Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Mawar Diatas Batu (2)
Utuy Tatang Sontani, sastrawan yang dituduh sebagai komunis, berbincang dengan saya beberapa malam terakhir. Banyak hal yang kami obrolkan. Percakapan antara kami, tidak akan mungkin kesampaian tanpa bantuan Ajip Rosidi.
Berikut salinan obrolan antara saya (DAS) dan Utuy Tatang Sontani (UTS) pada suatu malam:

DAS : Ehhmmhhh.... saya harus memanggil anda apa? Soalnya nama anda banyak
sekali. Tentu saja, saya harus menambahkan kata ‘Bapak’ di depan panggilan untuk anda itu bukan?

UTS : Hehehe..kamu mah bisa aja...panggil saya apa saja. Memang, ketika masih
tinggal di Cianjur, ada tetangga yang panggil saya Jun. Dan saat eksodus ke Bandung, saya juga dipanggil Dadang. Terserah kamu mau panggil saya apa. Kamu tentu pernah tahu ‘kan ucapan Shakespeare: “What’s in a name”?.

DAS : Tapi Pak, nama itu mengandung makna. Dan untuk konteks Anda, bisa sangat
berbahaya. Keterlibatan dengan Lekra dan PKI membuat nama Anda pudar sampai kini. Saya rasa hanya orang-orang tertentu saja yang kenal dengan Anda. Saya hanya ingin bilang, bahwa nama memiliki makna yang tak kosong.

UTS : Ya...Ya, mungkin kamu betul. Tapi yang harus ditekankan disini, bukan
hanya nama. Karya adalah yang utama. Manusia dikaruniai akal untuk mencipta atau berkreasi. Nah, apalagi untuk sastrawan, karya adalah hidup-mati bagi dia. Saya disebut sastrawan setelah saya menulis Tambera yang dipublikasi di harian Sipatahoenan. Walau sebelumnya, saya telah pula banyak menulis cerpen sejak kelas 6 Taman Siswa. Ya, Tambera itulah yang mungkin cukup berhasil menyita perhatian orang banyak. Artinya, saya dikenal orang karena saya menulis dan mengarang cerita, naskah drama dan puisi. Soal keterlibatan dengan Lekra/PKI, saya hanya ingin mengatakan, bahwa nama tidak bisa dilihat semata tanpa membaca karya seseorang.

DAS : Baik...baik Pak Utuy...Sekarang, saya ingin diceritakan kisah awal anda
berkenalan dengan dunia tulis-menulis atau karang-mengarang. Saya tidak ingin terlalu membahas keterlibatan anda dengan PKI/Lekra.

UTS : Ah, kamu itu bagaimana? Orang-orang seangkatanmu saja selalu mengingat-
ingat kalau saya ini pernah jadi aktifis Lekra. Ini adalah jamanmu. Sebentar, saya jadi ingin bertanya kepadamu, kenapa kamu tak ingin membahas keterlibatan saya dengan Lekra/PKI? Jawablah dulu, baru saya ganti menjawab pertanyaanmu tadi.

DAS : Tapi, Pak...Yang tanya pertamakali ‘kan saya? Ya Pak Utuy dulu dong yang
harus jawab. Tapi baiklah, saya ingin jelaskan. Begini Pak, generasi saya adalah kelompok yang cenderung dibingungkan oleh sekian banyak hasil penelitian, pendapat atau kesaksian dari peristiwa berdarah sekitar tahun 1965 itu. Saya ingin mengenal Pak Utuy sebagai seorang penulis saja. Di mata saya, Pak Utuy adalah seorang penulis besar yang pernah dilahirkan republik ini. Tentu ini bukan bualan semata. Dasar saya berkata seperti itu adalah karya-karya Pak Utuy banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa negeri lain. Jadi, kalau saya juga tanya kenapa Pak Utuy sampai terlibat dalam PKI/Lekra, ya saya jadi malas membahas. Bagi saya, biarlah itu jadi kenangan pahit kita sebagai bangsa dan negara. Saya ingin memotret Pak Utuy sebagai penulis, itu saja. Soal masa lalu, biarlah Pak Utuy dan pihak-pihak yang waktu itu berkonflik yang menyelesaikannya. Tentu saja, saya juga tidak setuju jika proses penyelesaian itu harus dibarengi dengan mengubur nama atau karya salah satu pihak. Tiap generasi punya konflik dan generasi selanjutnya berhak mengetahui isi konflik dan sisi lain dari konflik itu. Yang saya lakukan adalah sedikit menguak sisi lain dari Pak Utuy yang mantan anggota Lekra/PKI. Ya, Pak Ajip Rosidi juga pernah bercerita bahwa Pak Utuy sangat diragukan keterlibatannya dalam Lekra. Malah Pak Ajip meyakinkan bahwa kalau keterlibatan Pak Utuy semata karena janji-janji indah para aktifis PKI. Dan kalau tak salah, Pak Utuy juga hanya terlibat secara resmi dalam PKI selama 6 bulan sebelum meletus peristiwa Oktober 1965. Pak Utuy, sekali lagi, saya hanya ingin mengenal anda sebagai seorang penulis. Itu saja. Jadi, pertanyaan saya tetap: bagaimana awal keterlibatan anda dengan dunia tulis-menulis?

UTS : Hehehe...Kamu kok panjang sekali menjawabnya. Ya, saya memang hanya
enam bulan resmi masuk PKI. Tapi kamu juga harus tahu bahwa jauh sebelumnya, saya telah akrab dengan beberapa aktifis PKI. Misalnya Aidit dan Njoto. Saya menerima telegram dari Lekra pada tahun 1957. Isinya meminta saya untuk duduk sebagai anggota Pengurus Pleno dari Lekra. Telegram itu saya bawa ketika menemui Ajip. Saya minta saran dari dia seputar telegram itu, baiknya saya terima atau tidak tawaran itu. Ya, waktu itu, saya ingin menerima saja ajakan Lekra tersebut tatkala teringat ada Hendra Goenawan dan Boejoeng Saleh Poeradisastra yang juga menjadi anggota Lekra. Tapi, kalau ingat disitu ada juga AS Dharta, saya jadi malas untuk bergabung dengan Lekra. Tapi Ajip bilang, bukan disitu persoalannya. Dia bertanya kepada saya soal sikap pribadi terhadap realisme sosialis yang menjadi pegangan dari Lekra, sepakat atau tidak? Juga dengan komunisme. Akirnya saya tolak itu tawaran Lekra. Tapi, pada tahun 1959, saya menyetujui untuk duduk sebagai anggota Lekra....

DAS : Hmm....Pak Utuy, maaf ya....saya potong sebentar. Soalnya Pak Utuy sudah
terlalu jauh dari konteks pertanyaan saya tadi.

UTS : Ohhh...gitu ya? Tapi ada hubungannya lohh...Ya udah deh, saya kasih aja
jawaban yang kamu mau. Begini, saya mulai menulis sejak kelas 6 Taman Siswa. Waktu itu umur saya kira-kira 15 tahun. Tapi, gara-gara saya mulai menulis agaknya sebuah kecelakaan saja. Ya, patah hati.

DAS : Patah hati? Wah, romantis juga Pak Utuy ini....

UTS : Ah, kamu ini senang sekali main potong pembicaraan saya. Mau saya jawab gak
pertanyaanmu?

DAS : Ok...Pak Utuy, silakan...

UTS : Baiklah. Ya, mungkin saja ihwal saya menulis itu romantis. Semuanya bermula
ketika saya kedatangan tetangga baru. Anak perempuan yang tinggal di rumah itu cantik sekali. Sejak bersekolah di Taman Siswa, saya ingin punya pabrik kacang asin. Cita-cita itu terpikirkan sebab ada seorang Tionghoa di kampung saya yang sukses memiliki pabrik kacang asin. Padahal, awalnya dia kemana-mana selalu berjalan kaki dan pakaian yang dikenakannya tidak pernah ganti tiap hari. Tapi lama-kelamaan, orang Tionghoa tadi makin berjaya dengan usaha pembuatan kacang asin hingga memiliki karyawan yang jumlahnya banyak. Tetapi, impian akan pabrik kacang asin itu segera saya tinggalkan sebab kehadiran perempuan cantik yang menjadi tetangga saya itu. Orangtua angkatnya adalah seorang mantan amtenar (pegawai negeri di jaman Belanda), bekas kepala pegadaian. Saya berpikir, kalau mau mendapatkan anak perempuan itu, berarti harus memiliki latar belakang yang tak jauh beda dengan orangtua angkatnya. Ya, akhirnya terpancang di hati, niat untuk menjadi amtenar. Hahahaha...padahal saya pernah menertawakan ibu saya yang menyuruh saya menjadi amtenar suatu kali. Tapi roda kehidupan tak dapat diramal geraknya, bukan? Yahh...saya terlibat sedikit masalah dengan anak perempuan itu, padahal sebelumnya kami sering sekali bertemu pandang lewat jendela di rumah masing-masing, hampir tiap sore seperti itu. Saya tidak suka dengan teman-teman dia yang hampir tiap hari datang ke rumahnya. Mereka tertawa-tawa dan berbincang dalam bahasa Belanda. Maklum saja, anak perempuan itu sekolah di Hollands Inlandse School. Sekolah paling mentereng di jaman saya, hanya anak-anak pribumi yang menjadi amtenar, pedagang kaya atau keturunan ningrat saja yang bisa bersekolah disana. Rasa kesal melihat perilaku teman-teman anak perempuan itu memuncak di hati saya. Hingga suatu hari, saya tunggu dia muncul di jendela seperti biasanya. Lalu ketika dia mulai terlihat oleh mata saya, cepat-cepat saya buang muka dan membelakanginya. Dia membalas dengan membuang ludah. Saya patah hati jadinya. Sedih berhari-hari sebab anak perempuan itu tak lagi memunculkan dirinya di jendela. Ya, itulah awal saya menjadi penulis.

DAS : Hmmm...Pak Utuy...saya belum melihat hubungan antara kejadian yang anda
ceritakan dengan dunia tulis-menulis? Saya malah merasa sedang dicurhati oleh anda tentang kenangan sebuah kisah cinta yang gagal.

UTS : Oh iya...Hahahahaha....saya terlampau emosi kalau ingat soal itu. Sebab
harusnya anak perempuan itu tahu bahwa saya membuang muka ketika ada di jendela waktu itu sebab saya benci dengan teman-temannya yang selalu saja cas-cis-cus bahasa Belanda. Ya, saya sekolah di Taman Siswa yang selalu mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah keutamaan dari suatu bangsa. Maka di Taman Siswa diutamakan berbicara dalam bahasa Indonesia, walau bahasa Belanda diajarkan pula secara mendalam.

DAS : Pak Utuy....jawaban anda...

UTS : Ya, saya lagi mau jawab nih....
Sejak peristiwa itu, saya sangat menyesal dan merindukan momen-momen di jendela dengan anak perempuan itu. Saya mencari cara agar dia tahu saya menyesal dan ingin minta maaf. Beberapa hari merenung, akhirnya Eureka! Saya tahu caranya! Ketika anak perempuan itu baru saja menempati rumah di sebelah saya, seorang lelaki yang merupakan pamannya bertamu ke rumah saya. Lelaki itu mengaku kalau baru mendirikan sebuah penerbitan surat kabar, namanya ehhhmmm....Sinar Pasundan. Dia mengajak ayah saya untuk bekerja sama mengedarkan surat kabar itu di lingkungan saya. Sejak itu, setiap hari datang surat kabar ke rumah saya dan paman anak perempuan itu selalu hadir dengan beragam tulisan. Ada artikel, esai pendek atau cerpen yang ditulisnya. Pikiran saya menemukan ruang yang mungkin untuk menyampaikan permintaan maaf saya ke anak perempuan itu; saya akan mengarang sebuah cerita pendek! Lalu saya tulis sebuah cerita tentang sepasang muda-mudi yang saling menaruh hati, namun tak bisa bertemu sebab pihak si perempuan tak memiliki kebebasan untuk melangkah jauh keluar rumah. Jalan cerita kuberi bumbu dengan imajinasi, bahwa si lelaki akhirnya minta tolong kepada seorang kawannya untuk mengirimkan surat. Tapi akibatnya sangat buruk, si perempuan malah jatuh hati kepada lelaki yang mengirimkan surat itu. Yahhh...mudah saja menulis cerita itu, sebab kamu tahu ‘kan cerita itu muncul dari hati saya yang paling dalam. Hehehehehe....

DAS : Setelah itu Pak Utuy? Ah, boleh saya tebak; pasti anak perempuan itu tidak
memberi respon apa-apa sebab ia tidak membaca cerpen itu.

UTS : Hahahaha....Dua ratus persen tebakanmu salah!!!! Saya berpikir menempuh jalur
menulis cerpen untuk meminta maaf kepada anak perempuan itu tentu saja karena saya tahu, dia selalu membaca koran Sinar Pasundan itu. Sering kali saya mencuri dengar obrolan antara dia dan ibu saya; selalu saja ia memuji cerita-cerita karangan pamannya yang termaktub di koran itu.

DAS : Jadi dia baca cerita itu?

UTS : Sebentar dulu...Setelah cerpen itu selesai saya tulis, saya kebingungan mencari
nama. Ya namanya samaran. Sebab tiap kali mempublikasi tulisan, paman si anak perempuan itu juga menggunakan nama samaran. Saya berpikir, nama apa yang bisa saya pakai, namun si anak perempuan itu bisa tahu kalau yang menulis adalah saya. Aha...saya teringat tentang buku yang diberikan paman anak perempuan itu. Sebelum kami saling menjauh, anak perempuan itu pernah memberikan dua buah buku kepada saya, katanya dari pamannya. Saya yakin dia sudah membaca buku itu sebelum diserahkan kepada saya. Buku itu berjudul Pelarian Dari Digul dua jilid. Ceritanya sangat seru, tentang orang-orang buangan di Digul yang ingin melarikan diri. Saya terkesan dengan tokoh utama dalam buku itu, namanya Sontani, yang kuat dan berani. Ya, saya pakai nama itu untuk cerpen saya itu. Saya langsung kirim cerpen itu ke redaksi Sinar Pasundan di Bandung. Dalam surat pengantarnya, saya terangkan bahwa saya baru belajar menulis, jadi mohon diperbaiki jika ada kesalahan dalam tata bahasa. Berhari-hari kemudian, saya adalah orang yang paling resah ketika menunggu koran datang. Sampai suatu hari, setelah satu minggu menunggu, cerita pendek saya dimuat oleh Sinar Pasundan. Dan kamu tahu, tidak ada perubahan satu kalimat pun dari cerita pendek itu!

