rejim penguasa di masa lalu? Tak lebih dan tak kurang adalah kuburan massal tanpa nama dan seluruh negeri menjadi kuburan besar bagi kemanusiaan. Jejak sepatu lars penuh tetesan darah, sejarah yang dibengkokkan, dan berjilid-jilid karya sastra, tempat para korban mencatatkan luka derita perlawanan mereka. Ketika rasa sakit dan derita yang telah dipaksa berurat-akar dalam benak bangsa, belum mampu benar dicabut, paling tidak ada ruang untuk menegosiasikan derita dan kebenaran.
Ketika historiografi menjadi monopoli penguasa, maka antara fakta dan fiksi menjadi tidak kentara batasnya. Apa yang dianggap kebenaran oleh para penguasa, di dalam sejarah kekuasaan yang diterakan sebenarnya tak lebih dari fiksi yang dikarang oleh intelektual pendukung mereka, dan didongengkan terus-menerus kepada rakyat agar dipercaya menjadi suatu sejarah dan kebenaran yang sesungguhnya. Ketika penguasa memproduksi fiksi yang disamarkan sedemikian rupa agar dianggap menjadi fakta, maka karya sastra menjadi alternatif pilihan untuk memunculkan semangat pencatatan sejarah dan kebenaran, moralitas dan etika. Sebab, karya sastra sebagai salah satu media ekspresi manusia, dalam skala tertentu mempunyai potensi sebagai teks tandingan bagi jenis fiksi lain, yang dituliskan oleh para penguasa lewat historiografi resmi yang mereka monopoli. Karya sastra yang jelas-jelas dihasilkan sebagai sesuatu yang benar-benar fiksi murni, toh juga mampu mengoplos sedemikian rupa antara fakta dan fiksi, kebenaran dan rekaan, kenyataan dan khayalan, derita dan pengharapan.
Karya sastra di sini dapat disetarakan dengan model transisi untuk penulisan historiografi, yang bukan sekedar mengisahkan rentetan kronologis terjadinya suatu peristiwa sejarah. Melainkan transisi ke arah historiografi yang menjadikan moralitas dan etika sebagai neraca utama untuk menakar kembali kebenaran peristiwa politik di masa lalu dan pengaruhnya terhadap kisah hidup nyata manusia biasa di masyarakat pada kurun waktu tertentu di dalam perjalanan sejarah suatu bangsa. Di sinilah para korban kekerasan sang Tiran dan non korban mampu merebut kembali kedaulatannya untuk menerakan dan membahasakan pemikiran dan ingatannya terhadap apa yang pernah terjadi di masa lalu dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di masa sekarang dan di masa depan.
Kalau sejarah versi resmi tidak memuat kisah tentang kehidupan mereka yang dianiaya dan dinistakan, maka dengan adanya karya sastra, baik yang ditulis survivor maupun non survivor dapat merebut pena keniscayaan sejarah, guna menuliskan kisah pahit getir hidup mereka, pesimis dan optimistik keyakinan mereka akan kebenaran dan harapan, akan keberhasilan ataupun kemungkinan kegagalan perjuangan mereka. Pendek kata, dengan karya sastra, kebenaran yang dinarasikan oleh para penguasa bisa dicurigai, dipertanyakan, dimain-mainkan, dibongkar bahkan disusun ulang. Kita juga bisa mempertimbangkan apa harapan dan sikap para korban maupun non korban terhadap penindasan dan kekerasan yang menimpa mereka dan masyarakat Indonesia di masa lalu. Dengan demikian dihasratkan akan tersedia pijar renungan yang dapat dipetik dan dijadikan modal untuk memformulasikan suatu moralitas dan etika berpolitik yang lebih menjunjung tinggi imperative: Dignity for Humanity!
Berangkat dari renungan semacam itu, Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Umar Kayam, Yayasan Pondok Rakyat, Impulse, Rumah Budaya Tembi, Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda (Karta Pustaka), Syarikat Indonesia, Perguruan Rakyat Merdeka (Simpul Yogyakarta), Penerbit Jalasutra, Penerbit Ombak, Galangpress, Sanggar NUUN, Anjani, Mess56, Kunci, Jaringan Islam Kampus, dan Lembaga Nawakamal berniat mengadakan Ruwatan Budaya: Diskusi Bedah Buku, Orasi Budaya, Pembacaan Puisi & Cerpen dan Musikalisasi Puisi Untuk Korban Kekerasan dan Ketidakadilan. Ruwatan dalam adat Jawa adalah sarana untuk menolak bala, membebaskan kita dari ancaman mara bahaya, berdoa dan meminta pengampunan atas segala dosa dan kesalahan di masa lalu. Ruwatan Budaya kali ini bertujuan membebaskan kita dari kesalahan rejim penguasa di masa lalu yang penuh darah dan kekekerasaan yang telah memakan korban sampai ribuan orang tidak berdosa agar kejadian seperti ini tidak akan terulang di masa datang dan mengenang kembali korban-korban kekerasan yang selama ini terlupakan.
Acara ini telah dimulai dengan Talkshow di radio Eltira FM sepanjang bulan November 2007 setiap Kamis pukul 16.00 – 17.00 WIB (tanggal 1, 8, 15, 22 dan 29 November 2007 dengan pembicara Dr. Budiawan, Bambang Agung, Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Landung R. Simatupang, Dr. Katrin Bandel, dan Dr. St. Sunardi.
Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) juga akan menyelenggarakan bedah buku “Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia” (Elsam) dan “Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis: Catatan di Senjakala” karya T. Jacob (Obor).
Hari, Tanggal : Sabtu 8 Desember 2007
Jam : 09.000-12.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar LPPM, Universitas Sanata Dharma
Jl. Affandi-Gejayan, Mrican, Yogyakarta
Pembicara : Dr. Denny Indrayana
Dr. George J. Aditjondro
Dr. Baskara T. Wardaya S.J.
Moderator : Antariksa
Puncak acara Ruwatan Budaya: Pembacaan Puisi & Cerpen, Orasi Budaya dan Musikalisasi Puisi Untuk Korban Kekerasan dan Ketidakadilan akan digelar pada tanggal 8 Desember 2007 malam (jadwal di bawah). Tema yang akan diusung oleh acara ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru selama masa kekuasaannnya, baik melalui karya yang ditulis oleh para korban maupun non korban. Kekerasan yang dimaksud ialah kekerasan negara dalam perpektif HAM, yakni dilanggar atau diabaikannya hak warga negara (tanpa membedakan suku, ras, agama, pilihan ideologi dan gender) dalam hal Hak Sosial, Politik, Ekonomi dan Budaya. Acara ini akan diselenggarakan:

