Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Kado Akhir Tahun

Sebuah e-mail saya baca. Ternyata dari seorang jurnalis di Kalimantan. Kabarnya: Tiga sajak saya dipublikasi di Borneonews Minggu 30 Desember 2007. Terimakasih buat redaktur Kolom Seni Budaya di harian itu. Sebab sudah membantu saya menutup tahun ini dengan puisi.

Judul Sajak saya yang dipublikasi itu:

Selepas Perjalanan
Resume Wawancara dengan Penyair dan Puisi
Ketika Penyair Pergi

Seterusnya..

Tempus Fugit

Ada yang bergerak cepat.
Kadang kita beri nama sebagai
waktu.
Ada yang serak ucapkan dua selamat.
Selamat tinggal untuk Yang Lama
Selamat datang untuk Yang akan jadi Lama.

(Selamat Tahun Baru 2008;
Semoga amal ibadah kita di tahun 2007 bisa dilanjutkan)

Seterusnya..

Tahun Baru, Waktu dan Lupa

Pergilah ke pasar; adakah disana barang yang tak bisa ditawar? Kalau kita bicara pasar-super (super-market) atau pasar-berlebih-lebihan (hyper-market) tentu saja barang yang dijual sudah ditengeri dengan stiker harga. Menawar harga di pasar macam itu sia-sia sungguh. Di Indonesia ini, apa yang gagal untuk bisa ditawar? Hukum, pendidikan, politik, sampai percintaan pun; yakinlah bisa ditawar.

Masyarakat yang minim menikmati kepastian, kecerdasan, kebersamaan sampai kehangatan; hakulyakin akan berpenyakit dua saja: kaget dan lupa. Hidup seolah senantiasa “tiba-tiba”; cepat sekali berlalu bagai kilat yang muncrat dari langit. Tak ada yang bisa dicercap dari hari ini hingga berimbas pada buramnya penerawangan hari esok. Justru yang banyak menyeruak adalah perilaku menawar waktu. Sebagaimana sering muncul dalam kalimat-kalimat berawalan; “Kalau saja...”, “Coba...”, hingga “Ingin rasanya kembali...”.

Kalau ditimbang ulang, sebenarnya, super-market dan hyper-market itu tidak memasang harga yang tak bisa ditawar. Pasar jenis itu menjual barang dengan harga yang sedikit lebih murah dari toko kelontong. Mereka telah memperkirakan berapa besar harga yang mungkin ditawar oleh konsumen. Dengan hitungan bisnis-ekonomis yang tepat, tentu saja, tiada mereka merugi. Alhasil, waktulah yang benar-benar tak tertawar.

Harga waktu tetap, tak berubah. Kita memberinya nama detik, menit, hari, minggu sampai tahun. Manusia hanya mampu melakukan analisa pra-peristiwa yang disebut proyeksi. Atau analisa ketika suatu kejadian telah terjadi, yaitu evaluasi (kata halus dari penyesalan). Tetapi, dua bentuk perilaku itu tidaklah mampu menawar waktu.

Manusia dan waktu berpacu, tentu saja yang keluar sebagai pemenang adalah waktu. Kata Rendra dalam salah satu sajaknya; “Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma / Kita menjadi goyah dan bongkok / karena usia nampaknya lebih kuat dari kita / tapi bukan karena kita telah terkalahkan”. Dus, proyeksi dan evaluasi mungkin adalah senjata manusia menawar waktu.

Tapi, kini, ketika dunia terbuka luas hingga batas-batas kian mudah diterabas, proyeksi dan evaluasi makin sulit kita temui di masyarakat. Kekuatan manusia tidak lagi diarahkan untuk menawar waktu tapi membunuhnya. Manusia “menolak menjadi koma” bukan dengan proses yang mencoba bersahabat dengan waktu.

Uang adalah kekuatan yang digunakan manusia untuk membunuh, mencincang dan menyekaratkan waktu. Suap, ijazah palsu, politik uang sampai cinta matre sedikit contoh dari proses manusia kini yang ingin membunuh waktu. Tapi, sekali lagi, waktu tak pernah bisa dikalahkan sungguh.

Ilmu pengetahuan memberi pengajaran dan waktu menyediakan peringatan kepada manusia. Keduanya berkeinginan agar sikap bijak menyembul dalam masyarakat manusia. Masyarakat yang menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan akan mudah terserang rasa kaget yang luar biasa. Sementara yang kian bermusuhan dengan waktu niscaya mengidap penyakit lupa kronis.

Kita lebih senang merayakan tahun baru. Padahal adanya pergantian tahun dalam kalender masehi berfungsi sebagai peringatan. Ajang melakukan evaluasi dari yang sudah berlangsung pada tahun yang ditinggalkan. Wahana merencanakan yang ingin kita wujudkan dalam tahun mendatang. Momen pergantian tahun seharusnya adalah tempat bagi kita untuk menjauhi sikap kaget dan lupa.

Dengan merayakan hadirnya tahun baru, sejatinya kita telah mengaku tersungkur oleh waktu tanpa pernah melakukan usaha untuk bersahabat atau mengalahkannya. Perayaan cenderung bersifat dangkal, seremonial dan mengukuhkan sifat kaget serta lupa dalam diri kita. Kalau kita percaya bahwa kehidupan adalah proses, maka sungguh perayaan tahun baru adalah jenis perilaku yang manusia lakukan untuk membunuh dan meniadakan proses itu.

Saya selalu membayangkan, andai tiap malam tahun baru justru identik dengan sepi. Tiap keluarga berkumpul di rumah. Mengukur capaian yang telah dilakukan dan memaparkan rencana yang ingin direngkuh dalam suasana penuh kehangatan.

Tapi tiap malam tahun baru, mayoritas kita justru senang berpesta di jalanan. Padahal, seperti kata Radhar Panca Dahana, mereka yang sering berpesta memang dekat dengan lupa. Saya tak tahu, malam tahun baru ini berapa orang yang memilih merenung di rumah saja. Tapi, saya tak pernah lupa, bahwa tiap malam pergantian tahun jalan-jalan selalu ramai; disesaki orang-orang yang ingin melupakan dan membunuh waktu.(*)

Seterusnya..

DENGAN TIDAK TENANG

Penghujung Tahun belum lagi datang. Bhutto sudah pulang ke rumah akheratnya. Dalam dentuman bom, kilatan api, Bhutto pergi dengan tidak tenang. Tuhan, berikanlah damai untuk kami, untuk Pakistan, untuk Dunia dan untuk Bhutto. Tenangkanlah Bhutto, walau Kau telah menjemputnya dengan tidak tenang. (Mengenang Wafatnya Benazir Bhutto)

Seterusnya..

CAHAYA PAGI ITU BERHASIL KULIHAT
Oleh: rYoDiMaS

: untuk D. A. Sujana

/1/
Kau seperti setan jalanan. Setiap sentinya kau
ukur dengan teliti. Setiap kerikil kau cermati.
Setiap debu kau baui. Setiap batu kau tandai.
Kau punya segala alat ukur dan konversi, dari inchi
ke senti; dari senti ke mili. Kau punya segala
lensa, dari zoom satu kali; dua kali; tiga kali; hingga
lima kali. Kau punya setiap sampel debu bau, dari debu
bekas tapak kaki pejabat; perawan cantik yang gamang
akan keperawanannya; sampai kotoran anjing yang
berhasil dibawa oleh lalat kemana-mana. Kau punya
setiap warna pemberi tanda, dari hitam pekat; merah
marah; biru daun; hijau sungguh; sampai abuabu yang ragu.

/2/
“Bang, saat ini malam. Hari ini aku menanti kelahiran anakku.
Istriku sejak aku kecil dia telah hamil. Tapi sampai aku kehilangan
keperjakaan yang berkali-kali; sampai aku mengawini banyak istri.
Dia belum juga berhasil melahirkan.”
“Bang, tadi siang kau datang. Membawa kabar tentang bidan yang baru
saja lulus dari akademi. Kau beri saran, agar aku mengganti dukun itu,
yang tlah berbelasbelas tahun mengurusi kehamilan istriku.”
“Bang, anakku barusan lahir! Sehat dan ganteng seperti ayahnya. Kuberi nama
Siapa yah dia? Aha, tentu kau lebih tahu nama yang bagus. Jumlah anakmu kan
sudah kepala dua. Kau hebat. Semuda ini sudah punya berlusin istri.”
“Bang, anakku memang sehat dan ganteng seperti aku. Tapi, kok dia lahir
prematur yah? Apa karena ilmu bidan yang kau rekomendasi itu belum hebat,
sehingga dia mengeluarkan anakku sebelum waktunya? Atau memang anakku
ditakdirkan begitu?”
“Bang, sekarang sudah mau Subuh. Dari tadi kau diam saja, belum menjawab
satu pun pertanyaanku. Bang, aku sudah ketemu nama yang bagus untuk anakku
ini. Yaitu: Fajar. Yah, seperti saat ini.”
“Bang sekarang sudah pagi. Terima kasih. Sekarang aku akan menikmati hari
bersama istri dan anakku yang baru lahir. Kapan-kapan kalau anakku yang lain
lahir, Abang yang kasih nama yah.”
“Bang sekarang sudah pagi. Kau malah tidur sendiri.”

/3/
Sekarang masih pagi. Seperti aku dan anakku.
Kau mungkin ada di puncak siang. Terik. Atau malah malam. Dingin.
Aku ingin belajar menjadi setan jalanan.
Aku sudah punya alat ukur dan konversi; lensa; sampel debu; dan warna.
Tapi aku belum punya satu hal untuk jadi setan jalanan:
NYALI. Mau pinjamkan aku barang beberapa?

/4/
“Huh, aku memang nggak berbakat jadi setan. Aku jadi malaikat jalanan aja yah?”

/5/
Cahaya pagi itu berhasil kulihat.
Di sudut pantai tempat kau berlabuh, terlihat perahumu diam mengeluh.

Jember, 17 Desember 2007

Seterusnya..

Perahu Pendoa /2/

lalu aku menulis
agar yang kutahu
tak sekadar haluan
dan buritan. supaya
tumbuh pula geladak
disesaki sajak.
hingga Kau tergelak
membaca doa-godaku.

Jember; 17/12/2007

Seterusnya..

Kalawan

yang sekarang nanti terkatakan lampau
merdu suara yang pasti menjelma parau

dekap rindu perlahan jadi jemput kematian
hangat tatapan yang berbayang dingin kebencian

tangan yang berjabat kelak dipakai membabat
kanan pun cepat berlari menuju kepalan kiri

kaki-kaki gerak serempak lalu saling sepak
cinta terserak dipungut berganti sepi paling kabut

oh, sulit sungguh kubaca beda warna pada tubuhmu.

Jember; 12/2007

Seterusnya..

Hak Bertanya
::dipublikasi di Harian Radar Jember 19/12/2007

Ada yang unik. Guru Sosiologi saya saat di SMU memiliki aturan yang harus ditaati oleh seluruh murid. Beliau tidak akan bersuara dan memulai pelajaran jika diantara kami belum ada yang bertanya. Awalnya, kami pikir beliau hanya bercanda.

Dua hari setelah aturan itu dimaklumatkan, kami harus belajar Sosiologi lagi. Beliau masuk kelas, duduk kemudian membuka-buka buku; seolah tak ada murid dihadapannya. Kelas hening kira-kira lima menit lamanya. Kami saling bersitatap, seolah sama paham: “Aturan itu bukan gurauan!”. Seorang teman tiba-tiba mengacungkan jari, setelah itu berkata, “Pak, saya mau tanya”. Guru saya langsung mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk; “Silakan”, sambutnya. “Bapak tidur jam berapa tadi malam?”, ucap teman saya dengan suara agak terbata-bata. Tawa kecil kemudian terdengar diantara kami.

Ada yang aneh. Bukan amarah yang menyeruak dari Guru Sosiologi itu. Beliau menjawab dengan tenang ‘pertanyaan konyol’ tersebut. Sampai kelas 3 SMU, mata pelajaran Sosiologi diasuh oleh beliau. Saat acara kelulusan, saya tanyakan kepada beliau sebab dibuat aturan seperti itu. “Biasakanlah bertanya, sebab perilaku itu yang mengubah dunia”, jawab beliau. “Bertanyalah apa saja kepada siapapun. Kalau kau sebenarnya sudah paham suatu hal, maka pertanyaanmu adalah usaha untuk makin meneguhkan pemahaman itu. Den, kau harus ingat, manusia adalah wadah dari salah dan lupa.”, pesan Guru Sosiologi itu membekas sekali di hati.

Ucapan beliau tidak klise sama sekali. Beliau sangat konsisten dengan aturan yang dibuatnya. Pelajaran Sosiologi yang menyenangkan itu selalu diawali dengan pertanyaan dari murid kepada sang guru. Mulai dari pertanyaan serius; “Pranata sosial itu apa, Pak?”, “Apakah yang dimaksud dengan masyarakat modern?” sampai pada ‘pertanyaan konyol’; seperti “Bapak makan apa pagi ini”, “Bapak terlihat di pasar kemarin, belanja apa Pak?”. Beliau selalu menjawab dua jenis pertanyaan itu, sungguh, dengan kadar keseriusan yang sama. Hingga kami sangat menyayangi beliau sepenuh hati. Maka tak aneh, ketika pulang kampung pada Oktober tahun ini, saya mendapat kabar bahwa Guru Sosiologi itu terpilih sebagai Guru Terbaik Tingkat Propinsi tahun 2007 dan berhak atas tiket ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.

Dengan adanya aturan itu, Guru Sosiologi saya tidak pernah berpesan agar kami membaca buku saat di rumah. Sebab kami pasti melakukan hal tersebut agar memiliki pertanyaan sebagai kunci untuk membuka pelajaran. Setelah saya renungkan, pertanyaan yang saya sebut ‘konyol’ sebenarnya tidak demikian. Pertanyaan tersebut sangat manusiawi. Melalui pertanyaan itu, kami tidak menganggap beliau sekadar Guru saja. Tetapi individu yang juga memiliki kegiatan diluar sekolah. Memandang beliau ‘apa adanya’ sebagai manusia. Guru dan murid bukan status yang mencegah hubungan dekat dan hangat berlangsung diantara kami.

Saya tidak pernah mendengar beliau berkata “Ada pertanyaan?”, seusai menjelaskan. Kami terbiasa berinisiatif mengacungkan jari untuk bertanya ketika beliau terlihat akan berhenti menjelaskan. Semua terjadi karena adanya aturan itu.

Ada dua bentuk warisan lisan leluhur yang terkait dengan bertanya. Peribahasa “malu bertanya sesat di jalan” dan pepatah “sudah gaharu cendana pula”. Pada peribahasa tersebut kita temukan unsur positif yaitu bertanya sebagai proses untuk memudahkan urusan. Sementara energi negatif kita rasakan pada pepatah diatas yang sering diartikan sebagai “sudah tahu, bertanya pula”. Pada pepatah ini, bertanya dimaknai sebagai cara mengejek orang lain. Nampaknya, Guru Sosiologi saya itu menganut pemaknaan bertanya pada peribahasa diatas saja.

Sungguh, bertanya adalah perilaku yang mengubah dunia. Sebab segala inovasi yang berjalan di dunia ini, selalu diawali dengan proses tersebut. “Mengapa apel jatuh ke bawah?” adalah pertanyaan Isaac Newton saat akan menemukan teori gravitasi yang terkenal itu.

Saya agak aneh, Jepang luluh-lantak beberapa hari sebelum Bung Karno dan Bung Hatta membacakan Proklamasi di Jakarta, namun kini Negeri Sakura itu adalah ‘Macan Asia sebenar-benarnya’. Keanehan itu terhapus tatkala saya mengetahui bahwa yang dilakukan Kaisar Jepang setelah Yokohama dan Nagasaki dijatuhi bom atom adalah bertanya, yaitu “Berapa jumlah guru yang tersisa?”. Tak ada yang negatif, akhirnya, dari perilaku bertanya. Maka, hak yang bisa dilakukan setiap individu adalah ‘hak bertanya’.

Suatu malam, saya kecewa. Pada halaman 382 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III Cetakan keempat tahun 2005 diterakan makna ‘hak bertanya’. Yaitu “hak anggota DPR, baik perseorangan maupun bersama-sama, untuk mengajukan pertanyaan kepada presiden atau pemerintah”. Kamus yang diterbitkan oleh Balai Pustaka—dan dijadikan pegangan wajib dalam institusi pendidikan kita—itu sungguh sempit memberi makna pada ‘hak bertanya’. Jika sudah begini, seolah bertanya bukanlah hak yang menempel langsung kepada manusia sejak lahir ke dunia.

Bertanya adalah perilaku positif sebab membuka tabir misteri yang menyelubungi dunia ini atau memperbaharui pengetahuan kita atas sesuatu. Kalau ada pertanyaan yang disebut basa-basi itu tetap saja positif. Interaksi antar manusia tanpa basa-basi akan berlangsung hambar bahkan menjauh dari kekariban.

Hak bertanya adalah rahmat langsung dari Tuhan kepada seluruh manusia. Dengan bertanya, otak berpikir dan tangan bekerja untuk mencari jawaban. Akhirnya, sudahkah Anda bertanya hari ini? Jikalau saya yang mendapatkan pertanyaan itu, maka jawabannya adalah: “Saya baru saja melakukannya”.(*)

Seterusnya..

‘Berkenalan’ Lagi Dengan Chairil Anwar
:: dipublikasi di Harian Surya (Minggu; 30/09/2007)

Judul Buku : Chairil Anwar; Sebuah Pertemuan

Rasanya, orang Indonesia—yang hanya menempuh pendidikan dasar sekalipun—pernah mendengar nama ini: Chairil Anwar. Hanya mendengar, sebab perkenalan butuh ruang yang lebih luas. Lewat buku ini, Arief Budiman menuturkan Chairil Anwar melampaui sebuah perkenalan dan pertemuan, yaitu penyelaman. Yang istimewa dalam buku ini adalah; Arief Budiman meletakkan Chairil Anwar sebagai pribadi yang tak terlalu istimewa. Membaca buku ini, kita akan tersadar bahwa menulis puisi dan menjadi penyair adalah suratan tangan tiap manusia. Segala hal yang membalut kehidupan Chairil, juga kita temui dalam keseharian hidup ini. Satu hal, Chairil Anwar menjadi sangat terkenal karena usahanya. Dan buku ini—juga pelbagai tulisan lain tentang dirinya—adalah ganjaran yang setimpal atas usahanya tersebut.

Chairil berjasa besar dalam memperbaharui seni-kesusastraan kita, utamanya puisi. Melalui sebuah buku tahun 1968, HB Jassin menyebutnya sebagai “Pelopor Angkatan 1945”. Usaha Chairil yang teramat berharga adalah menyiarkan kepada kita bahwa puisi adalah milik semua orang. Puisi tak harus selalu menceritakan “yang besar”, “yang sakral” dan “yang agung”. Jiwa kita dan segala riak-gejolak yang menyerempetnya adalah sumber ide yang hakiki.

Buku ini hadir sebagai perwujudan lintas disiplin; didalamnya ada kajian sastra, psikologi dan filsafat. Semua kajian itu saling membahu-bantu untuk menjelaskan beragam sisi kehidupan yang selalu dicari jawabnya oleh manusia. Chairil Anwar dan karyanya adalah representasi kejiwaan kita pula; demikian kira-kira sapaan Arief Budiman kepada pembaca buku ini.
Penyair yang lahir di Medan, 26 Juli 1922, ini ternyata merupakan sosok yang selalu mencari tentang makna kehidupan secara individual.

Dalam sebuah esai berjudul “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”; menurut Arief Budiman, Chairil Anwar seolah memaklumatkan bahwa ia telah siap ditelaah dari pelbagai sisi mengenai sajak yang ditulisnya. Kata Chairil; “Untuk dapat memahami karya seni, utamanya puisi, maka kita harus menangkap ‘pokok’-nya terlebih dahulu, jangan hanya menilai dengan ‘perkakas bahasa’ saja” (hal:46). Chairil menjadi bernilai, pada akhirnya, karena ia mampu menggambarkan kejiwaan manusia dalam karyanya. Ia tak lagi menyoal pakem puisi sebagaimana ‘diagung-agungkan’ oleh para penyair Pujangga Baru.

Chairil adalah pribadi yang ‘retak’, namun adakah diantara kita yang tidak retak secara kepribadian? Manusia, melalui keretakan dalam pribadinya, berusaha mencari segala kemungkinan yang bisa dilalui dalam hidup ini (hal:57-59). Chairil meretakkan kepribadiannya dengan mula-mula bertanya tentang kematian dalam puisi yang pertamakali ditulisnya, Nisan (Oktober 1942). Ia mempersoalkan neneknya yang ridha menghadapi kematian (hal:19-20). Dan ia menggugat kematian yang begitu angkuh melaksanakan tugasnya: “Tak kutahu setinggi itu diatas debu/dan duka mahatuan bertahta”.

Chairil mempersoalkan hidup dan menuliskannya dalam puisi. Hingga ia pun menatap kehidupan sebagai sebuah misteri. Segala yang kita lakukan seolah sia-sia sebab kematian bisa datang menyambar kapan saja—tak tentu tempat dan waktu. Maka pada Desember 1942 ia menuliskan lagi sebuah puisi berjudul Penghidupan : Lautan maha dalam/mukul dentur selama/nguji pematang kita/hingga hancur remuk redam/Kurnia Bahagia/kecil setumpuk/sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

Tahun-tahun awal Chairil menulis puisi adalah momentum pencarian kemerdekaan sebagai pribadi. Maka ia mempersoalkan pula ikatan dalam pelbagai bentuknya—keluarga, agama dan tentu saja: Tuhan. Ia tidak membunuh diri walau begitu pesimis dengan hidup. Ia memilih jadi laiknya Ahasveros; hidup mengembara. Tentu saja dibarengi dengan makin sulit kehidupan yang dijalaninya. Chairil jatuh miskin ketika memilih pergi dari Medan untuk ikut ibunya karena sang bapak menikah lagi. Ia pun hidup menggelandang di Jakarta setelah ibunya makin sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sejumlah puisi yang ditulis pada awal masa kepenyairannya memperlihatkan betapa intens ia mengkhidmati hidup dan dunia sekelilingnya. Jika nada pemberontakan selalu saja nampak dalam puisi Chairil, tentu saja karena pada masa-masa itu (tahun 1942), negeri kita tengah sangat bergejolak. Kedudukan Belanda mulai diujung kehancuran dan Jepang makin mendekat nusantara. Ada kesempatan untuk Indonesia menjadi merdeka. Chairil berada di Batavia dan secara intens pula melihat hal itu. Inilah bentuk pengaruh lingkungan pada diri manusia. Pandangan ini tidak termaktub untuk diulas dengan baik oleh Arief Budiman.

Walau begitu, Arief Budiman juga mengajukan data mengenai hidup Chairil yang cukup komprehensif untuk menganalisa karyanya. Ada pengakuan Sjamsulridwan yang cenderung positif bagi penilaian kita atas jatidiri Chairil. Menurut pengakuannya, Chairil adalah sosok yang pemberani, keras, tidak mau mengalah, agak tinggi hati walau tetap saja gaul dan memiliki rasa ingin tahu yang luarbiasa besar. Bahkan, “...kalau ia sudah membaca buku maka buku itu dibacanya dari malam sampai menjelang pagi.”, sebagaimana dikutip Arief dari pengakuan HB Jassin (hal:119).

Sementara sisi negatif Chairil diambil dari pengakuan Soeharto—sahabat Chairil sejak kecil yang kemudian berpisah dan kembali bertemu di Jakarta. Soeharto adalah seorang pelukis. Jika Sjamsulridwan mengatakan bahwa Chairil adalah sosok yang brilian secara prestasi di sekolah, maka Soeharto mengatakan sebaliknya. Chairil Anwar terbilang memiliki otak pas-pasan. Prestasinya tidak terlalu baik, Chairil memang menonjol pengetahuannya tentang sastra. Namun ia, masih menurut Soeharto, tidak pernah menulis karya sastra semasa di bangku sekolah. Soeharto mengakui bahwa dua hari setelah Chairil meninggal di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta), ada petugas rumah sakit datang kepadanya dan meminta agar “mayat Chairil segera diurus” (hal:123).

Saya tidak paham dengan maksud Arief Budiman mengambil data negatif tentang Chairil ini. Apakah sekadar sebagai pembanding, atau memang berniat menelusuri sosok Chairil secara intens? Persoalan mendasar adalah kisah tentang bagian wafatnya Chairil. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketika Chairil sudah tidak sadar dengan panas yang tinggi, HB Jassin berada di sisinya. Maka saya pun sempat membaca bahwa salah satu kata terakhir yang diucapkan Chairil adalah “Tuhan...Tuhan”. Bahkan, bagaimana mungkin mayat Chairil baru diurus dua hari setelah ia wafat, sedangkan banyak seniman yang berada di sisinya ketika dijemput sang maut. Lebih jauh, ada beberapa sketsa lukisan—dipublikasi dalam edisi khusus Horison untuk mengenang Chairil Anwar—yang menggambarkan penguburan Chairil di TPU Karet sehari sesudah ia wafat. Chairil wafat sore hari 28 April 1949.

Kealpaan—untuk tidak disebut sebagai kesalahan—mengambil data sejarah seseorang, bisa berakibat pada taraf penghayatan sebuah karya sastra. Seperti, misalnya, bagaimanakah peran teman-teman Chairil di Jakarta dalam membentuk kepribadiannya. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana pengaruh atensi manusia sekitarnya dalam sejumlah karya Chairil Anwar.
Arief Budiman dengan cukup baik menganalisa sejumlah puisi Chairil bertema agama dan Tuhan (hal:49-54). Menyitir pendapat Paul Tillich mengenai agama dan religiusitas, Arief Budiman nampaknya begitu dalam menyelami pribadi Chairil. Bagi Paul Tillich, seorang yang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup ini melampaui batas-batas lahiriah. Chairil Anwar memilih untuk menolak menyerah pada agama. Hal ini tersirat dan tersurat dalam puisi Di Mesjid (1943).

Sebuah puisinya bertema agama dan Tuhan yang terkenal tentu saja Doa (13 November 1943). Melalui puisi ini, Arief Budiman menyatakan bahwa Chairil sudah menyerah; ia tidak lagi menyoalkan agama. Sebab tanpa Tuhan, Chairil akan “remuk dan hilang bentuk”. ‘Binatang jalang’ itu sudah “mengetuk di pintu Tuhan” dan “tidak bisa berpaling”. Tetapi, nampaknya Arief Budiman lupa bahwa ada anotasi pada puisi tersebut, yaitu “kepada pemeluk teguh”.
Anotasi itu, menunjukkan bahwa Chairil belum menyerah untuk terus mempersoalkan agama dan Tuhan. Kita tahu bahwa satu hari sebelumnya (12 November 1943), ia menulis puisi yang menunjukkan kekaguman pada Isa. Puisi Doa bukan ditujukan untuk dirinya. Chairil masih terbawa rasa kagum pada sosok Isa—seorang pemeluk teguh. Ia seolah masih ingin membuat karya yang mendokumentasikan sebuah kekaguman pada semua pemeluk agama yang teguh kepada Tuhan. Itulah makna anotasi dalam puisi Doa.

Buku Arief Budiman ini adalah bentuk bukti dari tesis Chairil tentang puisi. Chairil pernah berkata bahwa “Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia”. Ia menghasilkan karya yang bisa kita pahami secara beragam laiknya isi dunia. Sebuah kearifan ditunjukkan oleh Arif Budiman di awal buku ini tentang otentisitas pengamatan antara karya dan pembaca. Seribu orang yang membaca karya Chairil Anwar, niscaya akan muncul lebih dari seribu tafsir. Inilah kiranya hakekat kemanusiaan yang ditawarkan oleh Chairil melalui karyanya dan Arief Budiman melalui analisanya.

Seterusnya..

Press Release:
Ruwatan Budaya: untuk korban kekerasan dan ketidakadilan

Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan pelupaan
(Milan Kundera, The Book of laughter and forgetting)

Apa yang tersisa dari kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh sang Tiran -- ketika sikap kritis dilarang, kebebasan dibungkam dan kebenaran diputarbalikkan— di masa lalu? Pada kondisi semacam ini sejarah atau historiografi pun menjadi tak lebih sebagai dongeng fiktif yang mendedahkan kepahlawan penguasa dan penghinadinaan bagi para korban. Mereka yang sudah mati masih tetap dihinakan, mereka yang masih hidup tetap dipariakan. Apa yang tersisa dari warisan rejim penguasa di masa lalu? Tak lebih dan tak kurang adalah kuburan massal tanpa nama dan seluruh negeri menjadi kuburan besar bagi kemanusiaan. Jejak sepatu lars penuh tetesan darah, sejarah yang dibengkokkan, dan berjilid-jilid karya sastra, tempat para korban mencatatkan luka derita perlawanan mereka. Ketika rasa sakit dan derita yang telah dipaksa berurat-akar dalam benak bangsa, belum mampu benar dicabut, paling tidak ada ruang untuk menegosiasikan derita dan kebenaran.
Ketika historiografi menjadi monopoli penguasa, maka antara fakta dan fiksi menjadi tidak kentara batasnya. Apa yang dianggap kebenaran oleh para penguasa, di dalam sejarah kekuasaan yang diterakan sebenarnya tak lebih dari fiksi yang dikarang oleh intelektual pendukung mereka, dan didongengkan terus-menerus kepada rakyat agar dipercaya menjadi suatu sejarah dan kebenaran yang sesungguhnya. Ketika penguasa memproduksi fiksi yang disamarkan sedemikian rupa agar dianggap menjadi fakta, maka karya sastra menjadi alternatif pilihan untuk memunculkan semangat pencatatan sejarah dan kebenaran, moralitas dan etika. Sebab, karya sastra sebagai salah satu media ekspresi manusia, dalam skala tertentu mempunyai potensi sebagai teks tandingan bagi jenis fiksi lain, yang dituliskan oleh para penguasa lewat historiografi resmi yang mereka monopoli. Karya sastra yang jelas-jelas dihasilkan sebagai sesuatu yang benar-benar fiksi murni, toh juga mampu mengoplos sedemikian rupa antara fakta dan fiksi, kebenaran dan rekaan, kenyataan dan khayalan, derita dan pengharapan.
Karya sastra di sini dapat disetarakan dengan model transisi untuk penulisan historiografi, yang bukan sekedar mengisahkan rentetan kronologis terjadinya suatu peristiwa sejarah. Melainkan transisi ke arah historiografi yang menjadikan moralitas dan etika sebagai neraca utama untuk menakar kembali kebenaran peristiwa politik di masa lalu dan pengaruhnya terhadap kisah hidup nyata manusia biasa di masyarakat pada kurun waktu tertentu di dalam perjalanan sejarah suatu bangsa. Di sinilah para korban kekerasan sang Tiran dan non korban mampu merebut kembali kedaulatannya untuk menerakan dan membahasakan pemikiran dan ingatannya terhadap apa yang pernah terjadi di masa lalu dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di masa sekarang dan di masa depan.
Kalau sejarah versi resmi tidak memuat kisah tentang kehidupan mereka yang dianiaya dan dinistakan, maka dengan adanya karya sastra, baik yang ditulis survivor maupun non survivor dapat merebut pena keniscayaan sejarah, guna menuliskan kisah pahit getir hidup mereka, pesimis dan optimistik keyakinan mereka akan kebenaran dan harapan, akan keberhasilan ataupun kemungkinan kegagalan perjuangan mereka. Pendek kata, dengan karya sastra, kebenaran yang dinarasikan oleh para penguasa bisa dicurigai, dipertanyakan, dimain-mainkan, dibongkar bahkan disusun ulang. Kita juga bisa mempertimbangkan apa harapan dan sikap para korban maupun non korban terhadap penindasan dan kekerasan yang menimpa mereka dan masyarakat Indonesia di masa lalu. Dengan demikian dihasratkan akan tersedia pijar renungan yang dapat dipetik dan dijadikan modal untuk memformulasikan suatu moralitas dan etika berpolitik yang lebih menjunjung tinggi imperative: Dignity for Humanity!
Berangkat dari renungan semacam itu, Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Umar Kayam, Yayasan Pondok Rakyat, Impulse, Rumah Budaya Tembi, Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda (Karta Pustaka), Syarikat Indonesia, Perguruan Rakyat Merdeka (Simpul Yogyakarta), Penerbit Jalasutra, Penerbit Ombak, Galangpress, Sanggar NUUN, Anjani, Mess56, Kunci, Jaringan Islam Kampus, dan Lembaga Nawakamal berniat mengadakan Ruwatan Budaya: Diskusi Bedah Buku, Orasi Budaya, Pembacaan Puisi & Cerpen dan Musikalisasi Puisi Untuk Korban Kekerasan dan Ketidakadilan. Ruwatan dalam adat Jawa adalah sarana untuk menolak bala, membebaskan kita dari ancaman mara bahaya, berdoa dan meminta pengampunan atas segala dosa dan kesalahan di masa lalu. Ruwatan Budaya kali ini bertujuan membebaskan kita dari kesalahan rejim penguasa di masa lalu yang penuh darah dan kekekerasaan yang telah memakan korban sampai ribuan orang tidak berdosa agar kejadian seperti ini tidak akan terulang di masa datang dan mengenang kembali korban-korban kekerasan yang selama ini terlupakan.
Acara ini telah dimulai dengan Talkshow di radio Eltira FM sepanjang bulan November 2007 setiap Kamis pukul 16.00 – 17.00 WIB (tanggal 1, 8, 15, 22 dan 29 November 2007 dengan pembicara Dr. Budiawan, Bambang Agung, Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Landung R. Simatupang, Dr. Katrin Bandel, dan Dr. St. Sunardi.
Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) juga akan menyelenggarakan bedah buku “Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia” (Elsam) dan “Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis: Catatan di Senjakala” karya T. Jacob (Obor).
Hari, Tanggal : Sabtu 8 Desember 2007
Jam : 09.000-12.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar LPPM, Universitas Sanata Dharma
Jl. Affandi-Gejayan, Mrican, Yogyakarta
Pembicara : Dr. Denny Indrayana
Dr. George J. Aditjondro
Dr. Baskara T. Wardaya S.J.
Moderator : Antariksa
Puncak acara Ruwatan Budaya: Pembacaan Puisi & Cerpen, Orasi Budaya dan Musikalisasi Puisi Untuk Korban Kekerasan dan Ketidakadilan akan digelar pada tanggal 8 Desember 2007 malam (jadwal di bawah). Tema yang akan diusung oleh acara ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru selama masa kekuasaannnya, baik melalui karya yang ditulis oleh para korban maupun non korban. Kekerasan yang dimaksud ialah kekerasan negara dalam perpektif HAM, yakni dilanggar atau diabaikannya hak warga negara (tanpa membedakan suku, ras, agama, pilihan ideologi dan gender) dalam hal Hak Sosial, Politik, Ekonomi dan Budaya. Acara ini akan diselenggarakan:

Pada tanggal : 8 Desember 2007
Waktu : 19.00 – 24.00 WIB
Tempat : Pusat Kebudayaan Indonesia -Belanda Karta Pustaka
Jl. Bintaran Tengah 16, Yogyakarta

Kegiatan peringatan hari Hak Asasi Manusia sedunia ini akan ditradisikan setiap tahun.
Adapun para pengisi acara yang dipersiapakan oleh panitia adalah:

Pembacaan Puisi dan Cerpen:
Landung R. Simatupang,
Femi Adi Soempeno
Puthut E.A.
Fitri Nganthiwani
Ikun Eska
Naomi Srikandi
Kuswaedy Syafe’i
Hendro
Juliana Rahayu

Orasi Budaya: Dr. FX Baskara T. Wardaya S.J.
Musikalisasi: Nawakamal
Tommy Simatupang
Sanggar NUUN

Kami sangat berharap partisipasi dan kerjasamanya dari kalangan perss untuk memberi dukungan atas penyelenggaraan acara ini.

Demikian release ini kami buat, atas partisipasi dan dukungannya kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta : 1 Desember 2007

Dr. Baskara T. Wardaya. S.J.

Penanggung Jawab

A.Anzieb Monica Maria W.S.
Koordinator Umum Ruwatan Budaya Sekertaris

Seterusnya..

Ada di Radar Jember
***Saya harus pasang tulisan ini di ruang maya. Bukan apa-apa, hanya sebagai ungkapan terimakasih kepada Harian Radar Jember yang telah kembali menggiatkan kerja tulis-menulis di Kota Suwar-Suwir. Dan tentu saja, ini kali pertama, tulisan saya dipublikasi mendapat imbalan sebuah buku. Saya makin yakin, ada keterikatan kuat antara buku, membaca dan menulis.***

Jalan Jawa

Cak Subar, pemilik salah satu warung cangkruk tertua di daerah Sumber Sari, berkata kepada saya; “Dulu Jalan Jawa itu tidak ada”. “Kalau mau ke Alun-alun, maka harus memutar dulu lewat Mastrip atau Geladak Kembar”, imbuh lelaki yang mewarisi warungnya dari sang ibu (Mak Tika). Anak sulung dari Mak No—pemilik warung di Jalan Bangka--, Cak Kacung, pun berkata serupa kepada saya di waktu yang lain. Kepada para ‘orangtua’ yang saya kenal di Jember ini, saya memang sering bertanya tentang kisah yang tertimbun dalam suatu gedung, seruas jalan sampai sesosok manusia yang menjadi legenda di tanah Tawang Alun ini. Sebab saya adalah perantau. Dan kewajiban perantau adalah menggali akar suatu pohon agar dapat tumbuh sebagai ranting dari batang yang sama.
Jalan Jawa berada dalam mazhab pembangunan khas Orde Baru—yang konon menganut modernisasi. Sebagaimana diterangkan oleh sejumlah teoritisi, maka modernisasi dianggap sebagai era ketika manusia mampu melahirkan artefak jutaan kali lebih banyak dari era sebelumnya. Artefak itu dalam kamus modernisasi adalah teknologi. Ihwalnya, tentu saja, teknologi berfungsi memudahkan pekerjaan manusia. Seperti Jalan Jawa—mengikuti tuturan Cak Subar diatas—yang membuat masyarakat Sumber Sari tak harus berjalan jauh hanya untuk makan nasi goreng di Alun-alun.
Tetapi modernisasi—yang merupakan anak kandung dari terbitnya Abad Pencerahan di Eropa—tak henti-henti dikeluhkan oleh banyak pihak. Modernisasi justru membuat masyarakat tercerabut dari pohon asal mereka. Pun demikian dengan teknologi yang beralih dari fungsi awalnya. Manusia kini justru menjadi budak, bukan tuan dari teknologi. Jalan Jawa, sedikit banyak, telah menampakkan hal itu.
Sekira 6 tahun lalu, Jalan Jawa—bagi saya—adalah jalan yang ramping. Sungguh mudah menemui tanah lapang berumput di pinggirannya. Kini Jalan Jawa bagai kelebihan muatan—gemuk oleh sejumlah bangunan baru. Tanah lapang hanya bisa saya kenang, 6 tahun sungguh(kah) cepat (?).
Jalan bukan sekadar merujuk pada kata yang terkait dengan sarana teknologi-transportasi. Namun ia juga mengandung unsur ekonomis, politis, kultural yang saling berkelindan. Dan bagi saya, Jalan Jawa adalah Jalan Perantau. Di jalan itu, para perantau saling memandang/menyapa dalam bingkai ekonomis dan politis serta bertukar baju kultur secara perlahan.
Bagi PKL, jalan memilki fungsi ekonomis yang luarbiasa pentingnya. Jalanan adalah sumber kebulan asap di dapur. Sebab tak ada sawah untuk digarap atau hewan untuk diternakkan. Jalan adalah tempat bersuara-aspirasi, itu bagi mahasiswa—walau bukti dari hal ini kian tak nampak di Jalan Jawa. Jalan ialah pula pentas bergaya bagi mereka yang memiliki kendaraan bermesin motor.
Seorang bijak pernah berkata kepada saya; “Kalau mendapat sesuatu dari jalan, maka akan kembali kesana lagi”. Sungguhkah jalan benar-benar keras hingga tak mengenal kompromi seperti tersirat dari pernyataan tersebut? Mungkin benar. Tetapi, ranah ekonomis, politis dan lainnya adalah bentukan manusia. Hingga tak menutup pintu bagi tafsir hati nurani bernama toleransi.
Kita harus berkompromi pada keberadaan PKL di sekitar Jalan Jawa. Sebab PKL—meminjam judul lagu Iwan Fals—adalah Bunga Trotoar yang kita yakin akan menjaga kebersihan dan keharuman tempatnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Para PKL itu pun telah berjasa memperkenalkan budaya cangkruk kepada para perantau yang hilir-mudik di Jalan Jawa.
Pada Jalan Jawa yang kian padat, saya sulit menyeberang dari sisi satu ke tepi lainnya. Kendaraan bermotor itu sungguh menguasai manusia yang menungganginya. Seolah luntur budaya tepa-selira, saling memberi kesempatan pada yang lain dan pemeo “lambat asal selamat” jika sudah di Jalan Jawa.
Saya tak pernah melihat sebuah kendaraan bermotor berhenti sejenak secara spontan ketika ada seseorang ingin menyeberang di Jalan Jawa. Harus ada instrumen yang menghentikan kendaraan itu—macam zebra-cross. Sayangnya, instrumen untuk menyeberang itu amat jarang kita temui di sesaknya Jalan Jawa—hanya ada satu zebra-cross di jalan sepanjang itu.
Jalan Jawa mengabarkan berita penting kepada kita: keberagaman. Dan Jalan Jawa sejak awal berfungsi memudahkan kegiatan kita bukannya memutus tali kemanusiaan antar-pribadi sebab guliran yang maha-dahsyat dari modernisasi. Pun bukan pula kian mencabut kearifan tradisional yang sejak lama dibentuk oleh leluhur di Tanah Jember ini.
Sebuah jembatan tertidur tenang pada Jalan Jawa,. Jika direnungi mendalam, jembatan itu adalah simbol dari keharusan membina komunikasi dalam keberagaman lalu-lalang disana. Sayang, jembatan itu juga bisa kita tafsirkan lain. Tak ada titimangsa dari pembuatan atau peresmian yang bisa dilihat oleh para perantau tertera pada jembatan itu. Inikah bukti bahwa modernisasi—sebab cirinya yang melulu fisik—senantiasa memendam dalam-dalam sifat toleransi dan sisi historis dari suatu lokus (daerah)? Saya tak bisa pastikan. Hanya saja—sebab manusia berhati-nurani—saya yakin, kita bisa kembali belajar membina toleransi dalam keberagaman dan mengembangkan nilai-nilai historis warisan leluhur mulai dari Jalan Jawa. Kita berhak dan wajib melakukan semua itu.(*)

***Dipublikasi di Harian Radar Jember (06/12/2007) dengan judul Jalan Jawa dan Warung Cangkrukan. Naga-naganya pengubahan judul yang dilakukan redaksi membuat keseksian tulisan ini jadi berkurang.***

Seterusnya..

Mawar Diatas Batu (2)
Utuy Tatang Sontani, sastrawan yang dituduh sebagai komunis, berbincang dengan saya beberapa malam terakhir. Banyak hal yang kami obrolkan. Percakapan antara kami, tidak akan mungkin kesampaian tanpa bantuan Ajip Rosidi.
Berikut salinan obrolan antara saya (DAS) dan Utuy Tatang Sontani (UTS) pada suatu malam:

DAS : Ehhmmhhh.... saya harus memanggil anda apa? Soalnya nama anda banyak
sekali. Tentu saja, saya harus menambahkan kata ‘Bapak’ di depan panggilan untuk anda itu bukan?

UTS : Hehehe..kamu mah bisa aja...panggil saya apa saja. Memang, ketika masih
tinggal di Cianjur, ada tetangga yang panggil saya Jun. Dan saat eksodus ke Bandung, saya juga dipanggil Dadang. Terserah kamu mau panggil saya apa. Kamu tentu pernah tahu ‘kan ucapan Shakespeare: “What’s in a name”?.

DAS : Tapi Pak, nama itu mengandung makna. Dan untuk konteks Anda, bisa sangat
berbahaya. Keterlibatan dengan Lekra dan PKI membuat nama Anda pudar sampai kini. Saya rasa hanya orang-orang tertentu saja yang kenal dengan Anda. Saya hanya ingin bilang, bahwa nama memiliki makna yang tak kosong.

UTS : Ya...Ya, mungkin kamu betul. Tapi yang harus ditekankan disini, bukan
hanya nama. Karya adalah yang utama. Manusia dikaruniai akal untuk mencipta atau berkreasi. Nah, apalagi untuk sastrawan, karya adalah hidup-mati bagi dia. Saya disebut sastrawan setelah saya menulis Tambera yang dipublikasi di harian Sipatahoenan. Walau sebelumnya, saya telah pula banyak menulis cerpen sejak kelas 6 Taman Siswa. Ya, Tambera itulah yang mungkin cukup berhasil menyita perhatian orang banyak. Artinya, saya dikenal orang karena saya menulis dan mengarang cerita, naskah drama dan puisi. Soal keterlibatan dengan Lekra/PKI, saya hanya ingin mengatakan, bahwa nama tidak bisa dilihat semata tanpa membaca karya seseorang.

DAS : Baik...baik Pak Utuy...Sekarang, saya ingin diceritakan kisah awal anda
berkenalan dengan dunia tulis-menulis atau karang-mengarang. Saya tidak ingin terlalu membahas keterlibatan anda dengan PKI/Lekra.

UTS : Ah, kamu itu bagaimana? Orang-orang seangkatanmu saja selalu mengingat-
ingat kalau saya ini pernah jadi aktifis Lekra. Ini adalah jamanmu. Sebentar, saya jadi ingin bertanya kepadamu, kenapa kamu tak ingin membahas keterlibatan saya dengan Lekra/PKI? Jawablah dulu, baru saya ganti menjawab pertanyaanmu tadi.

DAS : Tapi, Pak...Yang tanya pertamakali ‘kan saya? Ya Pak Utuy dulu dong yang
harus jawab. Tapi baiklah, saya ingin jelaskan. Begini Pak, generasi saya adalah kelompok yang cenderung dibingungkan oleh sekian banyak hasil penelitian, pendapat atau kesaksian dari peristiwa berdarah sekitar tahun 1965 itu. Saya ingin mengenal Pak Utuy sebagai seorang penulis saja. Di mata saya, Pak Utuy adalah seorang penulis besar yang pernah dilahirkan republik ini. Tentu ini bukan bualan semata. Dasar saya berkata seperti itu adalah karya-karya Pak Utuy banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa negeri lain. Jadi, kalau saya juga tanya kenapa Pak Utuy sampai terlibat dalam PKI/Lekra, ya saya jadi malas membahas. Bagi saya, biarlah itu jadi kenangan pahit kita sebagai bangsa dan negara. Saya ingin memotret Pak Utuy sebagai penulis, itu saja. Soal masa lalu, biarlah Pak Utuy dan pihak-pihak yang waktu itu berkonflik yang menyelesaikannya. Tentu saja, saya juga tidak setuju jika proses penyelesaian itu harus dibarengi dengan mengubur nama atau karya salah satu pihak. Tiap generasi punya konflik dan generasi selanjutnya berhak mengetahui isi konflik dan sisi lain dari konflik itu. Yang saya lakukan adalah sedikit menguak sisi lain dari Pak Utuy yang mantan anggota Lekra/PKI. Ya, Pak Ajip Rosidi juga pernah bercerita bahwa Pak Utuy sangat diragukan keterlibatannya dalam Lekra. Malah Pak Ajip meyakinkan bahwa kalau keterlibatan Pak Utuy semata karena janji-janji indah para aktifis PKI. Dan kalau tak salah, Pak Utuy juga hanya terlibat secara resmi dalam PKI selama 6 bulan sebelum meletus peristiwa Oktober 1965. Pak Utuy, sekali lagi, saya hanya ingin mengenal anda sebagai seorang penulis. Itu saja. Jadi, pertanyaan saya tetap: bagaimana awal keterlibatan anda dengan dunia tulis-menulis?

UTS : Hehehe...Kamu kok panjang sekali menjawabnya. Ya, saya memang hanya
enam bulan resmi masuk PKI. Tapi kamu juga harus tahu bahwa jauh sebelumnya, saya telah akrab dengan beberapa aktifis PKI. Misalnya Aidit dan Njoto. Saya menerima telegram dari Lekra pada tahun 1957. Isinya meminta saya untuk duduk sebagai anggota Pengurus Pleno dari Lekra. Telegram itu saya bawa ketika menemui Ajip. Saya minta saran dari dia seputar telegram itu, baiknya saya terima atau tidak tawaran itu. Ya, waktu itu, saya ingin menerima saja ajakan Lekra tersebut tatkala teringat ada Hendra Goenawan dan Boejoeng Saleh Poeradisastra yang juga menjadi anggota Lekra. Tapi, kalau ingat disitu ada juga AS Dharta, saya jadi malas untuk bergabung dengan Lekra. Tapi Ajip bilang, bukan disitu persoalannya. Dia bertanya kepada saya soal sikap pribadi terhadap realisme sosialis yang menjadi pegangan dari Lekra, sepakat atau tidak? Juga dengan komunisme. Akirnya saya tolak itu tawaran Lekra. Tapi, pada tahun 1959, saya menyetujui untuk duduk sebagai anggota Lekra....

DAS : Hmm....Pak Utuy, maaf ya....saya potong sebentar. Soalnya Pak Utuy sudah
terlalu jauh dari konteks pertanyaan saya tadi.

UTS : Ohhh...gitu ya? Tapi ada hubungannya lohh...Ya udah deh, saya kasih aja
jawaban yang kamu mau. Begini, saya mulai menulis sejak kelas 6 Taman Siswa. Waktu itu umur saya kira-kira 15 tahun. Tapi, gara-gara saya mulai menulis agaknya sebuah kecelakaan saja. Ya, patah hati.

DAS : Patah hati? Wah, romantis juga Pak Utuy ini....

UTS : Ah, kamu ini senang sekali main potong pembicaraan saya. Mau saya jawab gak
pertanyaanmu?

DAS : Ok...Pak Utuy, silakan...

UTS : Baiklah. Ya, mungkin saja ihwal saya menulis itu romantis. Semuanya bermula
ketika saya kedatangan tetangga baru. Anak perempuan yang tinggal di rumah itu cantik sekali. Sejak bersekolah di Taman Siswa, saya ingin punya pabrik kacang asin. Cita-cita itu terpikirkan sebab ada seorang Tionghoa di kampung saya yang sukses memiliki pabrik kacang asin. Padahal, awalnya dia kemana-mana selalu berjalan kaki dan pakaian yang dikenakannya tidak pernah ganti tiap hari. Tapi lama-kelamaan, orang Tionghoa tadi makin berjaya dengan usaha pembuatan kacang asin hingga memiliki karyawan yang jumlahnya banyak. Tetapi, impian akan pabrik kacang asin itu segera saya tinggalkan sebab kehadiran perempuan cantik yang menjadi tetangga saya itu. Orangtua angkatnya adalah seorang mantan amtenar (pegawai negeri di jaman Belanda), bekas kepala pegadaian. Saya berpikir, kalau mau mendapatkan anak perempuan itu, berarti harus memiliki latar belakang yang tak jauh beda dengan orangtua angkatnya. Ya, akhirnya terpancang di hati, niat untuk menjadi amtenar. Hahahaha...padahal saya pernah menertawakan ibu saya yang menyuruh saya menjadi amtenar suatu kali. Tapi roda kehidupan tak dapat diramal geraknya, bukan? Yahh...saya terlibat sedikit masalah dengan anak perempuan itu, padahal sebelumnya kami sering sekali bertemu pandang lewat jendela di rumah masing-masing, hampir tiap sore seperti itu. Saya tidak suka dengan teman-teman dia yang hampir tiap hari datang ke rumahnya. Mereka tertawa-tawa dan berbincang dalam bahasa Belanda. Maklum saja, anak perempuan itu sekolah di Hollands Inlandse School. Sekolah paling mentereng di jaman saya, hanya anak-anak pribumi yang menjadi amtenar, pedagang kaya atau keturunan ningrat saja yang bisa bersekolah disana. Rasa kesal melihat perilaku teman-teman anak perempuan itu memuncak di hati saya. Hingga suatu hari, saya tunggu dia muncul di jendela seperti biasanya. Lalu ketika dia mulai terlihat oleh mata saya, cepat-cepat saya buang muka dan membelakanginya. Dia membalas dengan membuang ludah. Saya patah hati jadinya. Sedih berhari-hari sebab anak perempuan itu tak lagi memunculkan dirinya di jendela. Ya, itulah awal saya menjadi penulis.

DAS : Hmmm...Pak Utuy...saya belum melihat hubungan antara kejadian yang anda
ceritakan dengan dunia tulis-menulis? Saya malah merasa sedang dicurhati oleh anda tentang kenangan sebuah kisah cinta yang gagal.

UTS : Oh iya...Hahahahaha....saya terlampau emosi kalau ingat soal itu. Sebab
harusnya anak perempuan itu tahu bahwa saya membuang muka ketika ada di jendela waktu itu sebab saya benci dengan teman-temannya yang selalu saja cas-cis-cus bahasa Belanda. Ya, saya sekolah di Taman Siswa yang selalu mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah keutamaan dari suatu bangsa. Maka di Taman Siswa diutamakan berbicara dalam bahasa Indonesia, walau bahasa Belanda diajarkan pula secara mendalam.

DAS : Pak Utuy....jawaban anda...

UTS : Ya, saya lagi mau jawab nih....
Sejak peristiwa itu, saya sangat menyesal dan merindukan momen-momen di jendela dengan anak perempuan itu. Saya mencari cara agar dia tahu saya menyesal dan ingin minta maaf. Beberapa hari merenung, akhirnya Eureka! Saya tahu caranya! Ketika anak perempuan itu baru saja menempati rumah di sebelah saya, seorang lelaki yang merupakan pamannya bertamu ke rumah saya. Lelaki itu mengaku kalau baru mendirikan sebuah penerbitan surat kabar, namanya ehhhmmm....Sinar Pasundan. Dia mengajak ayah saya untuk bekerja sama mengedarkan surat kabar itu di lingkungan saya. Sejak itu, setiap hari datang surat kabar ke rumah saya dan paman anak perempuan itu selalu hadir dengan beragam tulisan. Ada artikel, esai pendek atau cerpen yang ditulisnya. Pikiran saya menemukan ruang yang mungkin untuk menyampaikan permintaan maaf saya ke anak perempuan itu; saya akan mengarang sebuah cerita pendek! Lalu saya tulis sebuah cerita tentang sepasang muda-mudi yang saling menaruh hati, namun tak bisa bertemu sebab pihak si perempuan tak memiliki kebebasan untuk melangkah jauh keluar rumah. Jalan cerita kuberi bumbu dengan imajinasi, bahwa si lelaki akhirnya minta tolong kepada seorang kawannya untuk mengirimkan surat. Tapi akibatnya sangat buruk, si perempuan malah jatuh hati kepada lelaki yang mengirimkan surat itu. Yahhh...mudah saja menulis cerita itu, sebab kamu tahu ‘kan cerita itu muncul dari hati saya yang paling dalam. Hehehehehe....

DAS : Setelah itu Pak Utuy? Ah, boleh saya tebak; pasti anak perempuan itu tidak
memberi respon apa-apa sebab ia tidak membaca cerpen itu.

UTS : Hahahaha....Dua ratus persen tebakanmu salah!!!! Saya berpikir menempuh jalur
menulis cerpen untuk meminta maaf kepada anak perempuan itu tentu saja karena saya tahu, dia selalu membaca koran Sinar Pasundan itu. Sering kali saya mencuri dengar obrolan antara dia dan ibu saya; selalu saja ia memuji cerita-cerita karangan pamannya yang termaktub di koran itu.

DAS : Jadi dia baca cerita itu?

UTS : Sebentar dulu...Setelah cerpen itu selesai saya tulis, saya kebingungan mencari
nama. Ya namanya samaran. Sebab tiap kali mempublikasi tulisan, paman si anak perempuan itu juga menggunakan nama samaran. Saya berpikir, nama apa yang bisa saya pakai, namun si anak perempuan itu bisa tahu kalau yang menulis adalah saya. Aha...saya teringat tentang buku yang diberikan paman anak perempuan itu. Sebelum kami saling menjauh, anak perempuan itu pernah memberikan dua buah buku kepada saya, katanya dari pamannya. Saya yakin dia sudah membaca buku itu sebelum diserahkan kepada saya. Buku itu berjudul Pelarian Dari Digul dua jilid. Ceritanya sangat seru, tentang orang-orang buangan di Digul yang ingin melarikan diri. Saya terkesan dengan tokoh utama dalam buku itu, namanya Sontani, yang kuat dan berani. Ya, saya pakai nama itu untuk cerpen saya itu. Saya langsung kirim cerpen itu ke redaksi Sinar Pasundan di Bandung. Dalam surat pengantarnya, saya terangkan bahwa saya baru belajar menulis, jadi mohon diperbaiki jika ada kesalahan dalam tata bahasa. Berhari-hari kemudian, saya adalah orang yang paling resah ketika menunggu koran datang. Sampai suatu hari, setelah satu minggu menunggu, cerita pendek saya dimuat oleh Sinar Pasundan. Dan kamu tahu, tidak ada perubahan satu kalimat pun dari cerita pendek itu!

DAS : Ya, saya bisa bayangkan betapa bahagia Pak Utuy saat itu. Tapi, saya makin
Tertarik dengan kisah tentang anak perempuan tetangga Pak Utuy itu. apa dia bisa kembali dekat dengan bapak gara-gara membaca cerpen itu?

UTS : Wah...kamu kok jadi kayak wartawan....apa itu nama acara yang isinya melulu
gosip di televisi jaman sekarang? Ohhh...Ehmmhhh...Infotainment! Kamu jadi kayak tukang gosip yang di infotainment itu. Bagi saya, bukan soal apakah anak perempuan itu mau dekat kembali dengan saya. Ya, walau harus saya akui kecewa juga. Tapi, setidaknya, saya mulai tersadarkan bahwa saya punya takdir untuk menjadi seorang penulis karangan. Yang membuat saya makin semangat menulis adalah catatan yang ada di Rubrik Kotak Pos bersamaan dengan pemuatan cerpen itu. Isinya begini: “Sontani, Cianjur. Ada bakat, karenanya supaya diteruskan menulis!”. Sejak itulah, nama Sontani kian sering ada di Sinar Pasundan. Kadang muncul dengan cerita pendek, namun juga sering membawakan sajak.

DAS : Wah, gara-gara patah hati, Pak Utuy lantas jadi pengarang besar ya...Luar biasa!

UTS : Bukan seperti itu. Saya memang menjadi pengarang karena peristiwa itu. Tapi
siapa yang tahu? Setelah sering dimuat oleh Sinar Pasundan, banyak pihak yang menunjukkan faktor-faktor yang menyebabkan saya menjadi pengarang. Orang-orang tua yang ada di Cianjur bilang bahwa saya menjadi pengarang sebab saya dilahirkan di Cianjur. Lalu mereka mengajukan bukti bahwa tanah Cianjur selalu melahirkan pengarang. Ada surat bupati Cianjur yang ditulis kepada raja Mataram dalam bentuk sajak. Lalu ibu saya bilang, sebab saya menjadi pengarang adalah keturunan dari nenek saya yang dulu sering menulis pahlawan-pahlawan Islam dengan menggunakan huruf Arab. Saya jadi ingat memang ketika masih kecil, sering sekali nenek membacakan sajak-sajak saat kumpul-kumpul dengan tetangga. Teman-teman di Taman Siswa mengatakan bahwa saya menjadi pengarang sebab saya sekolah disana. Dan tentu saja yang paling berkesan adalah pendapat paman anak perempuan tetangga saya itu. Ia bilang bahwa faktor yang paling berjasa dalam menjadikan diri saya sebagai seorang pengarang adalah asmara. Di bilang kalau asmara itu mahasakti. Yah...itulah pendapat orang-orang tentang kepengarangan saya. Setelah berpikir masak-masak, saya simpulkan bahwa saya menjadi pengarang sebab ada emosi dalam diri yang harus dijawab sebagai sebuah tantangan. Karangan saya itulah jawaban atas tantangan itu.

DAS : Baiklah Pak Utuy... Bagi saya, anda menjadi pengarang, penulis, sastrawan atau
apapun namanya, sebab anda mampu mengolah emosi yang mengendap dalam diri dan menyalurkan dalam bentuk karya tulis yang memiliki daya luar biasa. Pak Utuy, demikian dulu obrolan kita. Suatu saat pasti saya mencari anda untuk berbincang soal tulis-menulis lagi.


Lalu malam makin mendekat ke benderang fajar. Pak Utuy tersenyum sebentar lalu menganggukkan kepala sebagai tanda pamit. Malam itu adalah malam yang gemerlap karena bincang-bincang dengan Pak Utuy Tatang Sontani—yang masih saya sebut sebagai Mawar Diatas Batu.*** (ada lagi lanjutannya)

Catatan:
Isi obrolan disarikan (dengan beberapa improvisasi) dari bab Mengapa Mengarang dalam buku Di Bawah Langit Tak Berbintang (Ajip Rosidi (ed.). 2001. Pustaka Jaya: Jakarta)

Seterusnya..



Perahu Perantau

TAK pernah berlabuh.
Kita jarang mengunduh.
Orang di kampung
nyebut kita pelasuh.
Rumah di pantai
nuduh kita: “Tak bersauh!”.

PADAHAL camar,
asin keringat, matahari
dan kita belum tuntas menari.
Dan ikan-ikan, kerang,
karang masih menyeringai.
Selalu minta dilambai.

LALU layar belum ingin digulung,
jangkar pun tak siap berkarat garam.

Bulan bersinar titahkan terus mendayung.
Badan tak sekarat, ini perahu belum karam.

WALAU diarak ombak,
dibuai badai.
Kita tak ingin berlabuh!

Jember; 03/12/2007

*)Foto oleh Andri Saputra dan Waeti/Borneonews
dicukil dari blog Udo Z Karzi

Seterusnya..


Perahu Pendoa

Kalau aku telah masuki
muaramu.
Lalu tak lelah kususuri
sungaimu.
Walau sulit kutemui
mataairmu.

Masihkah, Kau
juluki aku penggoda?

Jember; Desember 2007

*)Foto oleh Andri Saputra dan Waeti/Borneonews; dicukil dari blog Udo Z Karzi

Seterusnya..



Utuy Tatang Sontani
dan saya bercakap-cakap selama beberapa malam.
Ada saja yang berubah dari percakapan kami. Hingga saya pun kesulitan menuliskan percakapan itu.

Seterusnya..