DAS : Ya, saya bisa bayangkan betapa bahagia Pak Utuy saat itu. Tapi, saya makin
Tertarik dengan kisah tentang anak perempuan tetangga Pak Utuy itu. apa dia bisa kembali dekat dengan bapak gara-gara membaca cerpen itu?

UTS : Wah...kamu kok jadi kayak wartawan....apa itu nama acara yang isinya melulu
gosip di televisi jaman sekarang? Ohhh...Ehmmhhh...Infotainment! Kamu jadi kayak tukang gosip yang di infotainment itu. Bagi saya, bukan soal apakah anak perempuan itu mau dekat kembali dengan saya. Ya, walau harus saya akui kecewa juga. Tapi, setidaknya, saya mulai tersadarkan bahwa saya punya takdir untuk menjadi seorang penulis karangan. Yang membuat saya makin semangat menulis adalah catatan yang ada di Rubrik Kotak Pos bersamaan dengan pemuatan cerpen itu. Isinya begini: “Sontani, Cianjur. Ada bakat, karenanya supaya diteruskan menulis!”. Sejak itulah, nama Sontani kian sering ada di Sinar Pasundan. Kadang muncul dengan cerita pendek, namun juga sering membawakan sajak.

DAS : Wah, gara-gara patah hati, Pak Utuy lantas jadi pengarang besar ya...Luar biasa!

UTS : Bukan seperti itu. Saya memang menjadi pengarang karena peristiwa itu. Tapi
siapa yang tahu? Setelah sering dimuat oleh Sinar Pasundan, banyak pihak yang menunjukkan faktor-faktor yang menyebabkan saya menjadi pengarang. Orang-orang tua yang ada di Cianjur bilang bahwa saya menjadi pengarang sebab saya dilahirkan di Cianjur. Lalu mereka mengajukan bukti bahwa tanah Cianjur selalu melahirkan pengarang. Ada surat bupati Cianjur yang ditulis kepada raja Mataram dalam bentuk sajak. Lalu ibu saya bilang, sebab saya menjadi pengarang adalah keturunan dari nenek saya yang dulu sering menulis pahlawan-pahlawan Islam dengan menggunakan huruf Arab. Saya jadi ingat memang ketika masih kecil, sering sekali nenek membacakan sajak-sajak saat kumpul-kumpul dengan tetangga. Teman-teman di Taman Siswa mengatakan bahwa saya menjadi pengarang sebab saya sekolah disana. Dan tentu saja yang paling berkesan adalah pendapat paman anak perempuan tetangga saya itu. Ia bilang bahwa faktor yang paling berjasa dalam menjadikan diri saya sebagai seorang pengarang adalah asmara. Di bilang kalau asmara itu mahasakti. Yah...itulah pendapat orang-orang tentang kepengarangan saya. Setelah berpikir masak-masak, saya simpulkan bahwa saya menjadi pengarang sebab ada emosi dalam diri yang harus dijawab sebagai sebuah tantangan. Karangan saya itulah jawaban atas tantangan itu.

DAS : Baiklah Pak Utuy... Bagi saya, anda menjadi pengarang, penulis, sastrawan atau
apapun namanya, sebab anda mampu mengolah emosi yang mengendap dalam diri dan menyalurkan dalam bentuk karya tulis yang memiliki daya luar biasa. Pak Utuy, demikian dulu obrolan kita. Suatu saat pasti saya mencari anda untuk berbincang soal tulis-menulis lagi.


Lalu malam makin mendekat ke benderang fajar. Pak Utuy tersenyum sebentar lalu menganggukkan kepala sebagai tanda pamit. Malam itu adalah malam yang gemerlap karena bincang-bincang dengan Pak Utuy Tatang Sontani—yang masih saya sebut sebagai Mawar Diatas Batu.*** (ada lagi lanjutannya)

Catatan:
Isi obrolan disarikan (dengan beberapa improvisasi) dari bab Mengapa Mengarang dalam buku Di Bawah Langit Tak Berbintang (Ajip Rosidi (ed.). 2001. Pustaka Jaya: Jakarta)

1 komentar:

CHE SUSANTO mengatakan...

Rezim Orba telah banyak berdosa terhadap karya sastra Indonesia. Terutama karya dari mereka yang dianggap "kiri". Padahal hasil karya mereka sungguh tak ternilai harganya.