Pada tanggal : 8 Desember 2007
Waktu : 19.00 – 24.00 WIB
Tempat : Pusat Kebudayaan Indonesia -Belanda Karta Pustaka
Jl. Bintaran Tengah 16, Yogyakarta

Kegiatan peringatan hari Hak Asasi Manusia sedunia ini akan ditradisikan setiap tahun.
Adapun para pengisi acara yang dipersiapakan oleh panitia adalah:

Pembacaan Puisi dan Cerpen:
Landung R. Simatupang,
Femi Adi Soempeno
Puthut E.A.
Fitri Nganthiwani
Ikun Eska
Naomi Srikandi
Kuswaedy Syafe’i
Hendro
Juliana Rahayu

Orasi Budaya: Dr. FX Baskara T. Wardaya S.J.
Musikalisasi: Nawakamal
Tommy Simatupang
Sanggar NUUN

Kami sangat berharap partisipasi dan kerjasamanya dari kalangan perss untuk memberi dukungan atas penyelenggaraan acara ini.

Demikian release ini kami buat, atas partisipasi dan dukungannya kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta : 1 Desember 2007

Dr. Baskara T. Wardaya. S.J.

Penanggung Jawab

A.Anzieb Monica Maria W.S.
Koordinator Umum Ruwatan Budaya Sekertaris

Tidak ada komentar: