Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

CAHAYA PAGI ITU BERHASIL KULIHAT
Oleh: rYoDiMaS

: untuk D. A. Sujana

/1/
Kau seperti setan jalanan. Setiap sentinya kau
ukur dengan teliti. Setiap kerikil kau cermati.
Setiap debu kau baui. Setiap batu kau tandai.
Kau punya segala alat ukur dan konversi, dari inchi
ke senti; dari senti ke mili. Kau punya segala
lensa, dari zoom satu kali; dua kali; tiga kali; hingga
lima kali. Kau punya setiap sampel debu bau, dari debu
bekas tapak kaki pejabat; perawan cantik yang gamang
akan keperawanannya; sampai kotoran anjing yang
berhasil dibawa oleh lalat kemana-mana. Kau punya
setiap warna pemberi tanda, dari hitam pekat; merah
marah; biru daun; hijau sungguh; sampai abuabu yang ragu.

/2/
“Bang, saat ini malam. Hari ini aku menanti kelahiran anakku.
Istriku sejak aku kecil dia telah hamil. Tapi sampai aku kehilangan
keperjakaan yang berkali-kali; sampai aku mengawini banyak istri.
Dia belum juga berhasil melahirkan.”
“Bang, tadi siang kau datang. Membawa kabar tentang bidan yang baru
saja lulus dari akademi. Kau beri saran, agar aku mengganti dukun itu,
yang tlah berbelasbelas tahun mengurusi kehamilan istriku.”
“Bang, anakku barusan lahir! Sehat dan ganteng seperti ayahnya. Kuberi nama
Siapa yah dia? Aha, tentu kau lebih tahu nama yang bagus. Jumlah anakmu kan
sudah kepala dua. Kau hebat. Semuda ini sudah punya berlusin istri.”
“Bang, anakku memang sehat dan ganteng seperti aku. Tapi, kok dia lahir
prematur yah? Apa karena ilmu bidan yang kau rekomendasi itu belum hebat,
sehingga dia mengeluarkan anakku sebelum waktunya? Atau memang anakku
ditakdirkan begitu?”
“Bang, sekarang sudah mau Subuh. Dari tadi kau diam saja, belum menjawab
satu pun pertanyaanku. Bang, aku sudah ketemu nama yang bagus untuk anakku
ini. Yaitu: Fajar. Yah, seperti saat ini.”
“Bang sekarang sudah pagi. Terima kasih. Sekarang aku akan menikmati hari
bersama istri dan anakku yang baru lahir. Kapan-kapan kalau anakku yang lain
lahir, Abang yang kasih nama yah.”
“Bang sekarang sudah pagi. Kau malah tidur sendiri.”

/3/
Sekarang masih pagi. Seperti aku dan anakku.
Kau mungkin ada di puncak siang. Terik. Atau malah malam. Dingin.
Aku ingin belajar menjadi setan jalanan.
Aku sudah punya alat ukur dan konversi; lensa; sampel debu; dan warna.
Tapi aku belum punya satu hal untuk jadi setan jalanan:
NYALI. Mau pinjamkan aku barang beberapa?

/4/
“Huh, aku memang nggak berbakat jadi setan. Aku jadi malaikat jalanan aja yah?”

/5/
Cahaya pagi itu berhasil kulihat.
Di sudut pantai tempat kau berlabuh, terlihat perahumu diam mengeluh.

Jember, 17 Desember 2007

Tidak ada komentar: